Nilai yang Harus Ditanamkan Agar Terhindar dari Radikalisme

Ilustrasi ibu dan anak atau parenting.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Teror bom yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo pada 13 Mei dan 14 Mei 2018 meninggalkan luka yang mendalam bagi banyak pihak. Terlebih bagi para keluarga korban yang ditinggalkan.

Mantan Teroris Poso Dukung Penuntasan Masalah Terorisme di Sulawesi Tengah

Salah satu yang menjadi ironi dari kejadian ini, pelakunya melibatkan anak-anak. Tak bisa dipungkiri bahwa akar dari tindakan terorisme sendiri ialah paham-paham radikalisme yang kerap tumbuh di dalam keluarga.

Hal ini yang diungkapkan oleh praktisi pendidikan, Najelaa Shihab saat dihubungi VIVA, Senin 14 Mei 2018. Ia menyebut bahwa paham radikalisme seringkali tumbuh dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarga baik secara sadar dan tidak sadar. Pendiri Sekolah Cikal ini juga menyebut bahwa keluarga punya peran penting untuk menghindari anak dari ide-ide radikalisme.

Lebaran Aman dari Gangguan Terorisme, Komisi III DPR Apresiasi BNPT

Lantas apa yang mesti dilakukan oleh orangtua agar anak terhindar dari paham radikalisme? Secara umum, Najelaa menyebut bahwa radikalisme berkaitan dengan dua nilai, yakni nilai kemanusiaan dan juga nilai agama yang tidak tepat.

"Mereka (yang terpapar paham radikalisme) biasanya enggak punya empati, enggak punya sikap menghormati pilihan orang lain, nilai-nilai itu tidak dibiasakan dari kecil," kata Najelaa.

Pakar Dukung BNPT Tangkal Konten Radikalisme: Butuh Keterlibatan Banyak Pihak

Ilustrasi orangtua dan anak.

Dia menyebut, orangtua harus bisa menanamkan nilai-nilai empati dan mengajarkan untuk melihat perbedaan pada anak sejak dini. Dengan demikian, risiko terpapar paham-paham radikalisme lebih rendah.

"Kita sering hanya menasihati, tapi tidak mencontohkan bagaimana dia bersosialisasi sama tetangga, menjelaskan bahwa kita ada dari bermacam golongan, kebanyakan dari kita hanya bergaul dengan yang homogen," ujarnya.

Di samping itu, Najelaa menambahkan, kebanyakan keluarga juga seringkali menghindari membicarakan perbedaan pada anak. Banyak yang menganggap bahwa membicarakan perbedaan justru hanya menimbulkan konflik, sehingga anak seringkali kesulitan ketika muncul pertanyaan soal perbedaan.

"Berempati juga kan itu dibiasakan dari rumah, soal kenapa manusia enggak bisa dibunuh, bagaimana memahami perasaan orang lain itu kan munculnya dari rumah," ucapnya.

Baca juga:

Panduan untuk Guru Bicara Terorisme pada Anak

4 Hal Wajib Dilakukan Saat Traveling dan Terjebak Aksi Teror

Di samping itu, dari segi agama, banyak dari keluarga yang hanya fokus pada ibadah-ibadah ritual. Sedangkan, nilai-nilai agama terkait berhubungan dengan sesama jarang sekali diajarkan.

"Padahal kalau misal saya dalam Islam, jelas hubungan antarmanusia dan saling menghormati, tidak saling menyakiti dan kekerasan, itu bagian yang penting dari agama," kata dia.

Sayangnya, hal itu di beberapa keluarga seolah dipertentangkan dan menganggap Islam hanya ibadah pribadi saja. Karenanya, Najelaa menyebut bahwa nilai-nilai demikian yang mestinya ditanamkan pada anak, dan dicontohkan secara terus-menurus demi menghindari paham radikalisme tumbuh. (ch)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya