Menyusuri Jejak Rempah Indonesia

Rempah-rempah.
Sumber :
  • Pixabay/Padrinan

VIVA.co.id – Aroma rempah tercium dari sepiring rendang di atas meja. Wangi lengkuas, jahe, kunyit, bawang merah, bawang putih, dan serai menghujam hidung dan menggoda indra perasa. Kuliner asal Sumatera Barat yang ditasbihkan sebagai hidangan terlezat dunia oleh CNN International ini memang begitu menggoda. Cita rasa lezat rendang tak lepas dari peran rempah-rempah yang menjadi bumbu utama.

4 Rempah Bisa Lancarkan Plak di Pembuluh Darah Jantung, Zaidul Akbar: Tapi Ada yang Lebih Penting

Rempah memang begitu lekat dengan hidangan Sumatera Barat. Selain rendang, rempah juga bisa ditemukan pada soto padang hingga gulai itiak. Hasilnya, tentu kuliner bercita rasa lezat.

Di Sumatera Barat pula, terdapat rempah yang jarang digunakan di tempat lain: ketumbar hijau. Rempah yang namanya masih terdengar asing di telinga orang awam tersebut hanya bisa ditemukan di pasar tertentu. 

Manfaat Allspice: Rempah Jamaika Serbaguna untuk Kesehatan

“Pendatang India yang datang ke Tanah Datar membuat rempah berbeda dari daerah lain, seperti ketumbar hijau,” ujar ahli kuliner sekaligus penulis buku Rendang Traveller, Reno Andam Suri dalam acara 'Rempah & Kita' Membingkai Indonesia, Merayakan Jalur Rempah di Galeri Kantor Pos, Kota Tua, Jakarta, beberapa waktu lalu.

India disebut-sebut memiliki peran dalam memperkenalkan beberapa jenis rempah ke bumi Indonesia. Selain ketumbar hijau, lada juga konon awalnya dibawa dari India. Menurut Bambang Budi Utomo dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, lada tersebut kemudian dibudidayakan di daerah-daerah di Tanah Air. 

10 Manfaat Jahe bagi Kesehatan, Solusi Sembuhkan Berbagai Penyakit

Saat itu, daerah-daerah yang berhasil membudidayakan lada tumbuh pesat dan makmur. Bahkan, pada abad 14 hingga 16, tumbuh kerajaan-kerajaan besar yang berperan dalam perdagangan lada. “Dari lada ini mereka bisa bangun kota-kotanya,” ungkap Bambang.

Salah satu daerah penghasil lada yang cukup terkenal pada abad ke-15 adalah Banten. Bukti bahwa Banten merupakan daerah penghasil lada tertuang dalam surat dari Sultan Banten Sultan Abdul Fath kepada Raja Inggris Charles II. 

Seperti dikutip dari buku Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten karya Titik Pudjiastuti, surat tersebut berisi permohonan agar Inggris bersedia menjual senapan, istinggar kepada Banten. Sebagai hadiah, Sultan Banten mengirimkan lada hitam dan jahe kepada Raja Inggris.  

“Ini menunjukkan pada waktu itu lada dipakai sebagai simbol kerja sama negara,” tutur Bambang yang juga mengatakan bahwa Banten dahulu memiliki kekayaan yang tidak kalah jauh dengan Amsterdam.

Ketika itu, Sultan Banten membuka lahan di pedalaman Banten dan bahkan ekspansi hingga ke Lampung untuk dijadikan perkebunan lada. Tujuannya, agar pasokan lada tetap berjalan lancar. Salah satu wilayah pedalaman yang digunakan sebagai tempat penanaman lada adalah Gunung Pulosari di Pandeglang. 

Agar lada terdistribusi dengan baik hingga ke pantai, Sultan menempatkan orang kepercayaannya di pedalaman . Menariknya, harga lada semakin mendekati wilayah pantai semakin mahal.

Pada masa jayanya, lada dari Banten pernah menempati peringkat pertama dunia. Namun itu dahulu. Sekarang, lada Indonesia bahkan tak mampu bersaing dengan Vietnam yang baru mengolah lada 10 tahun lalu.  “Kita kalah karena sudah banyak lupa cara menanam lada,” ujar Bambang.

Berburu Rempah

Sementara itu Sonny Wibisono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional memaparkan bahwa ada kemungkinan bahwa rempah-rempah awalnya hanya dihasilkan di Indonesia, khususnya di Kepulauan Maluku.  Diketahui Kepulauan Maluku dikenal sebagai pulau penghasil cengkeh. 

Rempah-rempah ini, kata Sonny, bisa jadi dipasarkan di Indonesia dan kemudian dibeli oleh orang Eropa. Memang ada sumber yang mencatat adanya perdagangan rempah dari Tiongkok ke Sri Lanka. Namun lagi-lagi, ujar Sonny, terdapat kemungkinan bahwa rempah tersebut berasal dari Maluku.

Meski demikian, ia mengakui bahwa belum ada sumber pasti yang menyebutkan siapa pihak yang membawa rempah Indonesia ke Eropa. “Kalau menurut keterangan ada kora-kora bercadik yang membawa rempah ke Eropa,” ucap Sonny.

Adapun sumber lain menyebut, rempah diperkenalkan oleh pedagang Arab saat Perang Salib pada 1095-1291. Karena harganya yang mahal, negara-negara di Eropa kemudian berusaha melepaskan ketergantungan dari pedagang Arab. 

Harga rempah yang mahal ini juga disebut oleh Royal Museum Greenwich dalam situs webnya. Tertera bahwa bahwa rempah-rempah sudah ada di Eropa sejak Abad Pertengahan, namun harganya sangat tinggi karena harus dikirim ke darat melalui tangan banyak pedagang. Pedagang-pedagang itu meraup keuntungan karena rempah yang dijual berharga 1000 persen lebih tinggi ketimbang harga asli dari Kepulauan Maluku.

Belanda yang mengusung konsep Mare Liberum atau Laut Bebas memutuskan untuk berlayar menuju sumber-sumber rempah, termasuk Indonesia. Sebagai informasi, konsep Mare Liberum sendiri dicetuskan oleh penasihat hukum VOC, Hugo Grotius.

Dalam sejarah persaingan antara Portugal, Belanda, dan Inggris, seringkali Belanda berkoalisi dengan Inggris dalam menghadapi Portugal. Namun di antara Belanda dan Inggris juga terdapat persaingan sengit guna memonopoli perdagangan rempah.

Ketika Belanda telah memonopoli perdagangan rempah di Kepulauan Maluku yang dikendalikan dari Pulau Banda, monopoli itu sesungguhnya tidak penuh. Sebab, lintas kapal menuju ke atau dari Pulau banda harus melewati sebuah pulau kecil bernama Pulau Run yang diduduki Inggris.

“Pada masa lalu, Pulau Run begitu strategis sehingga berdasarkan perjanjian Belanda-Inggris tahun 1641, Belanda rela menyerahkan New York, Amerika Serikat, kepada Inggris dan sebagai tukarannya Belanda memperoleh Pulau Run,” ungkap mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajud

Dalam jurnal Arkeologi bertajuk Pengaruh Kolonial di Nusantara yang ditulis  Naniek Harkantiningsih dijelaskan, pada awal abad ke-16, perairan Nusantara mulai dijejali kapal-kapal dagang Eropa, Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Kekuatan pelayaran dan perdagangan Eropa ini mendominasi perairan Asia Tenggara, termasuk Nusantara hingga pertengahan abad ke-20.

Namun, dalam acara 'Rempah & Kita' Membingkai Indonesia, Merayakan Jalur Rempah, Naniek menuturkan bahwa ada dugaan pada abad 9 sudah terdapat jalur perdagangan rempah. Hal ini terlihat dari muatan kapal karam yang ditemukan di perairan Indonesia. Muatan ini mulai dari dari tempayan bertuliskan Arab hingga pipisan asli dari Indonesia yang digunakan untuk menghaluskan rempah.

“Pipisan ini ada dari tiga kapal dan ini jadi koleksi di Candi Borobudur dan hampir seluruh kapal karam ada kemiri dan pipisan. Ini yang memperkuat kami bahwa selain ada jalur sutra ada jalur rempah,” tutur Naniek.

Naniek melihat bahwa pada abad 13 dan 14 sudah ada hubungan langsung antara China dan Kepulauan Maluku. Sebab, ditemukan pula timbangan untuk menimbang rempah. Koloni asing, ujar dia, tinggal di Ternate dan Banda serta membuat benteng untuk memperlancar usahanya.

“Ini menandakan betapa pentingnya komoditi Nusantara oleh bangsa asing sampai mereka mendirikan benteng sebagai pertahanan dan tempat tinggal,” katanya.

Menguak Khasiat Rempah

Pamor rempah saat ini memang tak sepopuler dahulu, namun penelitian mengenai khasiat rempah masih terus dilakukan. Utamanya untuk pengobatan. Guru Besar Tetap Fakultas Teknologi Pertanian IPB Sedarnawati Yasni adalah salah satu yang meneliti khasiat rempah.

Ia pernah melakukan penelitian dengan menggunakan cabai Jawa yang dikeringkan. Cabai Jawa itu lantas diekstrak dan direbus dengan air. Air hasil saringannya tersebut ia uji coba pada tikus yang mengalami hipertensi dan stroke. Selama dua hingga tiga pekan, tekanan darah tikus tersebut diukur.

Hasilnya, tekanan darah tikus turun pada satu pekan pertama. Kemudian di pekan kedua, tekanan darah tikus normal, dan di pekan ketiga, tekanan darah tikus mulai naik.

“Artinya, selama dua minggu berturut turut minum ekstrak cabai Jawa menurunkan tekanan darah jadi normal, tapi jangan diteruskan karena obat itu kan racun. Makanya kalau minum obat sudah sembuh setop, dan dijaga kondisinya,” katanya.

Rempah lain yang ia teliti adalah temulawak. Sedarnawati menilai bahwa temulawak memiliki manfaat luar biasa. Kali ini, ia memberikan air hasil rebus temulawak yang telah dijadikan tepung ke tikus dengan hyper kolesterol.

“Ternyata dia mampu memperbanyak sel sel sistem imun kita. Kemudian saya coba hatinya tikus di-break down dan  menghambat sintesis asam lemak. Jadi kalau makan banyak disimpan dalam bentuk lemak, nah temulawak ini menghalangi pembentukan asam lemak,” tutur dia. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya