Pengesahan RUU Ormas Ditunda, Apa Saja Pasal yang Krusial

Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Malik Haramain (PKB).
Sumber :
  • Antara/ Yudhi Mahatma
VIVAnews
Kasus Film Porno Siskaeee Belum Juga Disidang, Ini Kata Polisi
- Pengesahan Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) ditunda selama sepekan. Hasil lobi selama dua jam yang dilakukan oleh pimpinan fraksi tidak berhasil mencapai kesepakatan.

Penemuan Kerangka Manusia Pakai Sarung dan Peci Bikin Geger Pendaki Gunung Slamet

Dalam sidang Paripurna, Selasa 25 Juni 2013, rupanya ada dua fraksi yang berbalik arah. Gerindra dan Hanura yang awalnya menyetujui agar RUU Ormas ini segera disahkan, tiba-tiba menginginkan pengesahan RUU ini ditunda. Sementara fraksi PAN sudah sejak awal menolak disahkannya RUU ini.
Wanita Open BO di Dermaga Pulau Pari Dilaporkan Hilang Sebelum Ditemukan Tewas


Menurut pimpinan sidang, Taufik Kurniawan, penundaan pengesahan ini dilakukan untuk melakukan sosialisasi  kepada masyarakat dan organisasi terkait. Karena, masih ada Ormas dan LSM yang menolak. "Perlu semacam tahapan sosialisasi sekali lagi, mengingat RUU ini inisiatif dari DPR. Kalau ini diambil keputusan di luar musyawarah mufakat, maka tidak akan baik," kata Taufik dalam sidang paripurna.

Karena penundaan ini dilakukan hanya untuk sosialisasi, maka, Taufik mengimbau agar pada sidang 2 Juli 2013 mendatang, tidak ada lagi perdebatan untuk mengubah isi RUU tersebut.  Karena soal isi rancangan itu sesungguhnya sudah disepakati bersama.


Diprotes Luas


Sejumlah pasal dalam RUU Ormas diprotes banyak aktivis dan organisasi. Ada pasal-pasal yang dinilai represif dan mengekang. Muhammadiyah adalah ormas yang paling keras menolak RUU ini.


"Kalau disahkan, kami akan mengajukan judicial review ke MK karena kami berkeyakinan RUU ini bertentangan dengan UUD 1945," kata Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin saat menggelar konferensi pers bersama ormas lintas agama di Menteng, Jakarta Pusat, Senin 24 Juni 2013.


Menurut anggota panitia khusus dari fraksi PAN, Achmad Rubai, RUU Ormas ini berbeda dengan RUU yang lain. Sebab, RUU ini mengatur mengenai masyarakat sipil. Sementara UU yang baik adalah yang mendapat dukungan luas. Padahal RUU Ormas ini belum mendapat dukungan dari sebagian besar Ormas dan LSM.


Menurut Ketua Fraksi Hanura, Syarifudin Suding, RUU ini masih harus dikaji lebih dalam. Sebab, masih ada beberapa ormas yang menolak diatur dalam Undang-Undang ini. Meskipun, masukan dari berbagai ormas sudah diakomodir, namun menurut Syarifudin, beberapa pasal yang dianggap krusial menyangkut masalah pembubaran Ormas masih diperdebatkan.


Selain itu, lanjutnya, masih ada beberapa pasal lain yang substansial masih harus didiskusikan. Misalnya, selain masalah pembubaran, ada masalah tentang kebebasan berekspresi, dan pendirian ormas.


Partai nonparlemen, Partai Nasdem, juga menolak RUU ini. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Nasdem, Willy Aditya, RUU ini melemahkan semangat berorganisasi masyarakat. "Di saat demokrasi sedang berkembang, pemerintah dan DPR justru menghidupkan kembali hantu-hantu demokrasi yang memasung partisipasi masyarakat," kata Willy kepada VIVAnews, Selasa 25 Juni 2013.


Menurut calon sementara anggota DPR nomor urut 1 Partai Nasdem dari daerah pemilihan Jawa Barat VII itu, DPR dan pemerintah ingin memaksakan kembali praktik hegemoni dan dominasi kekuasaan yang sudah lama dikubur di masa otoritarian Orde Baru. Kini, kata Willy, lebih baik DPR dan Pemerintah melanjutkan pembahasan RUU Yayasan dan RUU Perkumpulan. Pemerintah harus arif dengan massifnya penolakan kalangan masyarakat sipil dan ormas keagamaan yang nyata-nyata menolak disahkannya RUU Ormas ini.


Pasal-pasal Diributkan


Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Ormas, Abdul Malik Haramain menilai, kekhawatiran para penolak itu tidak lagi beralasan sebab pasal-pasal yang diprotes kini sudah dihilangkan atau diubah.  Politikus PKB itu membuat daftar pasal-pasal yang dinilai represif dan mengekang.


BAB IV Pasal 9 misalnya, berisi ketentuan "Ormas didirikan oleh tiga orang atau lebih warga negara Indonesia, kecuali ormas yang berbadan hukum yayasan." Pasal ini sebelumnya dikhawatirkan akan mempersulit WNI yang berniat mendirikan ormas. "Masak mendirikan ormas tiga orang dianggap represif. Syarat tiga orang itu menurut saya tidak sulit," kata Malik.


BAB V Pasal 15 berisi ketentuan ormas yang telah mendaftar ke Kementerian Hukum dan HAM tidak perlu lagi mendapatkan surat keterangan terdaftar dari Kementerian Dalam Negeri. Sementara ormas yang belum berbadan hukum cukup mendaftar ke Kemendagri untuk mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT). "Yayasan silakan ikut aturan main yayasan. Perkumpulan ya pakai Undang-Undang Perkumpulan," kata Malik.


BAB VIII Pasal 38 mengakomodir keberatan ormas terkait pendanaan. Dalam pasal ini ormas diminta transparan dan akuntabel dalam mengelola keuangan. Ini termasuk menyangkut sumber dana, apakah dari iuran anggota, bantuan masyarakat, hasil usaha, bantuan asing, dan yang bersumber dari APBN/APBD. Ormas juga diminta menggunakan rekening bank nasional.


Menurut Abdul Malik, ormas diharapkan bisa menyampaikan kepada masyarakat secara terbuka mengenai hal-ihwal pendanaan mereka. "LSM minta kami (partai politik) transparan, mosok mereka tidak bisa transparan?" dia balik mempertanyakan.


BAB XVIII Pasal 61 memuat sanksi dan paling banyak ditentang oleh ormas sebab dianggap paling semena-mena. Namun, menurut Malik, Pasal 61 ini menegaskan bahwa pemerintah--sesuai dengan ruang lingkup tugas dan kewenangannya--hanya menjatuhkan sanksi administratif kepada ormas yang melanggar ketentuan, bukan membubarkannya.


"Sulit untuk membubarkan ormas, apalagi dengan semena-mena karena pencabutan SKT harus lewat MA," Malik menjelaskan.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya