Menanti Cerita Usai Si Bandit Bicara

Terpidana mati Freddy Budiman saat akan diterbangkan ke Nusakambangan.
Sumber :
  • Dok Kemenkum HAM.

VIVA.co.id - Pemerintah sudah melaksanakan eksekusi mati tahap ketiga terhadap para terpidana kasus narkoba di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pada Jumat, 29 Juli 2016, pukul 00.45 WIB. Kali ini, tim eksekutor menembak empat orang yang salah satunya Freddy Budiman.

Puslabfor Polri Selidiki Kasus Kebakaran Maut Toko Frame Mampang

Seperti yang dikatakan Jaksa Agung Muda Pidana Umum Noor Rachmad, masyarakat Indonesia memang sudah tidak asing lagi dengan nama Freddy. Rekam jejaknya di dunia peredaran narkoba sudah tak diragukan lagi.

"Freddy ini semua orang tahu bagaimana kiprahnya dalam peredaran narkoba selama ini," ujar Noor.

Bea Cukai dan Bareskrim Polri Jalin Sinergi Gagalkan Peredaran Narkotika di Tangerang dan Aceh

Noor menuturkan di tingkat Pengadilan Negeri, Freddy mendapat vonis hukuman mati. Begitu pula saat di Pengadilan Tinggi vonis hukuman mati, sampai PK ditolak.

"Yang bersangkutan tidak pernah mengajukan grasi kepada presiden, hak untuk mengajukan grasi gugur," ujar Noor.

8 Terduga Teroris Jaringan JI Ditangkap, Polisi Ungkap Ada yang Berperan Jadi Bendahara

Freddy disebutnya penjahat narkoba yang beroperasi tidak hanya di Jakarta. Jangkauannya sampai Surabaya, Bali, Makassar bahkan Papua. "Di dalam penjara, LP pun juga masih mengendalikan peredaran narkotika ini," tutur Noor.

Freddy sudah ditembak mati. Namun, persoalan tidak otomatis turut terkubur bersamaan dengan kematiannya itu.

Sebuah kisah yang cukup menggemparkan publik Tanah Air mengemuka beberapa saat usai pria yang sempat terlibat skandal dengan model Anggita Sari itu dieksekusi.

Adalah Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, yang memposting tulisan di akun resmi Facebook maupun Twitter Kontras. Tulisan itu berjudul 'Cerita Busuk dari Seorang Bandit'.

Haris bercerita tentang pertemuannya dengan Freddy Budiman di Lapas Batu Nusakambangan, di tengah riuhnya masa kampanye Pemilu Presiden tahun 2014 silam. Kala itu, Haris yang sedang sibuk berpartisipasi memberikan pendidikan HAM di masyarakat selama masa kampanye pilpres, menerima undangan dari sebuah organisasi gereja yang aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Batu Nusakambangan.

Singkat kata, melalui undangan organisasi gereja itu, Ia akhirnya bisa bertemu sejumlah narapidana kasus narkoba, terorisme, korban rekayasa kasus yang dipidana hukuman mati. Antara lain John Refra alias John Kei, Freddy Budiman dan Rodrigo Gularte.

Haris merasa beruntung karena pada saat itu, Kalapas Nusakambangan saat itu, Sitinjak, berkesempatan berbincang, bertukar pikiran seputar kondisi lapas dan seputar kerjanya di Lapas Nusakambangan. Melalui Kalapas, Haris juga diberi waktu berbincang selama dua jam dengan terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman.

"Pada hari itu menjelang siang, di sebuah ruangan yang diawasi oleh Pak Sitinjak, dua pelayan gereja, dan John Kei, Freddy Budiman bercerita hampir dua jam, tentang apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia lakukan," tulis Haris.

Dari balik penjara itu, Freddy Budiman blak-blakan seputar kasusnya. Freddy juga membeberkan bahwa ada campur tangan aparat, baik Polri, BNN, dan TNI dalam peredaran narkoba yang dia koordinir di Tanah Air. Nama-nama pejabat sempat ia serahkan kepada sang pengacara saat proses peradilan masih berlangsung. Namun Haris kesulitan mencari jejak pengacara Freddy, baik nama maupun sosoknya.

Tuai Polemik

Tanggapan dari berbagai pihak segera muncul. Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian pun mengaku telah membaca hasil wawancara Haris Azhar dengan Freddy Budiman, tersebut.

"Sudah. Sudah saya baca," kata Tito Karnavian di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat, 29 Juli 2016.

Tito pun meminta Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Mabes Polri, Inspektur Jenderal Polisi Boy Rafli Amar untuk melakukan pertemuan dengan Haris Azhar agar hal tersebut dapat ditindaklanjuti.

"Karena kalau kami lihat, yang beredar viral itu informasinya kan enggak jelas. Ada polisi, ada disebut-sebut nama-nama BNN (Badan Narkotika Nasional), yang lain-lain ya. Nah kami ingin tahu, apakah Pak Haris Azhar  mendapat informasi itu. Ada enggak nama-nama yang jelas, berikut buktinya?" katanya.

Menurut Tito, sangat mungkin jika Freddy Budiman, yang menurutnya bandar narkoba kelas kakap, sengaja melakukan pengalihan isu dengan maksud agar eksekusi matinya ditunda. Namun, pemerintah tentu berhati-hati dalam menentukan eksekusi mati.

"Tapi jangan salah. Bisa juga yang bersangkutan (Freddy) menyampaikan dalam rangka untuk menunda eksekusi. Trik-trik seperti ini sering kami temui," katanya.

Untuk mengusut lebih dalam pengakuan Freddy, Badan Reserse Kriminal Polri mengaku butuh data konkrit. Tapi sejauh ini, mereka menilai apa yang disampaikan Haris itu belum konkrit.

"Tapi datanya dari mana? Berangkat dari data, Haris kan baru katanya... katanya. Katanya yang sudah meninggal," ujar Kabareskrim, Komjen Pol Ari Dono, di Mabes Polri, Senin, 1 Agustus 2016.

Meski begitu, Polri mengungkapkan akan memanggil Haris terkait tulisannya di media sosial mengenai pengakuan Freddy Budiman itu.

"Enggak pakai disuruh. Kalau ada buktinya kami panggil nantinya, sekarang bertahap," kata Ari.

Menurut Ari, jika ada oknum Polri yang terlibat dalam peredaran narkoba itu, maka oknum tersebut akan diproses sesuai hukum. "Kalau kami temukan ada anggota yang melakukan sudah pasti akan kita tindak tegas," ujar dia.

Tuntutan Pembuktian

Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Jenderal Budi Waseso juga angkat bicara. Buwas, sapaan akrab Budi Waseso, meminta Haris Azhar membuktikan apa yang diungkapkan Freddy.

Dengan demikian, BNN akan mendukung aparat penegak hukum dalam mengusut tuntas dan mengungkap kebenaran cerita Freddy. Sanksi tegas tentu akan diberikan bila ada petugas di BNN yang menerima suap dari Freddy Budiman.

"Jika terbukti, oknum BNN membantu Freddy Budiman dalam melancarkan bisnis narkobanya, maka BNN akan memberikan sanksi yang tegas dan keras sesuai dengan atauran hukum yang berlaku," kata Buwas dalam keterangan yang disampaikan Humas BNN di Jakarta, Jumat, 29 Juli 2016.

Buwas menuturkan pemberantasan narkoba masih jadi fokus utama BNN. Pengungkapan kasus dilakukan hingga bandar besar yang menjadi otak pelaku peredaran narkoba.

"BNN akan tetap pada komitmennya dalam memberantas peredaran gelap narkotika hingga ke akar-akarnya dan mendukung terciptanya aparat penegak hukum yang bersih," ujar Buwas.

Tuntutan pembuktian juga datang dari mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono. Ia geram dengan Haris Azhar.

Alasannya, Haris telah menyebarkan kabar tentang adanya oknum pejabat BNN dan aparat kepolisian yang menerima uang ratusan miliar dari terpidana mati Freddy Budiman selama menjalankan bisnis haramnya (narkoba).

Ia meminta Haris Azhar membuktikan percakapannya dengan terpidana mati Freddy, terkait dengan adanya oknum aparat kepolisian atau BNN yang menerima uang pengamanan dari bandar narkoba tersebut.

Sedikit berbeda, Direktur Pemberdayaan Alternatif Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat BNN, Brigjen Fatkhur Rahman, justru mengakui sindikat jaringan narkoba dapat menyusup kepada aparat penegak hukum maupun Kementerian dan Lembaga yang terkait. Menurut Fatkhur, tidak menutup kemungkinan akan ada oknum pada lembaga-lembaga, bahkan termasuk BNN atau Polri.

"Jadi begini yah, itu bisa terjadi di mana saja mulai dari unsur aparatur penegak hukum maupun Kementerian Lembaga yang lain, kesehatan dan sebagainya. Itu tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh sindikat jaringan narkoba," kata Fatkhur di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Jumat, 29 Juli 2016.

Fakthur menegaskan, lembaganya akan menindak tegas jika ditemukan adanya oknum yang diketahui mempunyai keterkaitan dengan sindikat narkoba.

Ia mencontohkan sudah ada beberapa pejabat BNN di daerah yang dicopot gara-gara hal tersebut. Langkah itu sesuai dengan komitmen Presiden terkait pemberantasan narkoba.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, pemerintah telah memerintahkan Panglima TNI, Kapolri dan Kepala BNN untuk menelusuri kesaksian itu. Meskipun, ia mengaku tak mau ambil pusing. "Nanti diproses (diusut)," kata Jusuf Kalla singkat.

Namun, tak semua sependapat dengan kesaksian itu. Letak masalah yang dipersoalkan adalah waktu dimunculkannya hasil percakapan Freddy dan Haris.

"Kenapa ketika saat hendak dieksekusi mati, mendiang Freddy menyampaikan hal itu? Padahal, kalau memang ada niat ingin membongkar mafia narkoba dan orang orang yang terlibat dalam jaringan bisnis haram itu, mendiang Freddy bisa melakukannya di awal saat dia diadili," ujar anggota Komisi III Nasir Djamil, saat dihubungi, Jumat, 29 Juli 2016.

Politikus asal Partai Keadilan Sejahtera ini menduga, pengakuan Freddy itu karena ada rasa kecewa. Namun, lepas dari kebenaran pengakuan Freddy itu, penting bagi institusi yang disebut memberikan klarifikasi.

"Harus ada klarifikasi kepada publik agar tidak ada dusta di antara kita dan untuk menjaga wibawa penegakan hukum dalam hal pemberantasan narkoba di Indonesia," kata Nasir.

Sedangkan, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyebut testimoni almarhum Freddy Budiman perlu ditindaklanjuti. Kesaksian Freddy itu penting ditelusuri kebenarannya lantaran menyinggung soal dugaan keterlibatan oknum aparat dalam peredaran narkoba.

"Saya kira ini sangat mengejutkan. Kalau kita tahu ini benar-benar terjadi sebelumnya, ini bisa jadi satu temuan. Karena itu meski yang bersangkutan tak ada harus ditelusuri dan diteliti kebenarannya," kata Fadli di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 1 Agustus 2016.

Politikus Gerindra itu menyatakan, adanya dugaan keterlibatan oknum aparat harus digali, bahkan dihukum jika memang terbukti. Menurut dia, masyarakat justru akan mempertanyakan jika informasi tersebut tidak ditindaklanjuti.

"Oknum-oknum yang diindikasi harus diungkap, diadili, dan dihukum. Kalau tidak, kita tidak bisa memberantas narkoba. Hanya mengganti orang tapi jaringannya sama," kata Fadli.

Fadli menyebut informasi yang berasal dari Freddy dapat menjadi petunjuk penting dalam menelusuri jaringan narkoba di Indonesia. Menurut Fadli, testimoni itu dapat digunakan dalam upaya memberantas jaringan peredaran narkoba yang belum terungkap.

"Bisa diungkap dan jaringannya bisa dihentikan. Kalau tak diungkap, Freddy pergi jaringannya tetap ada. Peredaran narkoba hanya berpindah tangan," tutur Fadli.

Atas polemik ini, Komisi III DPR yang ruang lingkupnya membidangi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Keamanan berencana akan segera memanggil Kontras Haris pun siap diperiksa dan bertanggung jawab.

"Saya Haris Azhar, saya siap kapan pun untuk kooperatif. Kedua, jika ada kesalahan dari keterangan Freddy Budiman yang disampaikan oleh saya, atau kesalahan dari diri saya ketika menyampaikan keterangan dari Freddy Budiman, saya siap bertanggung jawab," kata Haris di YLBHI, Jakarta, Minggu, 31 Juli 2016.

Terkait tuntutan untuk membuktikan, Haris menegaskan  itu bukanlah tugasnya. Karena, ia bukan pejabat negara yang memiliki wewenang.

"Saya tidak dilengkapi alat-alat kerja untuk memeriksa, mencari kelengkapan itu semua," kata Haris.

Menurutnya, perannya sudah tepat untuk menyuarakan hal tersebut. Sementara tugas dari para penegak hukum yang meragukannya justru harus menindaklanjuti, baik dari kepolisian maupun Istana Negara.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya