Wawancara dengan Bambang Edhi Leksono

Keputusan KPU Memilih ICR Vendor Driven

KPU.
Sumber :
  • Syaefullah/VIVA.

VIVAnews - Pemilihan teknologi Intelligent Character Recognition (ICR) oleh Komisi Pemilihan Umum disebut-sebut sebagai biang kegagalan tabulasi nasional.

Sekjen Gerindra Sebut Syarat Utama Bakal Calon Menteri Kabinet Prabowo-Gibran 

Dari target menampilkan 80 persen suara, KPU hanya mampu menghitung 10 persen surat suara dalam 12 hari.

Padahal, setidaknya Rp 50 miliar uang rakyat telah dibelanjakan untuk mendukung sistem informasi KPU. Sebenarnya siapa yang bertanggung dalam menentukan pemilihan teknologi ICR ini?

Polda Metro Jaya Dalami Soal Laporan Dugaan Penistaan Agama Pendeta Gilbert

Untuk mengetahui hal itu, VIVAnews mewawancarai bekas Ketua Tim Ahli Teknologi Informasi KPU Bambang Edhi Leksono, Minggu 26 April 2009.

Bambang sebelumnya diangkat melalui keputusan KPU No.453/SK/KPU/Tahun 2008, bersama enam anggota tim ahli lainnya. Selama dua bulan, Doktor jebolan Sophia Antipolis University Nice  Perancis yang saat ini mengajar di Institut Teknologi Bandung itu menyusun laporan yang tebalnya lebih dari 400 halaman.

Hasto PDIP Jawab Tudingan Jadi Penghambat Pertemuan Jokowi-Megawati

Namun kemudian rekomendasinya untuk menggunakan Optical Mark Reader diabaikan, dan KPU berkeras memakai teknologi ICR. Berikut petikan wawancara yang dilakukan di sebuah kedai Yoghurt di Bandung Jawa Barat.

Bagaimana ceritanya Anda dipilih menjadi Tim Ahli TI KPU?

Awalnya kita diminta untuk melakukan perbaikan dan efisiensi di bidang teknologi informasi pemilu. Saya diminta untuk mengusulkan perbaikan tersebut sesuai dengan panduan grand design (Grand Design Sistem Informas KPU) yang sudah ada.

Sebenarnya grand design itu sendiri sudah ada sejak 2002 atau 2003. Namun, pemilu 2004 tetap menggunakan sistem manual dan mereka menggunakan tenaga padat karya hingga harus mempekerjakan sekitar 17 ribu tenaga kerja.

Nah sementara kita, dengan menggunakan bantuan sistem informasi, bisa mereduksi hingga hanya menggunakan sekitar 3000 operator saja. Kita mempelajari sistem IT yang digunakan pada berbagai pemilu di dunia.

Kita mengusulkan sistem contreng, sebuah sistem yang selama ini sudah kita kenal, dan mengarah pada sistem electronic voting. Selain itu, kami memilih menggunakan teknologi OMR. OMR tidak bekerja mengenali karakter, melainkan mengenali penandaan di kolom-kolom.

Kolom tersebut harus dibuat template-nya agar bisa dikenali hasil penandaannya. Dan teknologi itu hasilnya lebih robust (handal). Teknologi itu sudah digunakan pada beberapa pemilu, beberapa ujian seperti UASBN (ujian SD), UMPTN (ujian masuk perguruan tinggi negeri).

Selain itu, memang ada teknologi ICR. Teknologi ini sudah sering dipakai oleh Biro Pusat Statistik. Tapi ICR itu selalu dibantu oleh banyak operator, untu mengantisipasi kesalahan.

Teknologi ini yang digunakan pada PDA-PDA. Pada teknologi ICR di PDA, biasanya harus 'belajar' dulu untuk mengenali tulisan penggunanya. Nah, berapa lama waktu yang diperlukan oleh ICR untuk itu?

Untuk kasus ini, ICR bukan teknologi yang cocok, karena ICR perlu pengujian. Tulisan tangan seseorang membutuhkan 10-20 kali pengujian sebelum ICR mampu mengenalinya dengan benar.

Misalnya saya menulis sebuah kata di PDA tertentu. Bila kemudian orang lain yang menulis kata yang sama di perangkat itu, belum tentu ICR di perangkat tersebut mampu memahaminya. Apalagi teknologi ini harus membaca tulisan dari beribu petugas yang ada dari Sabang sampai Merauke.

Oleh karenanya akhirnya kami merekomendasikan untuk menggunakan OMR. Dulu teknologi harus menggunakan pensil 2B. Namun kini teknologi ini tak perlu menggunakan pensil 2B, cukup mencontreng atau menyilang kolom tertentu.

Jadi tidak ada masalah tentang itu. Dan ini adalah teknologi yang paling robust di bidang ini.

Jadi tak perlu menghitami kolom tertentu dengan pensil sehingga memakan waktu lama?
Tidak perlu. Tinggal mencontreng atau menyilang saja kolom tertentu. Dengan demikian kolom tersebut yang akan dikenali sebagai masukan datanya.

Oleh karenanya, kita menyediakan form C1 IT, yang sedianya digunakan dengan cara mencontreng atau menyilang. Nantinya, data tersebut yang bakal menjadi data digital untuk dikirim ke pusat.

Sejak kapan Bapak diminta untuk menjadi tim ahli KPU?

Sekitar November dan Desember 2008 saya sudah mulai menyusun laporan. Sekitar dua bulan kita menyusun dokumen berisi sekitar 400 halaman.

Tapi sebenarnya saya sudah lama mempelajari tentang pemilu. Saat itu saya mencari orang siapa yang sebelumnya sudah melakukan riset tentang teknologi untuk pemilu itu. Dan kita lihat yang paling siap mengenai tabulasi, saat itu adalah Pak Hemat Dwi Nuryanto.

Namun, sebenarnya saya sudah mulai sering ke KPU saat mengusulkan konsep e-procurement untuk KPU. Karena pada pemilu sebelumnya, pemilu kita sukses, namun penyelenggara pemilu banyak yang masuk penjara. Hal ini disebabkan karena proses pengadaan yang kurang transparan.

Nah, saya mengusulkan adanya e-procurement kepada KPU demi transparansi pengadaan logistik pemilu agar kejadian 2004 tak terulang lagi. Ini sudah saya usulkan sejak sekitar 2007-2008, namun, sayangnya pada saat itu Ketua KPU, menolak usulan itu.

Alasannya bahwa perusahaan-perusahaan kecil yang tidak memiliki teknologi informasi yang baik, tidak bisa menang, sementara perusahaan-perusahaan besar yang  sebenarnya dia bukan bergerak di bidang itu justru bisa menang.

Tapi sebenarnya tidak tepat seperti itu, karena sebenarnya ada mekanisme undangan secara terbuka, beauty contest, dan lain sebagainya.

Padahal dengan e-procurement, transparansi dan sistem administrasi bisa terpantau dengan baik. Peluang penyelewengan sangat kecil karena disitu tidak ada peluang kontak antara vendor dengan KPU.

Apalagi kita juga tidak bisa mengabaikan kondisi geografis masing-masing daerah di Indonesia. Kita juga memanfaatkan aplikasi Geographical Information System. Jadi kita bisa melakukan pengadaan logistik di Papua, dari perusahaan-perusahaan lokal terdekat. Jadi sistem distribusi tidak akan terkendala oleh hambatan geografis.

Kenapa dulu KPU menolaknya? Padahal itu kan usulan yang bagus?
Kita awalnya tidak merasa ditolak. Hanya merasa belum diterima. Namun, sekarang, kita baru merasa ditolak. Saat itu alasan lain mereka juga bahwa kita belum siap, SDM belum siap, komputer mungkin juga belum siap, dan lain sebagainya. Padahal, kita juga sudah menyiapkan antisipasi untuk hal itu.

Oke, setelah e-procurement tidak disteujui, kami diminta untuk membuat usulan rekomendasi untuk sistem IT. Kami tetap mencoba agar peristiwa 2004 tidak terjadi lagi. Dalam usulan dan laporan untuk sistem IT KPU, kami sudah merancang dengan hati-hati hingga lelang,

peraturan IT, dan jadwal penyelenggaraannya, sehingga benar-benar terstruktur dan terjadwal dengan baik. Kami juga memperhitungkan faktor keterlambatan, mulai dari keterbatasan infrastruktur, bagaimana formulir C1 tersebut bisa sampai ke kabupaten, apakah dengan ojek, perahu, jalan kaki, hingga delay time-nya juga kita perhitungkan.

Perhitungannya, penghitungan suara dimulai dari TPS-TPS terdekat di kabupaten. Setelah itu selesai, baru rekap yang dari daerah-daerah lain yang lebih jauh datang dan dipindai. Itu sudah kita desain. Bila secara online mengalami gangguan, kami juga sudah merancangnya secara offline, yaitu misalnya dengan mengirim CD, hingga dikirim dengan pesawat apa, dari mana, dan seterusnya.

Kami juga sudah pikirkan masalah jaringan, beban puncaknya juga sudah kita perhitungkan. Jadi usulan dari kami kepada KPU sebenarnya sudah lengkap sekali dengan emergency plan. Pada tanggal 13 Februari 2009, kami serahkan laporan tersebut Kepada Anggota KPU Abdul Aziz.

Saat itu apa kata KPU?

Saat itu KPU hanya mengatakan akan memberikan kepada kami ucapan terimakasih. Tapi hingga sekarang kami sama sekali tak pernah dihubungi lagi.

Saat itu Pak Abdul Aziz bilang begini. Laporan saya terima, terima kasih, saya salut dengan fighting spirit saudara. Ia juga bicara, bahwa mereka sudah memutuskan untuk menggunakan ICR. Lalu saya tanya. Kenapa Bapak memutuskan seperti itu? Apa dasarnya?

Lalu kata Abdul Aziz: Itu urusan kami. Itu tanggung jawab kami. Lalu saya bilang lagi bahwa teknologi itu banyak kelemahannya Pak. BPS saja menggunakan ICR dengan didampingi oleh seratus operator. Lalu saya bilang lagi, bahwa Anda (Abdul Aziz) berarti sudah mengabaikan Ketua Tim Ahli IT.

Harusnya bila menggunakan teknologi baru, kami uji terlebih dahulu, Kita panggil pakar untuk menelitinya, mana teknologi yang terbaik, OMR atau ICR. Tapi dia tidak mau. Ini sudah menjadi tanggung jawab kami, kita sudah putuskan.

Begitu laporan kami selesai, tidak jelas apakah kami diberhentikan atau tidak. Sampai kemudian akhirnya diangkat lagi tim lain (Tim ahli dari BPPT).

Kenapa bisa seperti itu?
Jadi, ternyata ada vendor yang menghadap dia (Abdul Aziz). Dan antara Abdul Aziz dan vendor tersebut telah berhubungan terlebih dahulu. Jadi keputusan KPU itu vendor driven (dikendalikan oleh vendor). Itu kan tidak benar.

Abdul Aziz juga menyebut salah satu orang dari vendor yang memberikan pertimbangan untuk memilih ICR, yaitu Hafiz. Itu kalau tidak salah dari vendor ICR bernama Orchid (Orchid Reader adalah software ICR besutan CV Rakreasi Teknologi Indonesia yang dipakai oleh sekitar dua ratusan KPUD kabupaten/ kota - Red).

Sebelumnya saya pernah dengar bahwa orang yang sering mengusung teknologi ICR itu namanya Dimas. Namun, ketika saya konfirmasi apakah Dimas adalah orang yang mempengaruhinya, Abdul Aziz mengatakan bahwa dia tidak mengenal Dimas. Tapi kenal Hafiz.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya