Drone Tak Lagi Bebas Mengudara

Ilustrasi drone
Sumber :
  • REUTERS/Charles Platiau

VIVA.co.id - Pesawat tanpa awak atau drone sudah kian marak dipakai. Pesawat nirawak itu sudah dipakai oleh perorangan, lembaga atau komunitas untuk mendokumentasikan gambar, video dari udara.

Popularitas drone sudah terasa di Indonesia. Munculnya beberapa komunitas drone bisa menandai antusiasme orang Indonesia untuk menggunakan drone. Pilot drone bisa memakai pesawat nirawak untuk leluasa menjelajahi udara.

Tapi sejak pertengahan Mei 2015, kebebasan itu terancam. Drone tak lagi bebas mengudara. Musababnya adalah keluarnya aturan penggunaan drone yang ada pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awal di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia.

Permenhub ini mengatur, terdapat sejumlah kawasan yang sama sekali tidak ada yang boleh ada yang terbang di atasnya atau diistilahkan sebagai prohibited area. Contohnya adalah Istana Negara.

Kemudian ada juga restricted area atau kawasan terbatas. Kawasan ini seperti instalasi militer, yang penerbangan harus ada izin khusus. Kemudian ada juga kawasan keselamatan operasi penerbangan seperti bandar udara, yang mana setiap penerbangan harus melalui mekanisme air traffic controller yang berada di bawah Kementerian Perhubungan.

Penerbangan drone dibolehkan di wilayah yang disebut controlled airspace yang berada di bawah ketinggian 150 meter dari permukaan. Jika terbang di luar wilayah itu, harus mendapatkan izin dari Kementerian Perhubungan.

Direktur Navigasi Penerbangan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Novie Riyanto, mengatakan pertimbangan keluarnya Permenhub itu adalah soal keselamatan penerbangan. Dengan banyaknya drone yang terbang tinggi ratusan meter, harus diatur, agar tidak menganggu lalu lintas penerbangan.

"Sebab dikhawatirkan ada helikopter yang umumnya terbang sekitar 1500 kaki (457 meter). Dikhawatirkan akan ada insiden dengan helikopter. Jadi pertimbangannya ya saol keselamatan penerbangan," ujar Novie kepada VIVA.co.id, Jumat 18 September 2015.

Novie mengatakan ketentuan batas ketinggian 150 meter mengadopsi aturan lembaga penerbangan sipil internasional, International Civil Aviation Organization (ICAO). Batas ketinggian tersebut juga sudah sesuai dengan lingkungan ketentuan penerbangan di Indonesia.

Selain keamanan untuk tidak menganggu penerbangan komersil, kata Novie, pembatasan ketinggian terbang juga akan menghindari kemungkinan buruk lainnya. Misalnya, drone yang dikendalikan melebihi jarak 150 meter, maka berpotensi lepas kendali.

"Kalau terlalu tinggi itu terus bisa hilang, kalau begitu terus gimana," kata dia.

Aturan batas ketinggian penerbangan drone tersebut menuai pertanyaan dari kalangan jurnalis foto. Eddy Hasby misalnya, fotografer Kompas ini mengaku kerap menggunakan drone untuk mendapatkan sudut pandang yang dibutuhkan publik.

Terungkap, Misi Lanjutan Inisiator Pesawat Tenaga Surya

Pembatasan terbang maksimal 150 meter, bagi Eddy, bakal kerap diterobos jurnalis di lapangan. Menurutnya, dalam pratiknya selama ini, ia menerbangkan drone melebihi ketinggian maksimal 150 meter.

Eddy mencontohkan rekaman drone yang dilakukan medianya saat peliputan pembukaan Tol Cikopo-Palimanan jelang lebaran lalu. Untuk mengambil gambar dari atas persimpangan di tol terbaru tersebut, drone harus diterbangkan melampaui 150 meter.

Selain soal aturan ketinggian maksimal, persoalan izin untuk menerbangkan drone juga dipertanyakan. Apalagi bagi jurnalis dalam keadaan peristiwa darurat yang memerlukan perekaman atau pengambilan gambar dari udara. Dengan ketentuan harus meminta izin jika menerbangkan drone di atas 150 meter, maka kerja jurnalis diperkirakan akan terhambat oleh aturan tersebut.

Terkait dengan hal ini, Novie mengatakan batas ketinggian 150 meter merupakan batasan yang sudah cukup bagi jurnalis termasuk dalam pengambilan gambar sebuah peristiwa darurat.

"Saya rasa tidak ada sesuatu yang penting di atas 150 meter ya. Ini kan hitungannya 150 meter di atas laut lho ya," katanya.

Untuk itu, Novie menegaskan prinsipnya semua penerbangan drone di atas 150 meter harus mengajukan izin ke Kementerian Perhubungan. Sesuai ketentuan, jika menerbangkan di bawah 150 meter bisa dilakukan tanpa izin sepanjang di wilayah yang tak dilarang sesuai ketentuan Permenhub tersebut.

Novie mengatakan jangan khawatir kepada para pilot yang akan menerbangkan drone. Sebab ia memastikan proses perizinan bisa keluar dalam waktu singkat, yaitu antar 3-4 hari. Proses ini malah lebih cepat dari ketentuan yang dicantumkan dalam Permenhub tersebut yang mana perizinan memakan waktu 14 hari kerja.

"Paling lambat seminggulah. Izin ke kita saja, nanti kami lihat ada ganggu penerbangan atau nggak. Kalau enggak ya dinotifikasikan," kata dia.

Sejak Permenhub tersebut ditetapkan pada 12 Mei 2015, Novie mengatakan Kemenhub telah menerima pengajuan perizinan menerbangkan drone. Secara umum perizinan drone dilakukan dalam waktu yang singkat dan tidak banyak yang mendapatkan penolakan.

"Kita keluarkan untuk beberapa tempat. Tapi ada yang enggak kita keluarkan, soalnya ada yang izin dekat di dekat Bandara Gorontalo. Kita batasi," kata dia.

Penetapan peraturan tersebut juga menjadi perhatian bagi komunitas drone yang tergabung dalam Asosiasi Pilot Drone Indonesia (APDI).

Ketua Harian APDI, Fajar Yusuf mengatakan secara prinsip asosiasinya setuju dengan pembatasan penerbangan dalam ketinggian maksimal 150 meter. Sebab APDI juga mengakui pentingnya keselamatan penerbangan harus menjadi perioritas. Namun APDI menyoroti beberapa poin dalam Permenhub tersebut.

"Soal perumusan normanya. Isi besarnya baik ya, untuk mengatur keamanan penerbangan, tapi ini dirumuskan tak sempurna," kata dia.

Fajar memahami aturan pelarangan penerbangan pada restricted area memang diterapkan dengan mempertimbangkan pertahanan dan keamanan, tapi menurutnya area terbatas itu cakupannya luas, bahkan lintas provinsi. Ia mengatakan jika membuka peta, wilayah yang disebutkan restricted area mencakup sampai ke Jogjakarta dan Solo.

"Apa memang maunya kita menerbangkan drone untuk di halaman rumahnya saja, di Jogja atau Solo itu tidak boleh lagi (terbangkan). Itu kan berlebihan," kata dia.

Seharusnya, Fajar mengatakan, dalam penerapan area terbatas tersebut dilakukan per zonasi, yaitu ada area yang diperbolehkan, ada yang tidak diperbolehkan untuk menerbangkan drone.

Wilayah yang perlu dilarang untuk penerbangan drone yaitu bandara, terutama bandara yang mana beroperasi jet tempur nasional. Hal itu untuk mengurangi potensi drone yang mengganggu jet tempur yang terbangnya mencapai ribuan kaki.

"Akan lebih masuk akan kalau ada perbatasan wilayah udara, misalnya radius 6 Km. Di luar wilayah itu bsia diperbolehkan (terbang)" ujarnya.

APDI juga menyoroti keharusan mengajukan izin terbang saat pilot atau operator akan menerbangkan drone pada ketinggian lebih dari 150 meter, yang harus mengurus ke Kementerian Perhubungan di Jakarta.

Hal ini menurutnya akan merepotkan. Sebab selama ini, perizinan menerbangkan pesawat nirawak sudah pernah dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat. Lantas dengan keluarnya Permenhub, berarti pilot drone akan meminta izin lagi.

Fajar juga mengkritik saat mekanisme izin penerbangan drone yang belum jelas, Kemenhub sudah ancang-ancang untuk membuat regulasi tentang keselatan penerbangan sipil. Ia yakin jika demikian, aturan keselamatan penerbangan sipil itu akan makin tidak jelas, sebab menurut APDI, Permenhub Nomor 90/2015 saja masih ada banyak hal yang harus direvisi.

"Karena regulasi nanti Kemenhub akan atur semua drone, semua jenisnya dan harganya, bobotnya harus diregistrasi dari pemerintah. Ini seperti kode PK dalam pesawat terbang," kata dia.

APDI dalam hal ini menolak asas pukul rata semua drone harus disertifikasi dan diregistrasi. Aturan sertifikasi idealnya diterapkan untuk drone yang memiliki spesifikasi tinggi misalnya dari sisi bobot dan kemampuan terbangnya.

Jika pemerintah pukul rata semua jenis drone, maka yang muncul adalah overregulated.

"Misalkan nanti ada yang beli (drone) di Pasar Gembrong (pasar tradisional di Jakarta), masak mainan anak-anak harus registrasi," tuturnya.

Soal sertifikasi drone, Kemenhub mengakui hal itu. Kementerian yang dipimpin oleh Ignasius Jonan itu mengaku sedang menggodok aturan keselamatan penerbangan sipil. Dalam peraturan itu nanti, kata Novie, akan diatur drone dengan basis bobot sampai kualifikasi pilot drone.

Gambaran aturan ini, kata dia, bisa seperti regulasi yang berlaku di Eropa. Novie mengatakan di Benua Biru untuk drone dengan bobot 200 Kg harus mendapatkan sertifikasi, perawatan laiknya pesawat terbang.

"Misalnya untuk drone yang bobotnya 15-20 Kg cukup di registrasi saja," kata dia.

Fajar mengatakan idelnya untuk sertifikasi drone dan pilot harus ada pembedaan. Drone wahana berat yang berbobot di atas 25 Kg dan beroperasi di atas 150 meter itu yang seharusnya menjadi wilayah pemerintah.

Dibawah itu sebaiknya, kata APDI, tidak dikenakan izin maupun sertifikasi.

Soal sertifikasi kompetensi pilot drone, Fajar mengatakan sebaiknya diserahkan ke asosiasi profesi. Nantinya setelah lolos dari ujian asosiasi, maka pemerintah akan menerbitkan izin pilot.

Dahului AS

Fajar mengatakan rencana pemerintah mengatur registrasi dan sertifikasi drone terlihat ingin mendahului Amerika Serikat yang mana merupakan pusat industri drone.

Di Negeri Paman Sam, kata dia, aturan soal registrasi dan sertifikasi masih dalam bentuk draf dan akan dilegalkan sekitar 2020. Draf tersebut masih dalam perdebatan dan saat ini masih diujipublikkan.

Ia menambahkan draf pengaturan drone di AS membedakan benda terbang sipil dalam dua bentuk, pertama aero modeling dengan kualifikasi bobot bendanya ringan dan kemampuan terbang bisa sampai 500 kaki, sedangkan benda terbang kedua yaitu drone yang memiliki kemampuan di atas aero modeling.

"Peraturan kita ke depan bisa sama ratakan itu, kita enggak ada perbedaan benda terbang ringan dan berat sampai operasinya di atas 150 meter," jelasnya.

Untuk itu ia berharap sebaiknya aero modeling ditetapkan maksimal benda terbang yang memiliki bobot 25 Kg sedangkan drone di atas 25 Kg.

"Nggak masalah soal lisensi atau sertifikasi, tapi ini untuk yang 25 Kg dan yang mampu terbang di atas 150 meter," tuturnya.

Terkait izin drone, praktik yang ada di Amerika Serikat pun diterapkan untuk kemampuan yang tinggi. Fajar mengatakan ada tiga hal yang mengharuskan pilot drone di negara adidaya itu harus mengajukan izin yaitu selama pilot menggunakan wahana terbang berat, pilot mengoperasikan di atas 150 meter dan operasi drone untuk kepentingan komersil.

Dikutip dari Swnewsmedia, Jumat 18 September 2015, untuk penerbangan diatur oleh Federal Aviation Administration (FAA). Lembaga ini merupakan otoritas penerbangan nasional Amerika Serikat. FAA mengatur untuk kepentingan rekreasi, drone harus diterbangkan tidak lebih dari 400 kaki. Pertimbangnnya agar drone tidak menganggu operasi pesawat berawak saat menghubungi bandata atau menara kendali. Aturan FAA membatasi drone di sekitar bandara harus dioperasikan setidaknya 6 mil dari bandara.

Untuk kepentingan komersial, pilot drone atau entitas bisnis harus mendapatkan otorisasi dari FAA, yang dikenal dengan 'Section 333 Exemption'.

Setiap lembaga bisnis yang ingin memakai drone untuk komersil. FAA mensyaratkan entitas itu harus mendapatkan sertifikasi otorisasi yang akan membatasi ketinggian terbang drone. Entitas bisnis juga akan mendapatkan nomor identifikasi dari otoritas setempat dan harus mengajukan lisensi operator komersil.

Sedangkan untuk lembaga pemerintah yang memakai drone juga harus mengajukan permohonan sertifikasi otorisasi. Permohonan tidak berlaku untuk lembaga penegak hukum.

Untuk konteks izin menerbangkan drone di Indonesia, Fajar berpendapat seharusnya jangan berbasis kepentingan komersil. Drone yang bobotnya kurang dari 25 Kg meskipun dilakukan untuk kepentingan komersil tidak layak untuk diharuskan minta izin.

"Kita lihat di rezim perikanan. Nelayan kapal tradisional saja enggak perlu izin untuk tangkap ikan. Itu bisa kok," ujar dia.

Sindrom Ahmed Mohamed

Peraturan drone yang berpotensi overregulated bisa memupuskan potensi pengembangan bidang teknologi mutakhir tersebut.

APDI melihat drone bisa memicu kreativitas, meningkatan kemampuan teknologi anak bangsa serta juga mendukung pengembangan industri kreatif.

Fajar mengatakan saat ini, sudah banyak anak sekolah di Indonesia yang meminati sekolah robot. Ia khawatir pembatasan terlalu ketat dalam potensi drone bisa melahirkan sindrom Ahmed Mohamed, bocah di AS yang terkekang kreativitasnya akibat kasus jam rakitannya.

Dengan adanya regulasi yang membatasi pengembangan drone, maka akan berdampak pada potensi anak kecil di Indonesia yang sudah bisa merakit.

"Kalau ada regulasi (membatasi), ya mereka bisa rakit tapi enggak bisa diterbangkan. Ini hambat kreativitas untuk lebih menguasai teknologi. Regulasi ini (harusnya) hindari orang jadi gagap teknologi," kata dia.

Drone mengatakan pesawat terbang ini juga tidak hanya digunakan oleh kelangan pegiat saja. Drone dipakai oleh profesional industri kreatif untuk mendukung pariwisata dengan merekam keindahan alam Indonesia. Pesawat nirawak ini juga bisa dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian, pembangunan sektor agraria dalam hal penyebaran benih sampai pengawasan tumbuhan.

"Ini juga bisa dipakai untuk mendukung kebijakan pemetaan," katanya.

Fajar berharap pemerintah juga peduli dengan kepentingan rakyat yang ingin memanfaatkan drone untuk kehidupan sehari-hari.

Ia berpesan kepada Kementerian Perhubungan agar menurunkan aturan drone dengan berpijak pada semangat Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan pemanfaatan sumber daya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyar.

Udara, merupakan salah satu sumber daya yang harus dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Dengan adanya pembatasan ketat penerbangan drone, bisa membuat rakyat Indonesia kian terbelakang.

"Regulasi ketat, rakyat tak bisa manfaatkan (udara) dengan baik. Kita bisa ketinggalan dengan negara lain," ujarnya.

Cracuns, Drone yang Bisa Menyelam
Drone OS-Wifanusa

Drone Amfibi Penjaga Wilayah RI Kantongi Sertifikat Militer

Drone OS-Wifanusa telah jalani uji kelaikan sebulan lebih

img_title
VIVA.co.id
3 Agustus 2016