Mempertanyakan Jeratan Pasal Makar Aksi Bela Islam

Aksi 313 di Bundaran Patung Kuda Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA.co.id – Polisi menangkap lima orang terkait aksi damai 313. Persangkaan itu serius bukan main-main, karena mereka dituding terlibat pemufakatan jahat untuk melakukan tindakan makar atau pelengseran pemerintahan yang sah. Langkah ini dinilai perlu dilakukan agar aksi superdamai yang digelar ribuan umat Islam tak ternodai.

Pengacara Berasumsi Kasus Makar Eggi Sudjana Sudah Selesai

Salah seorang peserta yang diamankan Muhammad Al Khaththath, Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam, yang bertindak sebagai pentolan aksi 313. Penangkapan senyap Al Khaththath dilakukan Jumat dinihari, 31 Maret 2017, sebelum aksi digelar, di sebuah hotel Jakarta Pusat, sekira pukul 02.00 WIB. 

Sementara empat orang lain yang diamankan di sejumlah tempat terpisah adalah Zainudin Arsyad, Irwansyah, Dikho Nugraha dan Andre. Zainudin tercatat bagian dari Gerakan Mahasiswa Pelajar Bela Bangsa dan Rakyat. Irwansyah merupakan Wakil Koordinator lapangan aksi 313. Sementara Dikho dan Andre adalah bagian dari Forum Syuhada Indonesia (FSI). Kelimanya lalu ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

Eggi Sudjana Diperiksa Lagi Sebagai Tersangka Kasus Makar Besok

Polisi bersikeras menyatakan sudah mengantongi bukti permulaan cukup kuat untuk menciduk kelimanya. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono, mengatakan bukti-bukti yang jadi dasar ditangkapnya Al Khaththath Cs, karena ada topik pembicaraan mereka dan ada juga hasil dari pembicaraan tersebut. Topik yang dibicarakan, yakni ingin melengserkan pemerintahan yang sah, serta berniat kembalikan ke UUD 1945 asli.

"Kalau sudah dilakukan penangkapan berarti sudah ada alat bukti yang cukup untuk dilakukan penangkapan. Tentunya penyidik mempunyai alasan dan sesuai prosedur yang telah kita punya. Semua perbuatan ini delik formal, jadi sudah kita punya semua bukti yang dimiliki penyidik," tutur Argo, Jumat 31 Maret 2017.

Penangguhan Penahanan Kivlan Zen Tidak Dikabulkan Polisi

Dalam penyelidikan pula, kelimanya terungkap acap menggelar pertemuan-pertemuan terkait adanya aksi dugaan makar. Salah satunya rencana berniat menggiring massa aksi 313 untuk menduduki Gedung DPR/MPR. Atas dasar itu pula kelima tersangka diancam dengan Pasal 107 juncto 110 KUHP perihal pemufakatan jahat atau makar.

"Itu (bukti) sudah dipunyai penyidik, ada beberapa pertemuan di mana agenda pertemuan itu merupakan suatu kesimpulan. Ada di situ, salah satunya menduduki Gedung DPR/MPR, lalu mengganti UUD kembali ke UU asli. Ini suatu kegiatan yang dilakukan secara inkonstitusional. Mereka tentunya sudah dipantau lama oleh penyidik," katanya.

Selalu Ada Penangkapan

Sejumlah pihak langsung bereaksi sesaat setelah penangkapan Al Khaththath Cs. Sebagian mengkritisi langkah yang dilakukan kepolisian karena amat dinilai mengherankan. Betapa tidak, selalu saja ada penangkapan tiap aksi bela Islam digelar.

Seperti diketahui, polisi juga melakukan penangkapan pihak-pihak yang terkait dengan aksi damai 212 Desember 2016 lalu. Saat itu, ada 10 orang yang diamankan dengan tuduhan pemufakatan makar. Sejumlah tokoh yang ditangkap antara lain, Sri Bintang Pamungkas, Rachmawati Soekarnoputri, Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet dan Ahmad Dhani.

Dikhawatirkan tindakan tersebut bakal membelenggu masyarakat ke depan saat ingin sampaikan pendapat di muka umum. "Ketika pimpinan aksi ditangkap tentu ada kekhawatiran, ini ada apa? Saya rasa publik pun bisa menilai. Tiap aksi pasti ada yang ditangkap," kata Anggota Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Majelis Ulama Indonesia, Abdul Chair Ramadhan, Jumat 31 Maret 2017.

Abdul tak habis pikir Al Khaththath dianggap sebagai pihak yang ingin lakukan makar. Lantaran aksi damai yang digelar di ibu kota pada 313 hanya dimaksudkan mencari keadilan atas kasus yang menjerat Gubernur DKI non aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. "Tak logis jika disebut makar, tidak ada kaitannya. Ini fitnah yang sangat kejam, tidak sesuai dengan undang-undang."

Penangkapan yang dilakukan terhadap Sekjen FUI Cs juga disayangkan Komisi Hukum DPR RI, Muhammad Syafi'i. Polisi dinilai telah melakukan upaya diskriminasi. Apalagi sejak awal pemerintah dianggap memang tak ingin merealisasikan tuntutan umat Islam yang menginginkan Ahok sebagai terdakwa penodaan agama diberhentikan dan segera ditahan. "Saya melihat ini sebagai diskriminasi. Aparat tidak ingin ada demo karena dari awal tuntutan mereka tidak ingin merealisasikan keinginan para demonstran," ujar Syafi'i kepada VIVA.co.id.

Pemerintah melalui kepolisian dikatakan sengaja ingin melakukan kriminaliasasi semua pihak yang mengkoordinir demonstrasi, seperti halnya sejumlah tokoh yang ditangkap pada kasus Aksi Bela Islam 212. Dengan mengkriminalisasi beberapa pihak terkait, kekuatan tentu akan melemah.

"Semua tahu safari dengan tokoh-tokoh ormas untuk tidak menjadi supporting lagi. Coba lihat sekarang, mereka telah berhasil memainkan skenario, info terakhir ditangkapnya Sekjen FUI Muhammad Al Khaththath, strategi yang sama juga ingin diterapkan," katanya.

Selanjutnya ===>>> Penangkapan sengaja direkayasa?

Sengaja Direkayasa?

Syafi'i merasa tak kaget dengan penangkapan sejumlah tokoh Islam belakangan ini. Sebab, penguasa dianggap telah melakukan degradasi dan sengaja mencederai penegakan hukum demi kepentingan kekuasaan. Dia juga bingung atas pasal makar 107 atau pasal makar lainnya yang sengaja dikenakan untuk menjerat sejumlah orang yang ditangkap. Karena pasal makar yang dituduhkan dinilai tak pernah memenuhi dasar hukum.

"Selama ini tuduhan makar itu tidak pernah memenuhi dasar hukum, mana yang dikategorikan makar, tidak terbukti. Hanya dianggap sebagai pengganggu keinginan penguasa. Bukankah demonstrasi konsekuensi sistem demokrasi kita, selama itu aman dan tertib kenapa ditangkap?" katanya.

Senada disampaikan Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Sodik Mudjahid. Dia mengkritik penangkapan sejumlah orang jelang aksi damai 313. Dia meminta polisi tak membuat bingung masyarakat dengan tuduhan makar yang disematkan pada mereka.

Politikus Partai Gerindra ini meminta, Polri tak jadi alat untuk kepentingan politik pihak tertentu. Apalagi penangkapan ini terjadi di masa Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Kata Sodik, Polri juga seharusnya tidak tebang pilih dan mengusut kasus yang lebih penting lagi ketimbang kasus ini. Dia turut mengkritik Presiden Joko Widodo yang seperti melakukan pembiaran atas peristiwa tersebut. "Presiden pernah mengatakan pisahkan agama dari politik, tapi nyatanya Presiden menekan agama Islam untuk dan karena politik," ujar Sodik di Jakarta Pusat, Minggu, 2 April 2017.

