Kisah Tragis Keluarga Mantan Presiden Korsel

Mantan Presiden Korea Selatan Park Geun-hye
Sumber :
  • REUTERS/Lee Jae-Won

VIVA.co.id – Ibarat pepatah, buah jatuh takkan jauh dari pohonnya. Begitu pula yang dialami Park Geun-hye. Perempuan berusia 65 tahun ini sukses meniti karier politik hingga menjadi orang nomor satu di Korea Selatan, seperti ayahnya.

Mantan Presiden Korsel Diampuni Usai Vonis 22 Tahun Penjara

Lahir 2 Februari 1952 di Samdeok-dong dari Jung-gu, Daegu. Di kota metropolitan terbesar keempat di Korea Selatan itu, Park hanya satu tahun tinggal.

Pada 1953, ia bersama keluarga kemudian pindah ke Seoul, ibu kota Korea Selatan. Park adalah anak pertama dari pasangan Park Chung-hee, perwira tinggi militer sekaligus presiden ketiga Korea Selatan yang menjabat periode 1961-1979, dan Yuk Young-soo.

Sidang Perdana Mantan Presiden Korsel Digelar 2 Mei

Ayahnya dikenal sebagai pemimpin yang sangat keras dan tegas. Sebelum Chung-hee menjadi orang nomor satu, situasi dan kondisi di Korea Selatan sangat memprihatinkan.

Pascaperang Korea (1950-1953) hingga awal 1960, politik dan ekonomi negeri Ginseng mengalami kemunduran. Tak pelak menimbulkan demonstrasi mahasiswa yang membuat Presiden Yun Bo-seon mundur dari jabatannya.

Mantan Presiden Korsel Resmi Didakwa Skandal Suap

Dan, pada saat itu pula, posisi Chung-hee, baik militer maupun politik, sedang kuat-kuatnya.

Pemilihan presiden pengganti lalu ditetapkan pada 16 Mei 1961, di mana Chung-hee berhasil menjadi penghuni Rumah Biru - sebutan bagi Istana Kepresidenan Korea Selatan - dengan lancar melalui kudeta militer.

Di bawah kepemimpinannya, Chung-hee berhasil mengembalikan keadaan ekonomi Korea Selatan menjadi lebih baik. Pemerintahannya sangat mendukung industrialisasi, terlebih pada pasar ekspor dan kemunculan konglomerat atau biasa disebut 'chaebol’.

Pada saat yang sama, Chung-hee semakin mendekatkan pemerintahannya dengan Amerika Serikat dengan mengirimkan tenaga bantuan untuk Washington di Perang Vietnam.

Meskipun banyak melakukan banyak perubahan untuk Korea Selatan, memasuki 1971, cara kepemimpinannya yang diktator ternyata tidak disukai oleh masyarakat, khususnya mahasiswa.

Demonstrasi pun digulirkan. Tak ingin lengser seperti presiden sebelumnya, maka Chung-hee melakukan amendemen konstitusi yang dikenal sebagai Konstitusi Yushin pada Oktober 1972.

Dalam konstitusi terbaru secara tegas menyatakan kepemimpinannya akan terus berlanjut. Sejak saat itu, ia menggunakan konstitusi terbarunya ini untuk memenjarakan lawan politik yang berani mengkritiknya.

Di tengah puncak kepemimpinannya, pada 15 Agustus 1974, istri Chung-hee, Young-soo, ditembak mati oleh simpatisan Korea Utara bernama Mun Se-gwang, warga negara Korea kelahiran Jepang.

Awalnya, Se-gwang menargetkan Chung-hee untuk dibunuh. Geun-hye lalu bertindak sebagai Ibu Negara (First Lady) di usianya ke-22 tahun.

Upaya pembunuhan itu tidak menyurutkan Chung-hee untuk terus mempertahankan kekuasaan. Selama tujuh tahun, Chung-hee memimpin Korea Selatan dengan otoriter.

Gelombang protes juga tidak surut dan semakin berlanjut. Memasuki 1979, tuntutan untuk menurunkan Park Chung-hee dilakukan melalui aksi demonstrasi besar-besaran.

Demonstran menganggap bahwa Chung-hee sudah terlalu lama menjabat sebagai presiden, yakni 18 tahun. Namun, kabar mengejutkan datang dari Rumah Biru.

Presiden Chung-hee tewas ditembak oleh Direktur Korean Central Intelligence Agency, Kim Jae-gyu, pada 26 Oktober 1979. Jea-gyu bersama lima anak buahnya dijatuhi hukuman gantung pada 24 Mei satu tahun kemudian.

Selanjutnya, Perjalanan Karier Park Geun-hye

Perjalanan Karier Park Geun-hye

Sepeninggal ayahnya, bagaimana perjalanan karier Park Geun-hye? Mengutip situs Reuters, Sabtu, 1 April 2017, karier politik Geun-hye mulai bersinar pada 1998.

Kala itu, ia kembali ke dunia politik setelah bertahun-tahun hidup di pengasingan. Ia berhasil menjadi anggota Parlemen Korea Selatan. Geun-hye bersumpah akan menyelamatkan negaranya akibat menderita krisis moneter.

Periode 2004-2010, Geun-hye terus memperkokoh taring politiknya di parlemen melalui bendera Partai Nasional Raya (Grand National Party/GNP). Sempat pada 2007 bertarung memperebutkan kursi presiden, namun dikalahkan oleh Lee Myung-bak.

Pada 19 Desember 2011, Geun-hye mengubah Partai Nasional Raya menjadi Partai Saenuri atau New Frontier Party. Pada bulan yang sama satu tahun kemudian, Geun-hye mencoba lagi peruntungannya menjadi presiden Korea Selatan.

Ia akhirnya berhasil menang tipis (51,55 persen) dengan mengalahkan lawannya dari Partai Liberal Moon Jae-in (48,02 persen). Pada 25 Februari 2013, Geun-hye diambil sumpah sebagai presiden perempuan pertama Korea Selatan.

Awal tanda kejatuhan Geun-hye terjadi pada 16 April 2014. Saat itu, kapal feri The Sewol tenggelam yang menyebabkan 304 orang tewas.

Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak sekolah. Akibat insiden itu, pemerintahan Geun-hye dikritik habis-habisan karena tidak bertindak cepat.

Lalu, pada 25 Oktober 2016, Geun-hye membuat permintaan maaf publik pertamanya karena memberikan akses kepada seorang teman, Choi Soon-sil, untuk menyusun pidato kepresidenan.

Sejak saat itu, tuduhan pada Geun-hye tidak berhenti. Ia dituduh korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Parlemen Korea Selatan mendesak untuk menggulingkan Geun-hye dari kursi kepresidenan.

Setelah berhasil digulingkan pada 9 Desember 2016, posisinya digantikan oleh Perdana Menteri Hwang Kyo-ahn, sekaligus pejabat presiden. Hal ini diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan pada 10 Maret 2017 yang 'meresmikan' pemecatan Geun-hye sebagai presiden.

Dan kini, pemimpin yang terpilih secara demokratis itu kemudian resmi menghuni Pusat Penjara Seoul pada 31 Maret 2017. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya