Seberapa Siap Indonesia Hadapi Krisis?

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Sumber :

VIVAnews - Penyelesaian krisis utang di Yunani belum menemukan titik terang. Kini, krisis serupa mulai merambat ke negara Eropa lainnya, Italia.

Hasil pertemuan negara-negara maju dan berkembang G20 di Prancis belum lama ini juga mewanti-wanti pemerintah untuk meningkatkan kewaspadaan. Negara-negara G20 menyatakan krisis mulai memburuk karena faktor fiskal yang tidak tertangani. Bahkan, dikhawatirkan sudah mulai merambat ke negara berkembang. 

Lalu, bagaimana Indonesia mengantisipasi ancaman krisis global tersebut?

Pengamat ekonomi, Anggito Abimanyu, mengatakan, perekonomian Indonesia saat ini masih cukup baik dibanding saat krisis 2008 dan 2009. Faktor fundamental ekonomi dinilai masih cukup memadai.

"Cadangan devisa dan rasio utang aman," kata Anggito di Jakarta, Rabu 9 November 2011. Selain itu, investasi dalam bentuk portofolio dan foreign direct investment cukup menggeliat.

Data Bank Indonesia menyebutkan, dana asing yang menyerbu Indonesia mencapai US$45 miliar atau sekitar Rp400 triliun selama dua tahun terakhir.

"Masuknya dana asing itu di satu sisi dapat meningkatkan cadangan devisa dan mendorong apresiasi rupiah," ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia, Halim Alamsyah, di Gedung Bursa Efek Indonesia.

Untuk Indonesia, dana asing yang masuk sepanjang 2010 sebesar US$26 miliar atau sekitar Rp231 triliun. Sementara itu, hingga kuartal II-2011, dana asing yang masuk mencapai US$19 miliar atau Rp168 triliun. “Derasnya capital inflow harus bisa dimanfaatkan agar tidak merugikan perekonomian,” ungkapnya.

Diduga Terganggu, Komika Usir Ibu Menyusui dan Bayinya saat Pertunjukkan

Menurut Halim, berdasarkan data Bank Indonesia pada akhir Oktober, jumlah cadangan devisa US$113,9 miliar, meski turun jika dibandingkan Agustus sebesar US$124 miliar.

Dalam mengantisipasi dampak krisis global itu, Anggito melanjutkan, pemerintah seharusnya sudah menyiapkan paket kebijakan yang komprehensif. Tidak cukup hanya dengan Crisis Management Protocol, Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, atau Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan.

"Krisis global harus diantisipasi. Aturan pencegahan dalam kondisi darurat yang sudah dimiliki seperti UU APBN, OJK, belum memadai," tutur mantan pelaksana tugas kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan tersebut.

Dampak krisis untuk saat ini, dia menambahkan, mulai terasa dengan pelambatan ekspor. Namun, Indonesia masih diuntungkan karena faktor konsumsi domestik yang kuat.

Bahkan, pada 2012, Anggito memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di atas enam persen, meski sedikit mengalami pelambatan dibanding tahun ini. "Tapi, itu tetap tergantung kondisi Eropa sekarang, yaitu krisis Yunani dan Italia," ujarnya.

Enam aspek
Anggito menambahkan, krisis global diperkirakan menghantam dua aspek perekonomian dunia. Pertama, perdagangan dan harga komoditas. Kedua, sektor keuangan.

Pemerintah dapat mencegah dampak krisis tersebut bila menyiapkan beberapa langkah antisipatif, baik dalam menjaga kekuatan fundamental, respons kebijakan dalam negeri, dan sentimen dari investor.

Beberapa langkah antisipatif pemerintah, menurut dia, seperti pembelian kembali Surat Berharga Negara, ketentuan devisa hasil ekspor ditempatkan di dalam negeri, pembentukan dana stabilisasi ekonomi, perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, fleksibilitas dalam APBN, serta utang siaga untuk komoditas pangan dinilai cukup baik.

Namun, Anggito menilai antisipasi akan lebih baik jika pemerintah juga memperhatikan beberapa aspek. Pertama, percepatan pembuatan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan sebagai payung pencegahan krisis. "Dana Crisis Management Protocol juga harus diawasi aparat penegak hukum dan DPR," ujarnya.

Kedua, tindak lanjut undang-undang yang 'high profile', yakni bagaimana nantinya transisi dari UU Otoritas Jasa Keuangan, serta konsekuensi fiskal Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Ketiga, langkah pemerintah dalam menjaga aspek investasi seperti penyelesaian pada kasus internal PT Freeport Indonesia dan divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara. "Selain itu, kelanjutan IPO BUMN dan konsistensi penerbitan obligasi global," tuturnya.

Keempat, Bank Indonesia wajib memperkuat kebijakan moneternya dalam menjaga stabilitas makro, inflasi, pengelolaan cadangan devisa, dan nilai tukar.

Kelima, pemerintah perlu melakukan peningkatan kerja sama keuangan regional ASEAN+3. Keenam, pemerintah perlu mendorong peningkatan kegiatan ekonomi domestik.

Memanfaatkan krisis
Di saat negara-negara lain sibuk membenahi kondisi perekonomiannya akibat imbas krisis global, Indonesia justru dapat memanfaatkan keadaan tersebut.

Menurut Wakil Menteri Keuangan, Mahendra Siregar, kondisi fundamental Indonesia yang baik tetap sebagai tempat menarik bagi investor untuk berinvestasi. Meski fluktuatif, kondisi investor masih dalam tingkat kewajaran.

"Untuk kondisi seperti itu, tidak ada cara lain selain mengantisipasi. Yang lebih penting bukan bagaimana over reaksi, tetapi fokus pembenahan pada sektor dan struktur keuangan kita," kata Mahendra.

Pemerintah, dia melanjutkan, melihat investasi asing bukan sebagai fokus utamanya. Melainkan lebih kepada peningkatan pasar domestik Indonesia sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.

"Justru perkuatan pemodal dan investor dalam negeri. Karena mereka yang akan setia dan mempunyai perspektif, kepentingan, dan visi yang berbeda. Kalau dari luar hanya pelengkap," tuturnya.

Dia lalu mencontohkan penyaluran kredit pada sektor riil yang mencapai 25 persen dari sebelumnya 20 persen. "Ini yang membuat kami optimis tahun depan target pertumbuhan ekonomi dapat tercapai," imbuhnya.

Depok Jadi Tuan Rumah Pembukaan Pendaftaran PPK untuk Pilkada 2024

Namun, hasil survei online global Nielsen mengungkapkan, 54 persen masyarakat percaya Indonesia saat ini dalam kondisi krisis ekonomi. Untuk menyikapi itu, 77 persen masyarakat Indonesia menyatakan akan menekan anggaran pengeluaran rumah tangga mereka.

Managing Director Nielsen Indonesia, Catherine Eddy, mengatakan kondisi perekonomian global yang tidak menentu telah mempengaruhi persepsi konsumen Indonesia.

"Sebanyak 52 persen konsumen Indonesia berencana menunda membeli alat elektronik terbaru untuk menekan pengeluaran mereka," kata Catherine.

Selain barang elektronik, 49 persen konsumen juga berencana menunda membeli pakaian baru, mengurangi hiburan di luar rumah 48 persen, dan mengurangi liburan 36 persen.

Meski demikian, di tengah situasi krisis keuangan Eropa dan Amerika, indeks kepercayaan konsumen Indonesia juga naik dari 112 menjadi 114. Indonesia hanya kalah dari India (121) dan Arab Saudi (120).

"Indonesia peringkat ketiga negara dengan indeks kepercayaan konsumen tertinggi setelah India dan Arab Saudi," jelasnya.

Catherine menjelaskan, tidak menentunya ekonomi global dan pasar finansial telah membuat konsumen Indonesia merasa khawatir. Namun, di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi mencapai 6,5 persen, Nielsen mengakui konsumen Indonesia masih optimistis. "Namun tetap waspada mencermati pasar Asia Pasifik," kata dia.

Gedung Merah-Putih KPK

KPK Sebut Prabowo Subianto Tak Perlu Setor Nama-Nama Calon Menterinya

Presiden terpilih Prabowo Subianto, dikatakan tidak perlu menyetor nama-nama calon menteri, kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Apalagi nama-nama itu distabilo tertentu.

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024