Sementara itu, kepolisian membantah jika penangkapan terhadap Al Khaththath Cs sengaja direkayasa. Karena kepolisian mengklaim, mereka sudah bertindak sesuai prosedur terkait penangkapan. "Banyak simpang siur berita-berita di medsos (media sosial), jadi ada penilaian-penilaian beberapa pihak ada kesan ini rekayasa (penangkapan Al Khaththath Cs), ada saja yang mencuat itu. Ini tidak ya? Jadi saya tegaskan tidak ada rekayasa dalam tindakan Kepolisian," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Rikwanto.

Apa yang dilakukan aparat kepolisian, lanjut Rikwanto, benar-benar murni dalam rangka menjaga masalah keamanan negara Indonesia. Maka itu, ia meminta agar tidak ada pihak yang menyebut bahwa tindakan polisi dalam kasus ini merupakan suatu rekayasa kasus. "Seperti kasus terorisme Yayat yang meninggal di Bandung (bom panci Cicendo), banyak yang bilang direkayasa. Memang ada orang mati direkayasa? Dan setelah itu banyak lagi penangkapan-penangkapan yang lebih parah kondisinya paralel," kata Rikwanto.

Pasal Makar Multitasir

Selama ini aparat kepolisian memang kerap menggunakan pasal makar untuk menciduk para pelaku yang dinilai memberikan ancaman keutuhan bangsa. Tetapi pasal ini juga dianggap membuka peluang pula untuk membungkam kebebasan ekspresi masyarakat.

Dalam laporan evaluasi Hak Asasi Manusia PBB yang dikeluarkan pada 2012, disebutkan jika pasal ini sebaiknya dihilangkan karena dianggap multitafsir. "Rekomendasinya adalah pemerintah harus merevisi pasal tersebut dan memberikan pengertian yang jelas ekspresi politik warga ini tidak lagi direpresi dengan menggunakan pasal 106," kata Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers, Asep Komarudin.

Ia menyatakan pasal dengan tuduhan makar ini sebenarnya sudah dikenakan kepada sejumlah aktivis terkait menyampaikan pendapat di muka umum. Hal itu banyak terjadi pada aktivis yang berdomisili di Papua dalam berbagai kesempatan karena menyampaikan ekspresi politiknya. "Misalnya, dengan berteriak merdeka. Itu sudah dikenakan pasal makar. Padahal ini baru merupakan ungkapan atau ekspresi politik warga negara berkaitan dengan situasi dan kondisi," ujar dia.

Pasal makar juga sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi. Pihak yang melayangkan gugatan adalah Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR. Namun MK menyebut legal standing pemohon tak kuat, karena pemohon kurang detil dalam menjabarkan arti makar yang mereka persoalkan dalam berkas uji materi. Frasa makar yang ketentuannya tercantum dalam KUHP pada sejumlah pasal, dianggap kabur dan tidak jelas.

Jika melihat Kitab Umum Hukum Pidana, ada sejumlah pasal makar yang berlaku di Indonesia. Berikut pasal-pasal tersebut:

Pasal 104

Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 105

(Pasal ini ditiadakan berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1946, pasal VIII, butir 13).

Pasal 106

Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 107

Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri Boy Rafli Amar, pada sebuah kesempatan, kritik dan makar adalah dua hal berbeda. Apabila merujuk pada Pasal 107 jo 110 KUHP, makar diartikan sebagai upaya penggulingan pemerintah yang sah melalui pemufakatan. Meski begitu, ada pula makar yang kerap disertai dengan penggunaan senjata api, walau pun kasus ini belum terjadi.

Kata Boy, makar sebenarnya juga bisa dideteksi melalui sejumlah unsur tanpa perlu dahulu kasusnya terjadi. “Makar bisa dimasukkan ke dalam sebuah permufakatan dan dikategorikan sebagai perbuatan delik formal. Tidak harus menjadi sebuah kenyataan dulu baru bisa dihukum, tetapi bisa juga dengan adanya deteksi pertemuan, kegiatan dan penyelidikan.”

Dia mengatakan, sah-sah saja sebenarnya memberikan pandangan yang kritis pada sebuah negara demokrasi seperti Indonesia. Tetapi semua tentu berpatokan pada hukum yang berlaku. "Rambu hukum tetap dipegang. Jangan sampai di negara hukum, semua serba dibolehkan,” kata dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya