Menapaki Puncak Bumi, Candu Baru Petualang

Indonesia Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (ISSEMU)
Sumber :
  • Dokumen Mahitala Unpar

VIVAlife - Sang saka merah putih dibentangkan. Dihiasi latar langit luas dan gumpalan awan. Pusaka itu telah mengelilingi dunia, kemudian mendarat di tujuh puncak gunung tertinggi di bumi. Begitu gagah ia membawahi bumi.

Ini adalah kado untuk Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-66, pada 17 Agustus 2011 lalu. Empat pemuda terus pekikkan semangat, mengenggam setiap sudut bendera dengan kepalan erat. Betapa bangga mereka kukuhkan Indonesia di sana, meski harus melawan cuaca yang kurang bersahabat.

Selain fisik prima yang dijaga utuh, doa tulus dari teman-teman di Tanah Air menyertai. Didampingi satu bekal yang tak pernah terlewat: tekad.

Sofyan Arief Fesa, Xaverius Frans, Janatan Ginting dan Broery Sihombing. Empat mahasiswa Universitas Katholik Parahyangan Bandung yang sempat disorot dua tahun lalu itu, mereka tergabung dalam misi: Indonesia Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (ISSEMU)

Sekjen Golkar Tegaskan Munas Tak Bisa Dimajukan Sebelum Desember 2024

Mereka berhasil menjadi pendaki Indonesia pertama yang menaklukkan tujuh puncak gunung dunia. Julukan sebagai “The Seven Summiters” pun akhirnya mereka raih.

Tujuh gunung tertinggi yang dijuluki ‘Seven Summits’ telah luluh dipijak. Sekaligus mencatat nama Indonesia sebagai negara ke-53 yang mampu menyentuh ketujuh puncak.

Hasbi Hasan Dituntut 13 Tahun Bui, Pengacara: Tak Rasional, Seperti Balas Dendam


Seven Summit terakhir

Indonesia menorehkan sejarah sebagai Seven Summiters. Ketujuh gunung berhasil ditaklukkan, yaitu, Cartensz Pyramid, Papua, Indonesia dengan ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl); Kilimanjaro, Kenya, Afrika (5.895 mdpl) ; Elburs, Rusia (5.642 mdpl) ; Vinson Massif , Antartika (4.889 mdpl); Aconcagua, Argentina (6.962 mdpl); Everest, Nepal (8.848 mdpl); dan Puncak Denali, Alaska, Amerika Selatan (6.194 mdpl).

CEO Freeport Temui Jokowi di Istana, Bahas Smelter hingga Perpanjangan Izin Tambang

Pendakian dimulai dari situ, dari Cartenz Pyramid (4.488 mdpl) di Papua pada Februari 2009. Sebuah perusahaan swasta mendukung ekspedisi senilai Rp8 Miliar ini.

Dua tahun berlalu, masih terekam benar perjuangan mereka menaklukkan semesta. Dari mulai membuka jalur baru di Kilimanjaro (Agustus 2010), sempat kehilangan kontak di Elbrus (Agustus 2010), terserang batuk Khumbu di Everest (Mei 2011), hingga mendaki tanpa porter di Denali. Namun perjuangan itu semua terbayar dan keempat pemuda berhasil menancapkan merah putih di Puncak Denali, tepat 8 Juli 2011.

Bukan tanpa rintangan untuk meraih tujuh puncak gunung tertinggi.  Kendala sempat menimpa Janatan di Aconcagua (6.962 mdpl). Ia dilarang mendaki karena diidentifikasi tak sehat oleh dokter. Ketiga temannya terpaksa meninggalkannya.

“Padahal saya nggak ngerasa sakit, saya putuskan stand by di base camp dan tes kesehatan dari nol lagi. Ternyata nggak ada masalah, kemudian saya naik ke Ancocagua bergabung dengan tim lain,” ujar Janatan kepada VIVAlife.

Pengalaman mendaki Vinson Massif (4.889 mdpl) di Benua Antartika tak kalah berkesan. Mereka dipantau matahari sepanjang hari. Musim panas menjanjikan benua ini tanpa malam. Ada cerita menarik soal makanan, suhu sedingin -10 derajat celsius ternyata membuat makanan tetap awet dan enak untuk dilahap.

“Waktu itu nggak sadar kalau makan cokelat yang sudah kadarluwarsa dari tahun 2006. Mungkin karena terlalu dingin, jadi nggak terasa. Tapi kami baik-baik aja,” lanjut Frans.


Jadi motivasi

Negeri saja bangga, apalagi orangtua, kerabat dan institusi terkait. Sepulangnya mereka ke Bandung, ada beberapa penghargaan dan hadiah yang menanti. Kementerian Pemuda dan Olahraga memberikan sertifikat mendampingi ucapan selamat, disusul beasiswa pendidikan S2 dari Universitas Katholik Parahyangan.

“Sekarang, tiga orang dari kami sedang melanjutkan pendidikan S2,” kata Frans.

Ketrampilan mendaki yang mumpuni mengundang mereka ke berbagai kampus. Sebut saja Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, Universitas Brawijaya, Universitas Indonesia, bahkan Universitas Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan turut menginginkan mereka datang.

“Kami sering diundang sebagai pembicara untuk para pecinta alam di kampus-kampus itu. Kami berbagi pengalaman dan manajemen perjalanan untuk mendaki gunung, kemudian memotivasi teman-teman di sana supaya mau naik gunung,” ungkap Broery, pria yang sedang menyusun thesis ini.

Mereka juga kerap diminta untuk memandu. Belum lama, Sofyan menuntun pecinta alam dari Universitas Islam Bandung ke Gunung Ama Dablam, Nepal. Banyak sekali mahasiswa yang konsultasi soal naik gunung. Berangkat dari sini, Frans dan Sofyan membuka sebuah usaha bernama Cesta Adventure. Segala keperluan naik gunung mulai dari keamanan hingga pemandu pun disediakan.

Peminatnya banyak, mayoritas dari kalangan usia 40-an yang ingin menikmati alam terbuka. Usaha ini awalnya diperuntukkan bagi turis yang ingin naik gunung di Indonesia. Tapi sejalan dengan waktu, konsep pun diubah.

“Kami bawa orang Indonesia ke gunung luar negeri sekarang, misalnya Kilimanjaro atau Himalaya. Untuk ke Himalaya, biayanya mencapai US$2.500 di luar tiket pesawat. Setahun hanya jalan empat kali, karena harus lihat musimnya,” ujar  Sofyan, pendaki yang juga menekuni diving dan panjat tebing.

Sementara itu, tiga buku pun sudah diluncurkan, yakni Sudirman Range Trail: Lanskap Misterius di Indonesia Timur (2010), Pucuk Es di Ujung Dunia: Pendakian 7 Puncak Benua (2011) dan Menapak Tiang Langit: Pendakian 7 Puncak Dunia (2012). Perjalanan mendaki Seven Summits dirangkum ke dalam ketiga buku tersebut.

Indonesia tertinggal

Keempat pendaki telah menyaksikan keindahan gunung dari tujuh benua. Tapi hatinya tetap tertawan pada kekayaan alam Indonesia. Menurut Broery,  gunung-gunung di negeri sendiri jauh lebih indah. Cuacanya pun lebih mudah diatasi.

“Banyak flora dan fauna endemik di gunung-gunung Indonesia. Ini yang belum tentu dimiliki gunung lain di luar negeri. Saya suka dengan pemandangan Gunung Argopuro, Rinjani, Cartenz dan Kerinci,” tambah Janatan, pria asal Kabanjahe, Sumatera Utara.

Tapi bicara soal pengelolaan, Indonesia jelas tertinggal jauh. Bagi Frans, wisata alam bebas lebih diminati di luar negeri sehingga taman  nasional lebih diperhatikan. Di Kilimanjaro misalnya, pendaki bisa menemukan penginapan pada pos-pos, sehingga tak perlu mendirikan tenda dan siapapun dapat menikmati wisata di sini.

“Saya bisa bertemu nenek-nenek dengan cucunya di Kilimanjaro. Wisata outdoor sudah dinilai sesuatu yang biasa di sana, tapi kalau di Indonesia masih dianggap bahaya,” ujar Frans.

Sofyan menambahkan, taman nasional di luar negeri sudah digodok untuk meraup pendapatan. Indonesia belum mengarah ke situ, pendakinya pun belum memahami kewajiban. Misalnya menjaga kebersihan. Naik gunung di Himalaya bisa dikenakan biaya Rp1 juta, tapi ini seimbang dengan pengelolaan yang memang sudah bagus.


Taruhan nyawa

Ribuan anak muda mendadak jadi pecinta alam berkat tayangan sebuah film. Tentu ini berita baik, ketika naik gunung bisa diterima dan dicoba oleh banyak orang. Apalagi, ketika video “Indonesia Seven Summits Mahitala Unpar” dengan durasi 2 menit 51 detik ditayangkan pada 17 Agustus 2011 lalu di seluruh pemutaran film di jaringan Blitz Megaplex di 4 kota, 7 lokasi, yang terdiri dari 66 studio.

Menurut Broery, ini adalah suatu yang positif selagi mendidik. Kesibukan di kota membuat otak jenuh dan membutuhkan penyegaran. Naik gunung adalah salah satu solusi. Tapi tetap saja butuh pengawasan dan persiapan. Banyak risiko yang tak diperhatikan dalam tren naik gunung ini.

“Kita melihatnya dari dua sisi, negatif dan positif. Film nggak menceritakan persiapan dan keamanan yang memadai, padahal itu penting,” ujar Frans.

Butuh pengetahuan untuk mendaki, misalnya mengenai peralatan. Jaket, raincoat, sepatu dan ransel adalah beberapa keperluan yang harus diperhatikan demi keamanan. Tapi nyatanya, ini sering diabaikan. Lanjut Frans, mendaki pun sebenarnya memperhitungkan faktor cuaca, tak sembarangan waktu dapat dipilih.

Ada persiapan fisik juga. Khusus mendaki Seven Summits, keempat pendaki rutin latihan yoga. Persiapan makanan juga tak boleh terlewat.

“Untuk menghasilkan energi, dibutuhkan makanan yang tinggi kalori. Kalau orang Indonesia ya nasi. Selama perjalanan, kami pegang snack dan cokelat,” ujar Frans.

Kembali ke tren, tak heran kemudian beberapa gunung melampaui kuota pendaki, sampah-sampah tak bisa ditoleransi. Di Gunung Gede dan Gunung Semeru misalnya, menurut Janatan, pemandangan di sana sudah rusak.

Padahal Semeru memiliki kesulitan tinggi, namun pemula berbondong-bondong mendaki. Menurut Sofyan, Gunung Papandayan, Cikurai, Barangrang dan Gede, adalah beberapa daftar yang dianjurkan untuk pemula.

“Tapi sekarang kuota di Semeru sudah dibatasi hanya 500 pendaki, jadi lebih bisa dikendalikan,” tambah Janatan.

Selain menikmati alam bebas, esensi dari naik gunung bervariasi. Ekspedisi Seven Summits membawa Sofyan, Frans, Broery dan Janatan pada banyak pembelajaran. Mereka dituntut untuk bersabar, lebih cerdas membaca situasi dan kondisi, menghadapi orang dengan diferensiasi budaya, serta mempersiapkan segalanya dengan matang.

“Kalau nggak matang ya mungkin bisa mati. Benar-benar berhadapan dengan risiko nyawa,” ujar Broery.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya