Pemerintah Tak Naikkan Harga, Rumah Murah Tetap Mahal

Pekerja menyelesaikan proses pembangunan rumah
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin
VIVAnews - Para pengembang properti yang tergabung dalam asosiasi pengembang Real Estate Indonesia (REI), belum lama ini mengusulkan kenaikan harga rumah tapak sederhana. Sebab, harga bahan bangunan dan tanah melonjak dan tidak terkendali. 
PKS Bakal Sambangi Markas PKB Malam Ini, Bahas Apa?

Harga yang dipatok pengembang untuk harga rumah tapak sederhana, diusulkan paling murah berkisar Rp110-120 juta per unit. 
Respons Albertina Ho Usai Dilaporkan ke Dewas oleh Pimpinan KPK

Namun, usulan tersebut sepertinya belum diamini pemerintah karena hingga saat ini Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) belum memutuskan perlu adanya kenaikan harga rumah bersubsidi tersebut. 
Indonesia Jadi Penghasil Sugar Daddy Terbanyak ke-2 di Asia Tenggara

Terbukti, harga rumah mungil dan murah yang dipatok pemerintah masih pada kisaran Rp88 juta unit untuk yang termurah. Sedangkan yang termahal dan berada di luar Jawa (Papua), berkisar Rp145 juta per unit.

Deputi Bidang Pembiayaan Kemenpera, Sri Hartoyo, menjelaskan bahwa memang ada usulan kenaikan rumah yang diajukan sejumlah pihak ke kementerian tapi belum disetujui. Sebab, banyak sekali faktor yang harus dipertimbangkan.

"Kami belum memikirkan untuk menaikkan (harga), walaupun usulan dan berbagai masukan telah kami terima," ujar Sri kepada VIVAnews, Jumat 25 Oktober 2013.

Menurut Sri, faktor yang dapat mengurangi daya beli masyarakat juga harus diperhitungkan. Ia mencontohkan antara lain kenaikan harga bahan bakar minyak, tarif angkutan, dan bahan baku yang memang mengurangi keuntungan para pengembang. Namun, untuk menaikkan harga rumah butuh perhitungan yang tidak sederhana.  

Dia mengaku bahwa risikonya terlalu tinggi pada pasar jika harga rumah dinaikkan juga pada tahun ini. "Kami mengusahakan tahun ini jangan ada kenaikan. Mungkin kalau pun ada, kenaikan akan diputuskan tahun depan," kata Sri.

Meski begitu, menurut Sri, pemerintah tetap mengharapkan tahun ini tidak ada pengurangan pasokan dari para pengembang. 

Kendati demikian, yang terjadi di lapangan sangat berbeda. Sebab, para pengembang tetap berani menjual rumah dengan tipe kecil di atas harga yang dipatok pemerintah, Rp88 juta per unit, yakni di harga Rp100 juta ke atas. Dengan alasan, naiknya harga bahan bangunan dan lahan yang dipakai untuk membangun proyeknya.

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda menilai terjadinya kenaikan harga rumah yang dibanderol pengembang, meski pemerintah belum menyetujui kenaikan harga, terjadi akibat kesalahan dalam sistem perumahan nasional. Seharusnya, menurutnya, rumah rakyat menjadi tanggung jawab pemerintah dan tidak diserahkan kepada swasta. 

"Jika tetap diserahkan ke pengembang, maka mereka tidak bisa disalahkan, kalau harga rumah murah yang saat ini masih dipatok pemerintah termurah di Rp88 juta terus naik," ujarnya kepada VIVAnews.

Ali pun menilai, langkah tersebut bila ditinjau secara bisnis sah saja dilakukan pengembang, yang tentunya mengedepankan keuntungan. Namun, kalau berbicara untuk mengurangi kekurangan akan ketersediaan rumah (back log) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tidak akan tercapai.

Sebab, rakyat kecil tetap saja tidak bisa membeli rumah karena harga yang ditawarkan pengembang di luar batas kemampuan mereka dan jauh dari harga yang dipatok pemerintah untuk rumah tapak sederhana bagi MBR.

"Semua itu terjadi, karena pemerintah masih bergantung kepada pengembang yang bisa seenaknya mematok harga jual. Makanya, segera bentuk bank tanah milik pemerintah. Di mana nanti, pemerintah yang menyediakan lahan dan pengembang yang membangun. Dari situ, harga jual rumah menjadi murah," tuturnya.

Ali juga mengungkapkan bahwa saat ini banyak pengembang yang mencari cara agar harga yang ditawarkan ke konsumen tetap sesuai dengan harga patokan pemerintah.

Misalkan harga rumah yang dipatok Rp120 juta, tetapi supaya konsumen mendapat fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dan pengembang dapat bantuan PSU (prasarana, sarana dan utilitas umum) dari pemerintah, dalam transaksi jual beli harga rumahnya ditulis Rp88 juta (KPR), sedangkan sisanya disebutkan sebagai biaya untuk peningkatan mutu atau renovasi.

"Sebetulnya, itu sah saja tapi bisa termasuk penyelewengan bantuan pemerintah untuk MBR sehingga salah sasaran jadinya," jelasnya. 


Saran pemerintah ke pengembang
Sementara itu, Deputi Bidang Pembiayaan Kemenpera, Sri Hartoyo, mengungkapkan bahwa seharusnya para pengembang bisa mengakali kenaikan harga tanah yang melesat ini. Caranya adalah dengan tidak memilih lokasi prima untuk proyek mereka.

"Kalau bersaing dengan lokasi-lokasi prima, ya tentu saja harga tanahnya itu tidak akan ter-cover untuk rumah murah," katanya.

Jadi, ia meneruskan, tidak masalah bila rumah tapak sederhana mengambil posisi lebih jauh dari lokasi prima atau di tengah kota. "Intinya, sebagai pengusaha seharusnya bisa mencari jalan keluar yang sebetulnya cukup banyak," ujar Sri.

Para pengembang, lanjutnya, juga bisa meniadakan finishing dalam proyek-proyek propertinya. "Nanti, kalau konsumen sudah punya dana lebih mereka akan melakukan finishing sendiri," tutur Sri.

Selain itu, Sri menegaskan, para pengembang bisa juga menempuh cara lain seperti melakukan pembangunan massal sehingga ongkos pembangunan bisa lebih ditekan sehingga bisa diserap konsumen.


Harga rumah naik 1.500%
Sementara itu, pengamat properti Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda kembali menegaskan bahwa pemerintah telah berbuat salah dengan melepaskan kendali harga rumah untuk MBR kepada mekanisme pasar. Sebab, kebijakan itu memicu lonjakan harga rumah, termasuk yang disubsidi pemerintah.

"Pemerintah selama ini salah dalam mengelola public housing, khususnya rumah murah untuk masyarakat menengah ke bawah," katanya.

Lanjut Ali, pengelolaan public housing harus dilakukan sendiri oleh pemerintah, sehingga harga rumah bisa diatur dan dipatok. Dengan kata lain, harga tidak diserahkan kepada mekanisme pasar.

Namun, selama ini hal tersebut tidak terjadi. Sebab, kenaikan harga rumah dalam sepuluh tahun terakhir tercatat sebanyak 1.500 persen. Hal ini, tidak berbanding lurus dengan naiknya pendapatan masyarakat berpenghasilan rendah. (sj)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya