Ada Dampak Sosial dari Kecelakaan Setya Novanto, Apa Itu?

Setya Novanto
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Meski sempat berkelit dengan alasan sakit dan kecelakaan mobil, Setya Novanto kini resmi ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada minggu malam kemarin. Sempat jadi perbincangan publik, tidak menutup kemungkinan keluarga ketua DPR itu ikut terseret dalam pembahasan masyarakat.

Setya Novanto Acungkan 2 Jari Saat Nyoblos di Lapas Sukamiskin

Hal ini menurut Psikolog Keluarga, Sani Budiantini, kasus ini benar-benar menarik simpati masyarakat. Sani menuturkan, kemungkinan besar masyarakat turut bergunjing perihal keluarga Setya Novanto.

"Di sini, kita harus berempati dengan keluarga Setya Novanto. Mereka mungkin tidak berkontribusi langsung pada kasus, tetapi image keluarganya sudah tidak bagus," ujar Sani, saat dihubungi VIVA beberapa waktu lalu.

Polisi Didesak Segera Usut Pernyataan Agus Rahardjo Soal Jokowi Stop Kasus e-KTP

Menurut Sani, kondisi itu bisa memicu trauma berkepanjangan pada pihak keluarga. Bahkan, bisa menimbulkan sikap untuk mengurung diri dari lingkungan luar.

"Trauma berkepanjangan, bisa juga mengurung diri dan mengunci dirinya dari kehidupan lingkungan. Karena, khawatir akan ancaman dunia luar," papar Sani.

Respon Jokowi Usai Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo Dilaporkan ke Bareskrim Polri

Tidak menutup kemungkinan, rasa depresi juga dialami sanak keluarga Setya Novanto. Untuk itu, Sani menyarankan, agar masyarakat bisa lebih fokus berdiskusi soal pemeriksaan yang dijalani Setya Novanto.

"Bisa depresi juga, karena ketakutan ancaman dari luar, jadi berdampak pada psikisnya. Saya harapkan, agar masyarakat bisa fokus pada Setya Novanto saja atau pemeriksaannya," ujarnya.

Tak hanya itu, berkaca pada kasus Setya Novanto, ada juga satu kondisi klinis yang harus menjadi perhatian, dalam hal ini, Setya Novanto bisa diindikasikan mengalami sindrom malingering. Namun, tetap harus ada pemeriksaan yang intens untuk benar-benar memastikan Ketua DPR tersebut mengalami masalah ini.

Psikolog Aurora Lumbantoruan, M.Psi, Psi menjelaskan, berdasarkan DSM-IV-TR, malingering adalah upaya menghasilkan keluhan fisik maupun psikologis, yang disengaja, dibuat-buat, atau dilebih - lebihkan, dengan tujuan memperoleh sesuatu atau keuntungan secara eksternal.

Misalnya, menghindari wajib militer, tugas pekerjaan, memperoleh kompensasi finansial seperti dalam asuransi, menghindari tuduhan atau tuntutan pengadilan, atau untuk memperoleh obat yang diinginkan.

"Malingering sebenarnya bukan gangguan psikiatri, namun dimasukkan dalam kategori 'kondisi yang menjadi perhatian klinis'," ujar Aurora kepada VIVA.

Meski menunjukkan beberapa tanda yang mirip dengan malingering, tetapi untuk menyebut Novanto mengalami malingering butuh evaluasi yang mendalam.

Aurora mengatakan, untuk menentukan seseorang memiliki intensi dan sengaja untuk berbohong tentang kondisi dirinya, dibutuhkan assessment, atau pemeriksaan yang sifatnya menganalisa cost dan benefit yang dimiliki seseorang dengan kondisi dan gejala-gejala yang ia tampilkan tersebut. Assessment yang dilakukan juga tidak sama seperti melakukan assessment, atau tes untuk mendiagnosa gangguan psikiatri.

"Model pemeriksaan ini disebut model adaptational. Malingering akan muncul bila, individu merasakan adanya evaluasi yang akan memojokkan dia, atau akan membawa akibat yang berisiko tinggi atas dirinya, atau bila dia merasa tidak ada cara lain untuk memperoleh keuntungan eksternal, selain dengan menampilkan gejala klinis atau malingering," jelasnya.

Ada beberapa faktor kombinasi yang menyebabkan munculnya malingering, yaitu konteks medis-hukum, kesenjangan yang menonjol antara klaim nasabah atas kerugian atau kondisi disabilitas yang dialami, dengan penemuan objektif, adanya ketidakpatuhan selama proses diagnosa dan tidak patuh pada treatment yang sudah disarankan atau diresepkan dokter, dan ketika pasien didiagnosis memiliki gangguan kepribadian Antisosial.

Malingering secara umum bisa dikenali lewat tanda adanya gejala yang berlebihan atau dramatis, detail-detail yang tidak konsisten seperti mengenai bagaimana atau kapan muncul keluhan fisik dan psikologis yang dialami, ada bagian yang tidak biasa atau tidak umum berdasarkan pengetahuan atau pemahaman secara medis, adanya dokumentasi atau data tentang perawatan di berbagai rumah sakit atau berpindah - pindah, dan penerimaan pasien terhadap prosedur medis dan operasi.

Selain itu, gejala hanya muncul ketika ada orang banyak di sekitar pasien, ada riwayat penyalahgunaan obat, perilaku yang mengganggu dan mencari perhatian selama dirawat di rumah sakit, hanya sedikit orang yang menjenguk, dan tingkat keinginannya akan konsumsi obat.

Malingering dapat membawa dampak yang sifatnya merugikan bagi produktivitas pelaku malingering atau orang yang berpura-pura. Ia membuang waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk sesuatu yang produktif untuk diri sendiri dan merugikan bagi kesehatan mentalnya.

"Malingering juga memiliki dampak sosial, mulai dari biaya pengobatan yang dikeluarkan untuk orang yang sebenarnya tidak sakit, waktu dan produktivitas tenaga medis yang seharusnya bisa digunakan untuk pasien yang benar-benar membutuhkan perawatan dokter, serta merugikan secara finansial dalam hal kompensasi maupun benefit yang dikeluarkan untuk orang yang tidak benar-benar membutuhkan," kata psikolog yang berpraktik di Keara Konsultan Psikologi ini.

Ketika mendapati seseorang yang melakukan malingering, Aurora menyarankan, berikan dorongan agar ia menyadari dampak atau kerugian, yang ia alami maupun orang - orang di sekitarnya. Dorong juga ia untuk menghentikan kepura-puraannya dan melakukan hal-hal yang lebih produktif dan sehat, demikian juga agar orang lain bisa lebih produktif dalam memanfaatkan waktu dan tenaganya.

"Biasanya tidak mudah untuk menyadarkan pasien, sehingga kadangkala dibutuhkan terapi atau konseling yang lebih intens, dengan catatan ia tidak lagi meminta penanganan atau perawatan medis," lanjut Aurora.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya