ManCity Terpuruk, Masih Pantaskah Guardiola Disebut Terbaik?

Manajer Manchester City, Pep Guardiola
Sumber :
  • Reuters / Anthony Devlin

VIVA.co.id – Manchester City dipermalukan Everton dengan skor 0-4, dalam pertandingan Premier League pada Minggu 15 Januari 2017. Skuat Pep Guardiola pun terjerembab ke posisi lima klasemen sementara, tertinggal 10 poin dari Chelsea di puncak.

5 Fakta Mengerikan Jelang Duel Brighton vs Manchester City di Premier League

Dikutip dari Mirror, Selasa 17 Januari, Guardiola bahkan sudah mengangkat bendera putih. Dia mengakui harapan ManCity merebut gelar juara musim ini sudah sirna. "Posisi pertama, ya (tidak mungkin juara). Ada selisih 10 poin dan itu banyak tentunya," kata Guardiola.

"Peringkat kedua tiga poin, jadi kita harus lihat. Saya berbicara dengan para pemain dalam tiga pekan terakhir, untuk melupakan peringkat klasemen. Fokus ke pertandingan selanjutnya, dan melakukan yang terbaik. Setelah itu pada akhir musim, kami akan menganalisa level, performa, pelatih, pemain," ujarnya.

5 Fakta Menarik Arsenal Usai Pesta Gol ke Gawang Chelsea di Premier League

Hingga sekarang Guardiola masih keras kepala, menyebut timnya tidak beruntung dalam pertandingan. Dia mengklaim skuatnya mendominasi permainan sejak awal. Mantan bos Barcelona dan Bayern Munich, itu juga yakin persoalan timnya bukan di pertahanan.

Melainkan di lini depan, karena terlalu sering pemainnya gagal memanfaatkan banyak kesempatan. Faktanya, ManCity memang baru mencetak 41 gol dari 21 pertandingan. Jumlah terkecil diantara lima tim teratas. Liverpool yang terbanyak dengan 49 gol, diikuti Arsenal dengan 48 gol.

Prediksi Pertandingan Premier League: Brighton vs Manchester City

Namun, ManCity adalah yang paling banyak kebobolan dengan 26 gol, yang artinya rata-rata 1,2 gol setiap pertandingan. Menjadi aneh kemudian, jika Guardiola tetap bersikeras tidak ada masalah dengan pertahanan ManCity.

Guardiola dan pendahulunya

Guardiola datang ke Etihad Stadium pada musim panas, dengan status manajer terbaik di dunia. Pencapaiannya bersama Barcelona dan Bayern Munich, bukan hanya membuat dia dijagokan membawa ManCity juara Premier League, tapi juga merubah wajah sepakbola Inggris.

Kemenangan beruntun pada 10 laga di awal musim, seperti memperlihatkan bagusnya keputusan petinggi ManCity menunjuk Guardiola, dengan mendepak Manuel Pellegrini sebelum kontraknya berakhir. Tapi, coba simak data statistik hingga paruh musim.

Sebelum Guardiola dan Pellegrini, ada Roberto Mancini yang mewarisi sebuah tim yang bermain buruk di bawah Mark Hughes, pada 19 Desember 2009. Mancini meraih trofi Piala FA dan sekali juara Premier League, sebelum dipecat pada Mei 2013.

Dia digantikan oleh Pellegrini, yang memberikan dua trofi Piala Liga, dan satu gelar juara Premier League, sebelum digantikan Guardiola pada musim panas 2016. Dilansir dari Mirror, Guardiola mewarisi tim yang jauh lebih baik, ketimbang saat Mancini mulai menjabat.

Ada sederet pemain mahal dalam skuatnya, seperti Sergio Aguero, David Silva, Yaya Toure, Kevin De Bruyne, dan Raheem Sterling. Guadiola bahkan sudah menambahnya, dengan pembelian Ilkay Guendogan, John Stones, dan Leroy Sane.

Guardiola vs Pellegrini

Guardiola tampak unggul dari 10 laga awal, dengan memenangkan semuanya. Sementara, Pellegrini hanya mencatat enam kali menang, satu imbang, dan tiga kali kalah. Merujuk performa di Premier League, Guardiola mengumpulkan 36 poin dari 17 pertandingan.

Pellegrini tertinggal satu poin pada musim pertamanya (2013/2014). Namun, manajer asal CIle itu unggul dari sisi ketajaman denga 51 gol, dan Guardiola hanya 36 gol dari 17 pertandingan. Perbandingan yang dramatis, merujuk pada filosofi permainan Guardiola yang mengandalkan serangan.

"Konsistensi clean sheet tergantung pada bagaimana kami menciptakan gol. Pertahanan bukan alasan. Itu konsekuensi dari bagaimana Anda menyerang," kata Guardiola, yang bersikeras tidak ada masalah dengan pertahanan ManCity.

Di Liga Champions, Guardiola tidak lebih baik dari Pellegrini. Delapan pertandingan pertama, Guardiola hanya menang empat kali, imbang tiga kali, dan sekali kalah. Pellegrini meraih lima kemenangan, tiga kali kalah, dan sekali imbang.

Bicara jumlah kemenangan, Guardiola hanya meraih 19 kemenangan dan tujuh kali kalah, dari 32 pertandingan di semua kompetisi. Pellegrini unggul signifikan, dengan 25 kemenangan dan hanya lima kekalahan, dari 33 pertandingan.

Pellegrini juga unggul, dengan 16 pertandingan tak terkalahkan pada 2013/2014, sementara Guardiola hanya bisa 11 kali. Padahal dari sisi pembelian pemain, Guardiola borong 10 pemain, dan Pellegrini hanya membeli lima.

...selanjutnya, histeria manajer terbaik

Histeria manajer terbaik

Mantan bintang Premier League Stan Collymore, mengatakan manajer terbaik adalah dia yang bisa membuat pemain buruk jadi lebih baik. "Membuat pemain rata-rata jadi bagus, dan pemain bagus jadi luar biasa," kata Collymore dalam kolomnya di Mirror.

Guardiola disebutnya belum melakukan satu pun, selama enam bulan menangani Etihad. Collymore mengatakan sepakbola sekarang berada dalam era instan. "Disebut sebagai yang terbaik dengan cepat, kemudian dilupakan dua pekan kemudian," ucapnya.

"Guardiola adalah manajer yang sangat bagus di Barcelona, dengan salah satu kelompok pemain terhebat. Tapi, saya mulai melihat celah saat dia pindah ke Bayern Munich, dengan tim yang memenangkan treble di musim sebelum dia datang," kata Collymore.

Dia menyebut performa Bayern di bawah Guardiola bukan hanya tak sesuai harapan, tapi sangat buruk. "Saya selalu mengatakan, manajer hebat akan membuat pemain buruk jadi lebih baik," ujarnya. Guardiola sukses di Barcelona karena kualitas pemain yang dimilikinya.

ManCity pun merupakan tim yang memiliki pemain top, dan terpuruknya mereka memperlihatkan kegagalan Guardiola.  Dia jelas bukan seorang manajer, yang bisa menilai kemampuan dan kelebihan para pemain, dan memanfaatkannya dengan strategi yang tepat.

Cacat ManCIty di bawah Guardiola

Dilansir dari Telegraph, ada setidaknya enam hal yang tidak berjalan dengan baik di era Guardiola. Pertama, keputusan mendepak Joe Hart, dan menggantinya dengan Claudio Bravo. Kekalahan 0-4 dari Everton, memperlihatkan buruknya kualitas Bravo.

Kedua, hilangnya kepemimpinan. Vincent Kompany sudah rentan cedera sejak musim lalu, dan Guardiola semestinya sudah belajar apa dampak absennya sang kapten. Hart yang biasanya menjadi sosok pemimpin di lini belakang, saat Kompany cedera dan Guardiola malah meminjamkannya ke Torino.

Ketiga, keputusan salah di bursa transfer. ManCity mengalami potensi krisis dengan usia fullback yang mereka punya. Bacary Sagna akan berusia 34 tahun, Pablo Zabaleta 32 tahun, Aleksandar Kolarov dan Gael Clichy sudah 31 tahun. Tapi, Guardiola tidak membeli fullback baru di musim panas.

Dia justru mendatangkan John Stones dengan harga mahal, dan musim ini justru jadi salah satu titik lemah, dengan berulang kali melakukan kesalahan. Guendogan memiliki sejarah cedera yang buruk, Guardiola tetap membelinya, dan kini dia cedera hingga akhir musim.

Keempat, pesan yang salah. ManCity tampak serius membangun akademi, untuk menjadi yang terbaik di Eropa. Tapi, mereka terus membeli pemain dari luar, memberi pesan yang buruk pada pemain muda, tentang minimnya kesempatan promosi ke tim utama.

Kelima, kesalahan yang berulang. Sikap keras kepala Guardiola untuk memainkan bola dari belakang, berkali-kali bisa dimanfaatkan oleh lawan. Bravo melakukan kesalahan, Stones melakukan kesalahan, dan kesalahan yang sama mereka ulang di pertandingan lainnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya