Membongkar Sekongkol Honda dan Yamaha

Honda BeAt eSP vs Yamaha Mio M3 125 CW
Sumber :
  • Blogotive.com

VIVA.co.id – Skuter matik alias skutik merupakan kendaraan roda dua yang kini tengah jadi primadona di Tanah Air. Penjualannya melesat tajam, laris bak kacang goreng. Nyaris, berbagai jalanan di Indonesia didominasi motor-motor ‘tanpa gigi’ itu. Wanita yang dahulu ogah besut motor pun kini keranjingan skutik.

KPPU Bakal Tagih Denda ke Honda dan Yamaha

Dari deretan angka penjualan secara nasional, skutik yang paling diminati masyarakat adalah yang berkapasitas mesin 110-125cc. Pertimbangannya, tentu masalah harga yang boleh dikatakan lebih terjangkau plus berbagai diferensiasi yang ditawarkan model ini. Tinggal gas dan rem, motor melaju sekehendak hati.

Namun, di balik kepopulerannya, ada masalah yang kini menjerat para produsennya, yakni dua raksasa otomotif Honda dan Yamaha melalui Astra Honda Motor (AHM) dan Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM). Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ternyata mencium praktik culas dua pabrikan ini yang memanfaatkan kepopuleran skutik di kelas 110-125cc. Apalagi, dua merek kenamaan ini menjadi pemimpin di segmen skutik dengan menguasai sekira 97 persen pangsa pasar domestik. Kini, KPPU pun kini memperkarakan Honda-Yamaha ke meja hijau.

KPPU Digugat Konsumen Skuter Matik

Dari pembeberan masalah yang dikemukakan KPPU, Honda-Yamaha diindikasi saling rangkul, sekongkol mengatur harga demi mendapatkan keuntungan besar. Dalam istilah bisnis, perilaku ini disebut kartel. Di mana, hal ini dilakukan untuk mencegah kompetisi, monopoli, dan saling mendapatkan keuntungan. Praktik ini tentu dilarang di hampir semua negara.

Kondisi itu berbeda dengan stigma yang melekat pada keduanya, di mana Honda-Yamaha justru tampak terlihat hebat berseteru di berbagai lini. Bahkan, hingga di ajang balapan. Tak heran jika kedua pabrikan ini sempat disebut seteru abadi.

Kasasi Ditolak MA, Honda dan Yamaha Dinyatakan Bersekongkol

Menurut Ketua KPPU Syarkawi Rauf, kenyataan menyebutkan keduanya justru 'mesra' kongkalikong mengatur harga skutiknya. Jika Honda naik harga, Yamaha kemudian mengekor. Bicara harga, disebut tak masuk akal, karena menjual jauh di atas biaya produksi sebenarnya.

"Untuk diperkarakan, tentu wajib memenuhi dua alat bukti, dan kami sudah memilikinya. Bukti yang kami miliki yakni bukti komunikasi yang dijalin keduanya terkait itu (sekongkol harga), dokumen-dokumen," kata Syarkawi saat dihubungi VIVA.co.id, Rabu, 20 Juli 2016.

"Sebenarnya, biaya produksi mereka itu cuma Rp7-8 jutaan, tapi kini dijual mahal (di atas Rp15 juta per unit). Mereka jual hingga dua kali lipat," kata dia.

KPPU yang melibatkan sejumlah ahli ekonomi dalam memperkarakan kasus ini, memberi angka ideal harga-harga motor yang bisa dijual Honda-Yamaha. Kata Syarkawi, mereka bisa jual motor-motor skutiknya dengan harga Rp10 jutaan dengan asumsi margin yang diambil sekira 20 persen. "Sebenarnya angka itu cukuplah bagi mereka untuk mendapatkan keuntungan,” kata dia.

Diseret ke meja hijau

Jika melihat akar masalah, sebenarnya kasus ini bergulir sejak 2015 lalu. Sementara persidangan perdana yang mengagendakan pemeriksaan pendahuluan, baru digelar Selasa, 19 Juli 2016. KPPU mengaku memiliki dua bukti kuat yang didapat saat proses penyelidikan, dan dibeberkan saat di persidangan. Dua alat bukti itu kemudian dijadikan sebagai bahan untuk menyeret Honda-Yamaha ke meja hijau.

Menurut Investigator KPPU Frans Adiatama, pihaknya memiliki bukti surat elektronik alias e-mail internal Yamaha yang dikirim Direktur Marketing Yamaha Indonesia Yutaka Terada untuk menyesuaikan harga jual motor skutik Honda. Email itu dikirim ke Vice President Yamaha Indonesia Dyonisius Beti dan Direktur Sales Yamaha Indonesia Sutarya.

Di e-mail itu tertulis: "President Kojima san has requested us to follow Honda price Increase many times since Januari 2014 because of his promise with Mr Inuma President of AHM at Golf Course (Presiden Kojima telah meminta kita untuk mengikuti harga Honda dan meningkatkan berkali-kali sejak Januari 2014, karena janjinya dengan Mr Inuma Presiden AHM di lapangan Golf."

Kojima yakni Presiden Direktur Yamaha Indonesia, Yoichiro Kojima. Sementara nama Inuma yang disebut, yakni Presiden Direktur AHM Toshiyuki Inuma.

KPPU juga memiliki sejumlah dokumen penguat lainnya, termasuk di antaranya data Yamaha yang mengalami penurunan penjualan, namun laba yang terus meningkat. Dokumen yang dibeberkan tertulis, jika laba operasional Yamaha pada 2014 naik 6,3 persen dan keuntungan bersih sebelum pajak Yamaha Indonesia, meningkat 47,4 persen.

Menurut Syarkawi Rauf, perkara tersebut merupakan inisiatif KPPU yang digelar setelah mereka melakukan serangkaian investigasi terhadap praktik usaha di industri sepeda motor. Syarkawi yakin, Honda-Yamaha telah berbuat picik. "Mereka berkoordinasi, buktinya dokumen yang membuktikan e-mail-e-mail-an untuk koordinasi harga," ujarnya.

Dari kasus ini, KPPU menyatakan tentu yang paling dirugikan adalah masyarakat alias konsumen, karena mereka tak dapat memperoleh harga beli sepeda motor yang kompetitif. Sidang sendiri masih bergulir dan dalam waktu dekat, tepatnya 26 Juli 2016, KPPU akan mendengar sanggahan resmi dari Honda-Yamaha.

Lantas, bagaimana jika kedua pabrikan 'kuda besi' tersebut terbukti bersalah, apa sanksinya? KPPU menyatakan bakal meminta mereka untuk membayar denda Rp25 miliar kepada mereka masing-masing. Nominal itu merupakan denda maksimal yang berlaku di KPPU.  Akan tetapi, berbagai rekomendasi dari hasil persidangan akan tetap dipertimbangkan KPPU selaku regulator. Seberapa berat pelanggaran yang dilakukan kedua perusahaan tersebut berdasarkan hasil sidang, dikatakan bakal mendapat ganjaran yang setimpal.

"Opsinya banyak. (Pencabutan izin operasi) bisa saja. Nanti kami lihat dahulu," kata dia.

Selanjutnya>>> Ini kata Honda dan Yamaha...

Honda-Yamaha bicara

Dalam persidangan perdana, Honda tak hadir. Pabrikan berlogo sayap mengepak itu mengaku absen karena sejumlah alasan. Menurut Deputy General Manager Sales Division AHM, Thomas Wijaya, mereka tak hadir karena surat pemberitahuan baru datang ke Honda sehari sebelum persidangan. Sehingga, tentu waktu terbilang pendek bagi mereka untuk melakukan persiapan di persidangan.

"Kami tidak bisa hadir karena kami memang baru menerima surat pemberitahuannya (sehari sebelum sidang). Padahal kami tentu butuh waktu untuk mempersiapkan segalanya, termasuk penunjukan kuasa hukum," kata Thomas Wijaya saat dihubungi VIVA.co.id, Selasa 19 Juli 2016.

Namun dalam kesempatan itu, Thomas menegaskan jika Honda siap mengikuti proses hukum yang tengah berlangsung. AHM juga siap membuktikan bahwa isu kartel bersama Yamaha itu tidak benar.

"Kami akan menggunakan hak-hak kami untuk membuktikan apa yang disangkakan KPPU itu tidak benar. Bahkan tidak pernah ada niat dan rencana untuk melakukan itu. Adanya selisih antara biaya produksi dengan harga jual karena dipengaruhi beberapa hal seperti bahan baku, pajak, biaya pengurusan surat dan biaya transportasi," kata Thomas.

Sementara itu, Assistant General Manager (GM) Marketing Yamaha Indonesia, Mohammad Masykur menjelaskan, dia tak menampik soal adanya beberapa kali kenaikan harga pada model skutik. Tetapi, kenaikan itu datang dari banyak sebab. “Kita harus lihat dulu dan pelajari dulu, karena setiap kenaikan harga banyak yang harus dilihat,” kata Masykur, Selasa, 19 Juli 2016.

Masykur sendiri mengaku hingga saat ini ia belum bisa memberikan tanggapan lebih lanjut mengenai tudingan tersebut. “Karena kita baru tahu hari ini, dan tidak bisa memberi tanggapan saat ini tanpa mempelajari Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP),” katanya.

Namun, diakui jika kemelut ini telah mengusik citra Yamaha di masyarakat. “Kita sudah taat hukum, kalau kita tidak taat hukum tentu tidak akan sampai 42 tahun,” katanya.

Kalau benar, menyakitkan

Lantaran banyak dipublikasi media, kasus ini tentu terus dipantau masyarakat atau konsumen kedua merek ini. Masyarakat atau konsumen mereka tentu menunggu hasil putusan persidangan terkait dugaan kartel. Terlebih, Honda dan Yamaha menjadi besar karena meraih kepercayaan konsumen. Dalam hal ini, masyarakat telanjur percaya terhadap produk dan layanan purna jual selama ini.

"Apabila benar mereka melakukan kartel harga, ini sangat menyakitkan konsumen," kata Wakil Ketua Komisi Bidang Industri DPR Mohamad Hekal, di Senayan, Jakarta, Rabu, 20 Juli 2016.

Menurut politikus Partai Gerindra ini, pihaknya meminta KPPU untuk terus mengusut dugaan praktik kartel itu. Jika terbukti, dia meminta Honda-Yamaha harus ditegur dan diberi sanksi tegas. Bahkan, jika dirasa perlu, Komisi VI juga akan memanggil Honda dan Yamaha ke DPR untuk menjelaskan duduk perkara ini. "Bila dirasa perlu, kami akan panggil," kata Hekal.

Hal senada disampaikan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Menurut Ketua Harian YLKI Tulus Abadi, KPPU harus menyelidiki lebih lanjut terkait kebenaran dugaan tersebut. "Saya kira KPPU harus menyelidiki itu, kalau memang terbukti ada praktik monopoli atau Kartel ya harus diberikan sanksi," kata Tulus saat dihubungi, Rabu, 20 Juli 2016.

Setiap pelaku usaha dikatakan harus mengikuti Undang-undang Persaingan Usaha. Jika ada salah satu pasal yang melanggar, tentunya harus diberi sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. "Ya kalau praktik kartel, maupun monopoli kan menjadikan konsumen sangat dirugikan, KPPU harus menghentikan praktik itu, agar pemain-pemain lain bisa menjual sepeda motornya dengan harga wajar juga," ujar Tulus.

Sementara itu, Ketua Komisi VI DPR RI, Teguh Juwarno mengaitkan adanya dugaan kartel harga skuter matik antara dua perusahaan Yamaha dan Honda dengan lambatnya transfer teknologi motor untuk bisa diproduksi secara lokal.

Dia melihat masih ada ketergantungan tinggi atas produksi motor. Tetapi, berbagai merek Jepang dianggap tak rela jika kemudian dikuasai anak bangsa. Mereka cuma mau komponennya diproduksi secara lokal saja. Padahal, jika transfer teknologi berjalan dengan baik, kasus demikian tentu tak akan terjadi, di mana akan banyak pilihan masyarakat akan sepeda motor, termasuk dengan harga yang terjangkau sekalipun.

"Teknologi motor bukanlah teknologi luar angkasa. Artinya bukan teknologi yang susah. Tapi transfer teknologi motor relatif berjalan lambat. Seolah ada ketidakrelaan dari principle agar bisa dikuasai anak bangsa," kata Teguh di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 20 Juli 2016.

Terbayang jika saat ini hampir tiap rumah di seluruh wilayah di Indonesia punya sepeda motor lebih dari satu, betapa besarnya keuntungan perusahaan motor. Industri ini memang dinilai seksi karena permintaannya yang tinggi.

Ia juga mendorong KPPU mengkritisi persoalan ini agar masyarakat bisa menikmati motor dengan harga yang wajar. Ia berharap agar transfer teknologi berjalan secepat mungkin sehingga masyarakat bisa menikmati industri motor dalam negeri dengan harga lebih murah. "Tidak bisa dipungkiri seolah-olah motor di Indonesia hanya dua merek itu saja. Produsen lain sepertinya tak bisa masuk. Kita minta KPPU gunakan kewenangan maksimal apakah ada bukti kartel dalam persaingan usaha," ujarnya.

Selanjutnya>>> Honda-Yamaha, perang atau mesra?

Honda-Yamaha, perang atau mesra?

Kasus sangkaan kartel ini juga membuat Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia (AISI) buka suara keras. AISI dengan tegas menyatakan tak ada kartel di tubuh anggotanya, Honda dan Yamaha. Ketua Umum AISI Gunadi Shinduwinata mengatakan, justru keduanya 'di lapangan' berduel sengit demi merebut pasar. Hal ini terbukti dari adu model baru, adu teknologi, dan lainnya.

"Dugaan kartel itu tak pernah ada, mereka justru perang berdarah-darah merebut pasar, tidak ada itu sekongkol. Di AISI sendiri, asosiasi ini tak pernah bikin perjanjian kartel. Kami yang tahu kondisi sebenarnya," kata Gunadi kepada VIVA.co.id, Kamis, 21 Juli 2016.

Soal tudingan harga skutik yang membengkak dan jauh dari biaya produksi, AISI juga mengaku kaget dengan angka-angka yang disebutkan KPPU. Sebab, perkiraan harga produksi versi KPPU jauh dari angka sebenarnya.

"Darimana mereka tahu, mereka bukan industriawan. Justru harga skutik saat ini di Indonesia paling kompetitif, harga kita bersaing, bagus. Saya pikir industri roda dua kita saat ini coba melakukan yang terbaik, maka itu jangan diganggu dengan hal-hal seperti ini," ujarnya.

Meski demikian, AISI mengaku menghormati langkah hukum yang ditempuh KPPU terhadap persoalan ini. Di mana, kata Gunadi, KPPU memang memiliki kewenangan soal perkara demikian. Namun dia meminta rasionalitas yang dikedepankan. "Kalau mau tahu yang sebenarnya, pasar kita (roda dua) sedang jeblok. Makanya jangan diganggu dengan hal-hal seperti ini," kata dia.

Sejumlah pihak pun berspekulasi terkait keberadaan Suzuki yang terus melempem dalam hal penjualan. Kata Gunadi, perang besar pabrikan otomotif memang terjadi, bukan saling merangkul. "Kejadian yang sesungguhnya itu benar-benar perang berdarah-darah. Honda dan Yamaha saling berebut pasar. Nah, Suzuki yang akhirnya kalah," kata Gunadi.

"Coba kalau kita lihat history-nya, pada tahun-tahun dahulu siapa nomor dua, Suzuki setelah Honda. Mana mungkin Suzuki mengalah, diam saja pasarnya diambil Yamaha. Karena, memang ada persaingan sengit di sana," ujar dia lagi.

Beberapa faktor yang mendukung seberapa kuat sebuah merek bertahan, tentu bicara kapasitas produksi, investasi, kekuatan merek, dan lainnya. "Kalau dilihat dari jumlah kan berbeda, enggak sama," kata Gunadi.

Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Franky Sibarani mengatakan, masih perlu melihat proses yang terus bergulir terkait dugaan praktik kartel Honda-Yamaha. Dia menilai, Honda dan Yamaha yang merupakan pemain bisnis otomotif besar di Tanah Air, tentu akan bekerja keras untuk membuktikan nama baik brand-nya.

"Kita tunggu saja prosesnya. Proses ini didorong untuk fair. Tidak untuk ditutup (bisnisnya) satu sama lain. Tapi, didorong persaingan itu lebih fair, lebih layak untuk masyarakat," ujarnya menambahkan.

Dia mengaku telah memanggil kedua pihak perusahaan besar ini. Namun, BKPM menyatakan sejauh ini masih menyikapi dengan itikad baik. Terkait sanksi berat seperti pencabutan izin investasi untuk Honda dan Yamaha, tidak akan dilakukan. Sebab, konteks persoalan saat ini dinilai tidak dapat diimplementasikan dengan pemberian sanksi pencabutan izin investasi. "Tentu tidak, karena ini persoalan yang berbeda," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya