Generasi Milenial Dianggap Sulit Kerjasama dalam Berkarier

Seorang pekerja melintas sebuah kios majalah.
Sumber :
  • Pexels/Unsplash

VIVA.co.id – Kemajuan teknologi memang menjadi keuntungan tersendiri bagi generasi sekarang yang disebut dengan generasi milenial. Banyak hal yang memudahkan kehidupan mereka di era digital saat ini.

Komunitas Orang Papua di Yogyakarta Dukung Prabowo-Gibran Menang Satu Putaran

Tapi sayangnya, kemudahan teknologi tersebut tidak juga mempermudah kehidupan karier mereka. Psikolog Anita Chandra, M.Psi mengungkapkan, gadget dan permainan di dalamnya memang bisa membantu perkembangan kognitif dari anak-anak. Tapi, secara sosial emosional dia tidak akan berkembang karena permainan dalam ponsel membuat mereka cenderung bermain sendiri.

"Biasanya sudah bisa kelihatan, generasi teknologi ini maunya cepat, instan. Ketika dapat feedback mereka kurang bisa menerima," ujar Anita kepada VIVA.co.id.

Profil Andi Jerni, Atlet Karate yang Sentil Balik Omongan Megawati Soal Sumbangsih Generasi Milenial

Memang hal ini tidak secara langsung mempengaruhi keberhasilan atau pencapaian karier mereka. Namun, ketika berkaitan dengan kerjasama dengan orang lain mereka akan mengalami masalah seperti penerimaan, emosional, bahkan terkadang empati pun kurang terhadap rekan kerjanya.

Hal ini disebabkan mereka tidak memiliki kemampuan untuk melihat emosi yang tersimpan dari diri seseorang. Jadi, hubungan sosial mereka dalam pekerjaan akan bermasalah.

Viral Lagi Video Megawati Remehkan Sumbangsih Generasi Milenial pada Negara, Disentil Atlet Karate

"Kalau pencapaian karier bisa tergantung dari kinerja mereka. Bagaimana daya tahannya bekerja, itu mungkin yang akan pengaruhi kariernya. Bagaimana ketika menghadapi tantangan dia mau tidak bersusah payah berusaha," kata Anita.

Berdampak pada Karier

Meski tidak langsung mempengaruhi prestasi kerjanya, tapi cara dan sikap kerjanya yang bermasalah itu pada akhirnya juga akan berdampak pada karier di masa depannya.

Itulah mengapa, Anita menyarankan agar para orangtua mendorong anak-anaknya bermain permainan sosial di mana anak berinteraksi dengan banyak orang. Anak yang kurang aktif melakukan permainan sosial, ketika dewasa, regulasi emosinya akan kurang.

Misalnya, kalau marah akan cenderung meledak karena tidak biasa dengan input sosial, mana yang boleh dan tidak boleh. Kemudian, dia cenderung kuat egosentrisnya, dan lebih soliter dalam arti tidak butuh orang lain. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya