Operator Asing Harus Bangun Infrastruktur ke Area Terpencil

Perawatan BTS 4G.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Pemerintah sedang menggodok revisi dua aturan penyelenggaraan telekomunikasi, PP Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53 tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi. Dua aturan ini dianggap sebagai jalan untuk membuka kemungkinan operator berbagi jaringan (network sharing).

Lacak Nomor HP dengan 4 Cara, Terakhir Bisa Cek Tarif Tol

Dikabarkan, Revisi PP Nomor 52 itu akan mengubah modern licensing penyelenggara telekomunikasi. Untuk diketahui, modern licensing merupakan kebijakan lisensi penyelenggaraan Telekomunikasi yang bertujuan mendorong tersebarnya pembangunan infrastruktur TIK ke seluruh wilayah di nusantara.

Nantinya hal itu tidak lagi menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur tetapi pada service level agreement (SLA). Sedangkan Revisi PP Nomor 53 rencananya akan membuka peluang penggunaan frekuensi secara bersama oleh operator. Dikhawatirkan skema berbagi jaringan akan menguntungkan pihak asing yang hanya mau membangun jaringan di wilayah potensial dan tidak mengindahkan wilayah terpencil.

Menkominfo Kasih Lampu Hijau Operator Telekomunikasi untuk Merger

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Desk Ketahanan dan Keamanan Cyber Nasional, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Marsekal Pertama Prakoso berharap hal itu tidak akan terjadi. Dia menyarankan operator telekomunikasi di Indonesia, yang sahamnya dikuasai asing, harus ikut terlibat dalam membangun infrastruktur telekomunikasi yang terintegrasi dengan pemerintah, mulai dari tempat terpencil hingga daerah perbatasan.

"Hal ini akan meminimalisir kemungkinan satu jaringan telekomunikasi saja yang ada di daerah perbatasan atau di daerah terpencil. Tujuannya adalah jika terjadi kegagalan dalam satu jalur jaringan tidak akan menyebabkan kegagalan jaringan dalam waktu yang lama (sistem redundansi)" ujar Prakoso dalam keterangannya, Senin 18 Juli 2016.

Hati-hati, SIM Swapping is Back

Prakoso mengatakan, meskipun perusahaan asing, mereka juga harus memiliki kontribusi positif terhadap pembangunan nasional, khususnya dalam ketahanan nasional di bidang telekomunikasi dan siber. Sebab, kata dia, perusahaan telekomunikasi asing itu telah melakukan kegiatan usaha dan memakai sumber daya terbatas (frekuensi) yang dimiliki oleh Indonesia.

Menurutnya, selama ini operator telekomunikasi yang sahamnya dikuasai investor asing hanya mau membangun di daerah yang mempunyai nilai ekonomis saja.

"Padahal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan hanya di Jakarta atau Jawa saja. Jangan sampai network sharing hanya dijadikan alasan bagi operator telekomunikasi untuk tak membangun jaringan telekomunikasi di daerah terpencil,” tegasnya.

Operator telekomunikasi diingatkan untuk tak kendor membangun jaringan tanpa harus menunggu keluarnya aturan soal berbagi jaringan aktif (network sharing).

“Pembangunan jaringan oleh operator adalah wajib. Tertuang dalam kewajiban modern licensing. Seandainya ada network sharing, tak boleh lupa untuk tetap membangun infrastruktur telekomunikasi di Indonesia,” ujar dia.

Sebelumnya, Anggota Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (DetikNas) Garuda Sugardo menuturkan, jika network sharing tidak diikuti dengan komitmen pembangunan
infrastuktur, pihak yang paling diuntungkan adalah operator telekomunikasi asing.

Sebab pperator asing tak perlu repot membangun jaringan di wilayah terpencil atau kurang menguntungkan. Mereka cukup mendompleng infrastruktur operator lain yang sudah berdiri. Sorotan juga disampaikan Sekretaris Jenderal Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ridwan Effendi, yang mengingatkan network sharing di seluruh dunia merupakan jenis kebijakan insentif dari pemerintah untuk memperluas akses telekomunikasi masyarakat yang daerahnya belum terjamah operator mana pun.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya