Tes Keperawanan Prajurit TNI, Pelecehan atau Kehormatan?

Apel TNI dan Polisi Wanita Memperingati Hari Kartini di Monas
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id
WNI Disandera, Pemerintah Dinilai Gagal Jaga Kedaulatan
- Tes keperawanan calon prajurit TNI perempuan menuai kontroversi. Kebijakan yang sudah lama berlangsung di institusi militer itu tiba-tiba menimbulkan pro kontra, setelah kelompok hak asasi manusia internasional mendesak pemerintah Indonesia agar menghapuskan tes keperawanan bagi calon tentara perempuan dan calon istri tentara.

Menhan Sedih Ada Prajurit TNI-Polri Terjerat Narkoba

Aktivis dari organisasi Human Rights Watch (HRW), Nisha Varia, meminta pemerintah Indonesia segera menghentikan segala macam bentuk tes keperawanan sebagai syarat menjadi prajurit TNI. Menurut HRW, pemeriksaan keperawanan dengan memeriksa selaput dara adalah praktik yang berbahaya dan memalukan.
Sayembara Aneh untuk Mahasiswi Perawan Berhadiah Beasiswa


Tes keperawanan itu lanjut Nisha, melanggar perjanjian-perjanjian hak asasi manusia internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Apalagi, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan bahwa tes-tes keperawanan untuk masuk ke institusi militer dan kepolisian tidak memiliki validitas ilmiah.

Sebab menurut WHO, ada beberapa alasan mengapa selaput dara perempuan tidak lagi utuh saat diperiksa. Oleh karenanya, tes keperawanan dianggap tidak memiliki keabsahan. Hasilnya pun tak selalu akurat.

"Angkatan bersenjata Indonesia seharusnya menyadari bahwa tes-tes keperawanan yang berbahaya dan memalukan bagi calon-calon tentara tidak berpengaruh pada penguatan keamanan nasional," ujar Nisha Varia dalam keterangan tertulisnya.

Selain calon tentara perempuan, tentara laki-laki yang akan menikah juga wajib memiliki surat rekomendasi dari para komandannya, di mana salah satu syaratnya adalah adanya hasil pemeriksaan medis, termasuk tes keperawanan calon istri tentara di rumah sakit militer.

BBC edisi Kamis, 14 Mei 2015 melansir, kelompok pembela HAM, International Rehabilitation Council for Torture Victims (IRCT) juga menyatakan tes semacam itu sebagai bentuk penyiksaan. Bahkan, menurut perwakilan IRCT tes keperawanan adalah bentuk pelanggaran terhadap hak perempuan dan penyiksaan di bawah hukum internasional.


HRW menyebut, dalam temuan mereka tes keperawanan antara lain dilakukan di rumah sakit militer  dengan "metode dua jari" yang invasif. Dokter memasukkan dua jarinya untuk menentukan apakah selaput dara masih utuh. Tes semacam ini secara internasional dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.


"Perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan. Melanggar perjanjian hak asasi internasional yang telah diratifikasi Indonesia," kata dia.


Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal M. Fuad Basya, mengaku bisa memahami jika ada calon prajurit perempuan yang tak lagi perawan ingin bergabung dengan TNI. Namun Fuad menyatakan tes keperawanan masih relevan di lingkungan TNI.


"Bisa saja hal tersebut (keperawanan hilang) akibat kecelakaan, penyakit atau kebiasaan. Namun, jika mereka melakukannya karena pola hidup mereka yang demikian, maka TNI tidak bisa menerima calon prajurit seperti ini," kata Fuad.


Seorang calon prajurit, kata Fuad, harus memiliki mental dan kepribadian yang bagus. Bagaimanapun, TNI memiliki kriteria sendiri dalam menentukan persyaratan bagi calon prajuritnya dan pihak lain tak berhak untuk mengintervensi.


Moralitas


Panglima TNI Jenderal Moeldoko, mengkritik balik pihak-pihak yang mempersoalkan tes keperawanan calon prajurit TNI. Moeldoko heran begitu banyak pihak yang mempermasalahkan tes keperawanan calon prajurit TNI. Dia menegaskan, tes keperawanan merupakan salah satu syarat menjadi anggota TNI.


"Terus kenapa masalahnya? Kalau itu untuk kebaikan, kenapa harus dikritik begitu?" kata Moeldoko di Istana Negara, Jumat, 15 Mei 2015.


Moeldoko menerangkan, ada tiga poin penting yang harus dimiliki prajurit TNI, yakni moralitas, akademik dan fisik. Adapun keperawanan lanjut Moeldoko, masuk dalam poin moral yang baik. "Tiga hal itulah jadi sandaran utama kita dalam menjadikan seorang prajurit," ucapnya.


Sehingga, sebelum diterima menjadi anggota TNI, seorang perempuan harus dilihat dulu apakah moralnya bagus, fisiknya memenuhi, dan akademiknya bagus. "Ini (tes keperawanan) bagian dari salah satu bentuk tadi," kata Moeldoko.


Ditemui di reuni Akabri angkatan 1981 di Akademi Militer Magelang, Senin, 18 Mei 2015, Moeldoko kembali menegaskan bahwa tes keperawanan prajurit TNI sudah berlangsung sejak lama di lingkungan TNI. Moeldoko mengaku akan tetap berpegangan pada kebijakan tersebut, meskipun mendapat banyak tekanan dari aktivis HAM.


"Jadi, tes keperawanan di TNI itu hukumnya wajib, dan saya
nggak
mau dipengaruhi oleh siapa pun," tegasnya.


Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu tak ingin membandingkan tes calon prajurit TNI dengan rekrutmen militer Amerika. Sebab, kedua negara ini jelas memiliki perbedaan budaya yang cukup mencolok. Bagi dia, moralitas merupakan poin mutlak yang harus dimiliki prajurit TNI.


Namun demikian, jenderal bintang empat itu tidak menjadikan tes keperawanan sebagai nilai mutlak dalam menentukan kelulusan calon prajurit TNI. Moeldoko menyadari ada beberapa hal yang bisa menyebabkan hilangnya "keperawanan" seorang perempuan


"Misalnya, bisa saja dia pernah kecelakaan, jatuh. Kalau seperti itu, tentunya tidak berpengaruh terhadap hasil tesnya," ujar Moeldoko.


Diskriminatif


Kontroversi tes keperawanan prajurit TNI menuai kritik dari anggota Komisi I DOR RI, Tubagus Hasanuddin. Menurut dia, jika mengacu pada Pasal 28  Undang-undang TNI Nomor 34 Tahun 2004, kebijakan tes keperawanan juga dinilai tidak pas. Setidaknya ada 8 persyaratan umum yang ditentukan untuk menjadi prajurit TNI dalam UU TNI.


Antara lain, WNI, beriman kepada Allah YME, setia kepada NKRI, Pancasila dan UUD 1945, berusia minimal 18 tahun, tidak punya catatan kriminalitas, sehat jasmani tidak sedang kehilangan hak menjadi prajurit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, lulus pendidikan pertama untuk membentuk prajurit siswa menjadi anggota TNI dan persyaratan lain sesuai dengan keperluan.


"Di sini tidak tercantum harus perawan atau perjaka," kata TB Hasanuddin. Adapun persyaratan lain sesuai dengan keperluan yang tercantum dalam UU tersebut, harus dengan keputusan Menteri Pertahanan RI, bukan keputusan Panglima TNI.


Politikus PDIP ini sepakat dengan larangan hubungan seks baik bagi perempuan maupun laki-laki yang belum menikah. Namun dia menilai, terkait adanya aturan perempuan yang tidak perawan lagi diambil haknya menjadi calon prajurit perlu dipertimbangkan.


"Perlu diperdalam apakah mereka yang tidak perawan itu moralnya rusak? Lalu bagaimana dengan calon prajurit prianya, apakah harus harus dites keperjakaannya biar adil?" ungkapnya.


Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan juga mengkritik kebijakan tes keperawanan bagi calon prajurit TNI perempuan. Komnas menganggap praktik itu sebagai serangan seksual yang merendahkan derajat manusia. Syarat tersebut dianggap diskriminatif terhadap perempuan.


"Praktik ini diskriminatif karena dilatari prasangka berbasis gender yang merendahkan perempuan. Tes keperawanan adalah tindakan memeriksa kondisi selaput dara yang kerap direkatkan dengan asumsi pernah tidaknya seorang perempuan melakukan hubungan seksual," ujar Ketua Komnas Perempuan Azriana kepada
VIVA.co.id
, Senin 18 Mei 2015.


Padahal, kata Azriana, tes itu tidak memiliki manfaat medis untuk menentukan kondisi kesehatan seseorang. "Lebih lekat pada prasangka moralitas perempuan dan dapat menimbulkan trauma bagi yang mengalaminya. Tes serupa hampir tidak mungkin dilakukan terhadap laki laki," katanya.


Tes keperawanan juga menyalahi konstitusi Pasal 281 Ayat (2) tentang hak bebas dari diskriminasi dan pasal 28G ayat (1) tentang hak atas perlindungan diri, harkat dan martabat. Pasal lain yang juga dilanggar adalah Pasal 27 Ayat (1) tentang hak kesamaan di hadapan hukum dan pemerintah.


Untuk itu Komnas Perempuan meminta Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan untuk memastikan institusi di bawahnya mendukung upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi dan  kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan juga meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kementerian kesehatan dan Kementerian Hukum dan HAM  untuk berkoordinasi, memastikan agar petugas medis dan pejabat publik tidak mendukung atau terlibat dalam praktik tes keperawanan.


Sementara, di bidang pendidikan, Komnas Perempuan mengusulkan agar Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kebudayaan memastikan integrasi pemahamam gender dalam kurikulum pendidikan nasional.


"Termasuk DPR untuk mengintegrasikan komitmen penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dalam elemen pengawasan anggota legislatif," ungkapnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya