- Reuters/Kai Pfaffenbach
VIVA.co.id – Perusahaan teknologi aplikasi jasa transportasi, Uber, dikritik karena memanfaatkan serangan teror di London, Inggris, untuk mendulang untung sebanyak-banyaknya, setelah beberapa pengguna terkena tarif dinamis atau dikenai biaya tambahan 2,5 kali dalam semalam.
Serangan di Kawasan London Bridge dan Borough Market pada Sabtu malam, 3 Juni lalu, menyebabkan tujuh orang terbunuh dan puluhan lainnya cedera serius. Ketiga teroris tersebut ditembak mati dalam waktu delapan menit setelah serangan dimulai.
Para pengguna taksi online ini pun mencurahkan ekspresi kemarahannya di media sosial setelah dikenakan lonjakan harga saat pulang. Menanggapi hal ini, General Manager Uber di London, Tom Elvidge, membantah kalau perusahaannya tidak menaikkan tarif.
Menurutnya, Uber menangguhkan penetapan harga dinamis setelah serangan tersebut dan memastikan bahwa semua armadanya yang beroperasi di sekitar kawasan teror tidak dipungut biaya.
"Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua armada yang membantu puluhan ribu warga London pulang dengan selamat pada malam itu. Kami segera menghentikan penetapan harga dinamis di sekitar area serangan," kata Elvidge, seperti dikutip situs Metro, Senin, 5 Juni 2017.
Ia melanjutkan, penghentian tarif dinamis ini kemudian berlaku di seluruh pusat kota London. Elvidge mengklaim kebijakan ini sudah pernah dilakukan saat terjadi serangan serupa di Manchester dan Westminster.
"Tim kami juga bekerja sama dengan Polisi Metropolitan London untuk membantu mereka mendapatkan rekaman dari pengemudi kami yang berada di daerah tersebut pada saat kejadian," ungkapnya. (one)