Tas Indonesia Melanglang Buana

Tas kulit Biyantie
Sumber :
  • facebook.com/Biyantiegenuineleather

VIVA.co.id – Tas tangan sudah menjadi salah satu item fesyen wajib bagi banyak wanita. Sebagai pelengkap penampilan, tak heran jika mereka memiliki tas lebih dari tiga untuk sejumlah aktivitas luar rumah yang berbeda.

Pernah Dampingi Gibran ke Papua, Bahlil Bantah Tudingan Tak Netral

Dan bukan hanya karena alasan fungsi semata, tapi kualitas, estetika dan keunikan, membuat banyak kaum Hawa senang mengoleksinya. Namun tas branded alias merek global masih dianggap yang paling prestisius, karena bisa mengangkat level percaya diri setinggi-tingginya.

Semakin terkenal label kebarat-baratan yang menempel, makin menjulang rasa percaya diri pemakainya. Padahal, tas lokal pun tak kalah berkualitas, unik dan cantik dengan harga yang jauh lebih murah.

SIM Mati Bisa Diperpanjang, Tidak Perlu Bikin Baru

Bahkan, jika ingin sedikit membuka mata dan telinga, banyak tas lokal yang sudah melanglang buana. Banyak tas karya anak bangsa diekspor dan diakui dunia.

Intip saja tas merek Biyantie, Huraira, Warnatasku dan Dowa. Empat label tas asli dalam negeri dengan bahan berbeda, yakni kulit, kain tradisional dan rajut ini adalah sedikit bukti dari banyak tas made in Indonesia yang sudah memiliki tempat di hati para pecinta tas di banyak negeri.

Masyarakat Diimbau Waspada Terhadap Penawaran Paket Umrah dan Haji Harga Murah

Tas kulit

Biyantie. Namanya terdengar cantik dan unik tapi memberi kesan tangguh. Dan menurut pemiliknya, Meriyu Arief, Biyantie adalah nama fiktif yang memang merepresentasikan sosok wanita pejuang dengan karakter mandiri, ulet, dan ramah.

"Karakter etos dan semangatnya kami ambil dari pahlawan wanita, Kartini. Kemudian kami ejawantahkan di bidang bisnis," katanya kepada VIVA.co.id.

Usia Biyantie, si tas kulit atau genuine leather bag masih sangat belia, namun penggemarnya sudah lintas benua. Wanita yang sebelumnya berkecimpung di bisnis kerajinan kulit sintetis (vynil) sejak 2012 silam itu baru menyematkan nama Biyantie untuk tas kulit produksinya pada 1 April 2015.

Dalam usia yang baru mendekati dua tahun, tas tersebut berhasil mendobrak pasar Eropa. Sejumlah negara yang sudah 'disinggahi', seperti Malaysia, Jepang, Singapura, Selandia Baru, Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Swedia dan Kanada.   

Wanita dengan panggilan Meri ini menuturkan, yang membedakan tas kulit Biyantie dengan tas kulit lainnya adalah bahan yang digunakan. Meri memanfaatkan kulit sapi lokal dan impor dengan grade satu kualitas terbaik. Dia juga menggunakan kulit domba atau kambing yang memiliki tekstur lebih halus dengan massa ringan.

Pengusaha yang pernah bangkrut pada tiga tahun silam dan berhasil bangkit itu mengatakan, mendapatkan pasokan kulit hewan ternak berkualitas terbaik untuk bahan pembuatan tasnya dari Jakarta, Magetan, Australia hingga Italia. Beberapa jenis kulit yang dimanfaatkan, seperti quake oil, nappa, natural mill, dan antique.
 
“Kami komitmen menggunakan artikel atau jenis kulit terbaik dari pemasok lokal dan impor," kata dia.

Karena itu, produk tasnya berbeda dengan produsen tas lain, termasuk harga yang ditawarkan relatif lebih mahal dibandingkan tas kulit lokal. Tas Biyantie paling tarjangkau dijual dengan harga Rp1,5 juta dan termahal Rp3 juta. Namun, harga ini akan mengalami penyesuaian saat Biyantie genap berusia dua tahun pada April mendatang.

Produksi tas dikerjakan di showroom-nya di Pengadegan Selatan V, Jakarta Selatan. Adapun beberapa produk unggulan Biyantie, antara lain Yurnis Bag, Luktiar Bag, Anindya Bag, Akemi Bag, Suso Bag untuk pasar dalam negeri. Sedangkan beberapa produk ekspor yang menjadi unggulan, rata-rata masih berupa customize bag atau tas sesuai pesanan.   

Dengan penjualan dilakukan secara online, tas Biyantie dalam sebulan laku sekitar 130-150 buah. Ratusan penjualan tas itu membukukan omzet sekitar Rp260 juta hingga Rp300 juta. Lihat videonya di sini

Selain Biyantie, Huraira Leather Bag (HLB) yang sama-sama fokus pada tas kulit dengan keunikannya sendiri juga mampu unjuk gigi di negeri orang. Tas karya pengusaha kulit asal Surabaya bernama Siti Huraira atau yang akrab disapa Ira tersebut sudah dipasarkan ke sejumlah negara, di antaranya ke Malaysia, Dubai, dan beberapa negara di Eropa.  

Eksklusivitas lukisan karya putra dan cucu maestro Affandi di tas kulitnya menjadi ciri khas, yang membedakan dengan tas kulit lain. Setiap tas dengan lukisan karya Agung Affandi dan dua putranya, Diaz serta Fardha Affidayana diproduksi dalam jumlah sangat terbatas.

Agung mengatakan bahwa lukisan yang ditempel di tas Huraira bergaya ekpresionisme. Untuk menjaga agar lukisan tak rusak dan cat tak luntur, dia menggunakan kanvas dan cat acrylic yang didatangkan dari luar negeri.

"Kanvasnya kualitas bagus, dibeli dari luar negeri. Catnya acrylic dibeli di Jerman, jadi tidak akan luntur," katanya saat ditemui di galeri HLB di Jalan Jambi, Surabaya.

Agung Affandi

Sementara Ira mengatakan bahwa tas kulit produksinya mengusung konsep budaya dan tradisi atau ikon lokal sejumlah daerah di Tanah Air demi mengenalkan pariwisata Indonesia kepada publik lokal maupun internasional. Misalnya, lukisan Tugu Pahlawan atau Suro dan Boyo yang menjadi ikon ibu kota Jawa Timur. 

"Jadi juga bisa dibuat promosikan pariwisata Indonesia ke dunia," ujarnya, yang baru saja ikut berpartisipasi dalam ajang Indonesia Fashion Week (IFW) 2017 pada awal Februari lalu.

Tidak sekadar nilai estetika dan promosi saja, Ira pun tak luput memperhatikan bahan tas buatan tangan alias handmade yang digunakan demi menjaga kualitas. Wanita yang baru memulai usaha tas kulit lukis pada Februari 2015 ini menggunakan bahan dari kulit domba, sapi, biawak, buaya hingga ular.   

Adapun harga tas kulit lukis generasi penerus maestro seni lukis Indonesia itu pun terbilang mahal. Ira mematok harga mulai Rp2,5 juta hingga puluhan juta. Itu lantaran tas yang dibuatnya juga bisa dinikmati sebagai sebuah lukisan yang bisa dibawa ke mana-mana.

Tas kulit Huraira Leather Bag (HLB)

Tas kain tradisional

Bukan cuma HLB, label tas lokal yang berhasil mencuri perhatian di IFW adalah Warnatasku. Dengan bahan dasar pembuatan tas dari kain tradisional Indonesia, menjadikan produk tas satu ini sangat Indonesia.

Ervina Ahmad adalah sosok dibalik lahirnya tas etnik nan cantik. Alasan Warnatasku tertarik menjadikan kain tradisional sebagai bahan dalam menciptakan setiap tas dengan karakter budaya itu karena kayanya kain yang dimiliki negeri 34 provinsi ini. Selain itu, sebagai caranya untuk mengampanyekan kecintaan terhadap warisan budaya.

"Warnatasku adalah Indonesia. Kami terjemahkan warisan budaya melalui fesyen untuk dapat diterima oleh masyarakat Indonesia di masa sekarang," ujarnya.

Desainer dan pemilik label Warnatasku yang memulai bisnis pada tahun 2011 itu menuturkan, mayoritas tasnya dibuat dari kain tradisional dan minim aksesori. Material tambahan yang biasa digunakan adalah kulit.

Dan kain yang kini banyak digunakan adalah batik dan tenun, menyusul kain tradisional jenis lain. Adapun material kain tradisional didapat langsung dari perajin, sedangkan kulit melalui kerja sama dengan supplier.
 
Dengan memiliki showroom di Jatibening, Bekasi, Ervina mengaku, memproduksi tas secara terbatas. Untuk satu desain, dia hanya memproduksi maksimal tiga buah tas.

Dalam sebulan, dia bisa membuat sekitar 100 desain tas baru. Sementara tas yang berhasil dijualnya sekitar 1.000 tiap pekan, dengan mayoritas penjualan diekspor ke Singapura, Australia, Malaysia dan Arab Saudi.  

"Secara persentase, penjualan di luar negeri mencapai 80 persen dari produksi dan 20 persen untuk pasar Indonesia," ucap mantan pramugari ini.

Adapun tas dengan sentuhan etnik karyanya dibanderol sekitar Rp1 juta hingga Rp25 juta. Dan untuk melebarkan sayap bisnisnya sekaligus lebih mengenalkan produk Indonesia ke kancah dunia, dia berencana membuka butik di sejumlah negara di Eropa, Asia dan kawasan Timur Tengah.

Tas rajut

Tak hanya tas berbahan kulit dan kain tradisional, tas buatan Indonesia yang memiliki banyak penggemar tidak hanya di dalam negeri tapi juga luar negeri adalah tas rajut dengan label Dowa. Tas asli Yogyakarta ini bisa dianggap sebagai 'kakak' dari tiga tas merek Indonesia sebelumnya.

Kali pertama dibuat pada 11 April 2008 di showroom-nya di Jalan Godean KM 7 Yogyakarta, kata Dowa diambil dari bahasa sansekerta yang memiliki arti doa. "Kami harapkan, produk ini menjadi produk yang sesuai dengan doa kami," kata pemilik Dowa, Delia Murwihartini, beberapa waktu lalu.    

Wanita yang telah memiliki pengalaman bisnis tas rajut sejak tahun 1989 ini menciptakan tas dari benang nylon lokal dengan kualitas tinggi, yang lebih lembut dan warna menarik. Dan untuk memberi kenyamanan bagi pemiliknya, Dowa menambahkan kain halus atau furing di bagian dalam.

Dengan melibatkan para perajin di Pulau Jawa dan kontrol ketat pada kualitas, tas rajut Dowa pun mampu  bersaing dengan tas-tas merek dunia. Tak heran jika karyanya tidak hanya bersinar di Indonesia, tapi juga di Asia, Eropa hingga Amerika. Di Amerika, tas rajut ini dipasarkan dengan nama The Sak, sedangkan di Eropa dipatenkan dengan merek The Read's.    

Ketenarannya membuat Dowa melebarkan sayap, memproduksi tas kulit dengan sentuhan rajut yang tetap menjadi identitas dalam koleksi mereka. Beberapa jenis produk Dowa, yakni tas klasik, kulit, mini, clutch atau dompet, crochet hingga tas punggung dan traveller.      

Dowa yang materialnya tanpa unsur kulit, dengan mayoritas bahan terbuat dari nylon dan microfiber memiliki harga yang lebih murah. Sedangkan tas rajut dengan tambahan kulit sapi asli memiliki harga lebih mahal. Dengan beragam model, warna dan bentuk, tas yang menekankan desain dan motif unik, cantik dan modern dalam setiap rajutannya dipatok dengan harga mulai Rp300 ribuan hingga jutaan rupiah.

Pada tahun ini, Dowa akan meluncurkan lebih dari 20 seri tas baru dengan desain unik. Selain itu, Dowa yang memproduksi lebih dari 10 ribu tas per bulannya juga akan mengeluarkan produk unggulan sebelumnya dengan sedikit sentuhan berbeda.

Jika desainer fesyen Indonesia beserta mahakaryanya sudah menunjukkan taring di dunia internasional, bahkan mampu menjadi sorotan di antara karya desainer-desainer papan atas dunia, tas karya Indonesia pun meski gebrakannya tak terlalu bersuara, namun ternyata sudah melanglang buana. Jika dunia sudah mengakui karya anak negeri, seharusnya tak ada keraguan untuk mencintai produk negeri sendiri.

Jadi, apa Anda tertarik mencoba tas made in Indonesia kualitas ekspor ini?

Toko Dowa di Yogyakarta

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya