Susahnya Memprediksi E-Commerce Indonesia

Ilustrasi belanja online.
Sumber :
  • www.pixabay.com/Photo-Mix

VIVA.co.id – Bank Indonesia berharap pertumbuhan e-commerce di Tanah Air bisa membawa kebangkitan perekonomian Indonesia. Bank sentral itu mengakui e-commerce bisa membuat sistem perdagangan berubah. 

Integrasi Tiktok Shop dan Tokopedia, DPR: Harus Bantu UMKM Adaptasi dengan Teknologi

Bank sentral menunjukkan potensi bisnis dan roda ekonomi e-commerce. Data bank sental itu, warganet di Indonesia telah menggelontorkan sekitar Rp75 triliun dalam setahun untuk berbagai e-commerce. Angka itu artinya tiap pengguna e-commerce di Indonesia rata-rata membelanjakan Rp3 juta per tahunnya. 

Menanggapi hal itu, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Aulia Marinto menuturkan, angka yang dirilis Bank Indonesia memang bagian dari estimasi potensi e-commerce di Tanah Air. Dia mengatakan, sejatinya belum ada data akurat soal nilai bisnis e-commerce di Indonesia. Institusinya, kata Aulia, juga sedang berupaya menyiapkan data yang akurat. 

Sambut Mudik Lebaran, Perusahaan Ban Ini Rambah Dunia eCommerce

"Semua ini (perhitungan) masih estimasi, karena pemain, pelaku e-commerce semuanya mayoritas industri privat atau swasta. Bagi mereka data transaksi itu konfidensial," ujar Aulia kepada VIVA.co.id, Kamis, 10 Agustus 2017. 

Dia mengakui dengan kondisi itu, menjadi susah untuk menentukan nilai bisnis e-commerce Tanah Air. Termasuk sulit mempredikasi ke depan secara detail, sebab data angkanya tak ada yang lengkap. 

Shopee Luncurkan Program Baru, Garansi Tepat Waktu

Namun, Aulia mengatakan, secara kasar bisnis e-commerce mengalami peningkatan. Para pemain e-commere mengakui transaksi mereka naik dua hingga tiga kali lipat pada masa lebaran. Kenaikan juga bisa dilihat dari angka pada 2016. Bisnis e-commerce pada tahun lalu naik 30-50 persen.

"Secara umum naik. Dari kuartal ke kuartal juga naik," katanya. 

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik tak meyakini, e-commerce mampu menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini. Alasannya, otoritas statistik sejauh ini belum memiliki data yang konkret atas volume perdagangan melalui transaksi digital.

Meskipun pada kuartal kedua tahun ini terjadi pergeseran konsumsi, terutama di kalangan menengah ke atas, BPS meyakini persentase yang mengarah ke perdagangan digital masih relatif minim. Sebab, belum ada data pasti yang menunjukkan hal tersebut.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya