TNI AU, Tol Udara, dan Poros Maritim

Pesawat jet tempur Sukhoi TNI alutsista
Sumber :
  • Antara Foto/M N Kanwa/ via REUTERS

VIVA.co.id – Sektor udara menjadi salah satu program pembangunan Minimum Essential Force (MEF), sebagai upaya penguatan pertahanan nasional. Hingga Rencana Strategi (Renstra) tahap dua, TNI AU sudah melakukan upaya membangun serta modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista).

Prajurit TNI AD Tewas Dikeroyok di Penjaringan Jakut

Berbagai alutsista canggih sudah dimiliki TNI AU yang Minggu besok akan merayakan HUT ke-71. Mulai pesawat jet Sukhoi Su-27/30, F-16, Super Tucano, hingga CN 235 sudah ada untuk menjaga keamanan wilayah teritorial Republik Indonesia.

Mengacu cita-cita Indonesia yang diharapkan menjadi poros maritim dunia, Angkatan Udara tentu menjadi tumpuan. Dari segi armada alutsista, sektor udara memiliki keunggulan kecepatan dibandingkan sektor laut dan darat.

Kodam: Rachel Vennya Dibantu Paskhas TNI AU saat Kabur Karantina

Namun, dibandingkan dengan luas wilayah negara, ukuran alutsista sektor udara yang saat ini dinilai masih belum ideal. Luas negara yang lebih lima juta kilometer persegi tak sebanding dengan kesiapan anggaran yang disediakan.

Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie menyoroti masalah anggaran yang ada seperti hanya cukup untuk lima pesawat jet tempur yang beroperasi dalam sehari. Sementara itu, idealnya wilayah seperti Indonesia itu punya anggaran operasional untuk lebih dari 50 jet tempur dalam sehari.

Gawat, Jenderal Bintang 2 TNI Dipukuli Warga

"Kalau dari kapabilitas kebijakan, seharusnya dengan penyesuaian kebutuhan sekarang dalam ukuran masih jauh," kata Connie kepada VIVA.co.id, Jumat 7 April 2017.

Menurut dia, sistem pemerintah Indonesia dalam pemenuhan alutsista masih belum sesuai dengan kebutuhan. Menurutnya, Kementerian Pertahanan seharusnya yang memiliki roadmap dalam memetakan kebutuhan alutsista untuk TNI.

Selama ini, TNI harus menyesuaikan anggaran yang dialokasikan pemerintah. Namun, faktanya dalam kebutuhan alutsista cukup besar jika berdasarkan luas wilayah negara.

"Karena sistem yaitu TNI harus mengikuti negara, bukan bagaimana yang diminta TNI. Nah, dalam hal ini harusnya Kementerian Pertahanan yang punya roadmap. Bagaimana TNI AU harus bisa mengadakan pengadaan based on needs not based on want," tutur Connie.

Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara, Marsekal Pertama Jemi Trisonjaya mengatakan, TNI AU akan berupaya kuat mendukung kebijakan pemerintah terkait cita-cita sebagai poros maritim dunia. Salah satu yang masih terkait dengan memberikan dukungan terhadap program tol udara.

Jemi mengakui dengan luas geografis Indonesia, menjadi tantangan TNI AU. Rentan ancaman terhadap wilayah kedaulatan Republik Indonesia menjadi antisipasi TNI.

Selain menambah unit alutsista jet tempur, dalam Renstra MEF tahap dua, TNI AU menyiapkan fasilitas pendukung seperti membangun pangkalan udara di daerah perbatasan. Selain itu, menyiapkan rencana renovasi pelebaran landasan pacu.

"Kebijakan tol udara akan kami dukung yang masih menyangkut dari poros maritim dunia. Bagaimana tol udara dengan menyiapkan pangkalan udara di sejumlah daerah perbatasan," kata Jemi kepada VIVA.co.id, Jumat, 7 April 2017.

Selanjutnya...Deretan Alutsista Udara

Untuk ukuran modernisasi, TNI AU punya beberapa alutsista yang memang layak dikedepankan. Selain F-16, terdapat unit jet tempur Sukhoi Su-27/30. Deretan ini akan bertambah karena rencana mendatangkan Sukhoi Su-35 dari Rusia. Su-35 ini nanti akan menggantikan F-5E/F Tiger II.

Jemi Trisonjaya menjelaskan, kekuatan jet tempur TNI AU beberapa ada di Lapangan Udara militer Iswahyudi (Madiun), Lanud militer Roesmin Nurjadin (Pekanbaru), dan Lanud militer Sultan Hasanuddin (Makasar). Di Lanud Iswahyudi terdapat Skadron Udara 3 dengan 14 unit jet tempur F-16. Di Lanud Roesmin Nurjadin ada 19 jet F-16. Jumlah ini pada akhir tahun akan bertambah menjadi 24 unit F-16.

Kemudian, di Lanud Sultan Hasanudin terdapat 16 unit Sukhoi Su-27/30.

"Ini kan beberapa skadron akan ikut generasi 4,5 seperti F-5E Tiger akan menjadi FA-5, jadi air fighter attack. Nah, ada juga Sukhoi SU-35," tutur Jemi kepada VIVA.co.id, Jumat, 7 April 2017.

Jemi menambahkan, pesawat tempur lain seperti jenis T50, Super Tucano, Hawk 209 terdapat di Lanud Iswahyudi dan Adisutjipto (Yogyakarta). Ada juga C-130 Hercules, CN 295, EMB-314 di Lanud Adisutjipto. Beragam alutsista TNI terutama Sukhoi ini akan ditampilkan dalam perayaan HUT TNI AU ke-71, di Lanud Halim Perdanakusuma, Minggu besok.

Connie Rahakundini Bakrie menekankan, pembelian deretan alutsista jet tempur Indonesia masih cenderung ikut generasi modernisasi. Upaya ini tak diikuti dalam perawatan unit alutsista.

Padahal, aspek perawatan menjadi yang terpenting dalam ketahanan alutsista. Pemerintah diminta harus memperhatikan persoalan ini.

"Bagaimana maintenance yang kurang karena terbaikan. Kalau alutsista canggih tanpa perawatan ya percuma. Ini sistem yang harus diperbaiki ke depannya. Bukan ikut generasi 4, terus kalau sekarang lagi 4,5, ya jadi beli lagi," kata Connie.

Connie menambahkan, kesiapan anggaran besar untuk alutsista udara seharusnya menjadi perhatian. Jika hanya terbatas dan jumlahnya pun kurang dari anggaran perawatan, sulit menjaga kualitas alutsista bisa bertahan. Apalagi, selama ini, dalam perbaikan terutama jet tempur seperti Sukhoi, Indonesia masih tergantung dari negara pengimpor, Rusia.

"Ya, memang ada paket dalam pembelian alutsista bersama mekaniknya. Tapi, transfer teknologi secepatnya harus dilakukan karena perlu penyerapan teknologi ini untuk ke depannya," tuturnya.

Selanjutnya...Pembaharuan Sistem

Meski punya sejumlah unit alutsista yang bisa menjadi andalan, perlu ada perbaikan sistem yang harus dimulai pemerintah RI. Salah satunya disarankan Kementerian Pertahanan memiliki roadmap dalam pemenuhan kebutuhan alutsista.

Dalam peta alutsista, Kementerian Pertahanan harus punya kendali dalam perencanaan. Keinginan TNI AU dalam kebutuhan harus disesuaikan pemerintah dengan menyediakan anggaran.

"Karena kalau berdasarkan Renstra, ini kan di-lock Minimum Essential Force (MEF). Kementerian Pertahanan tak punya kendali dalam mengatur roadmap. Ini yang harus diubah," kata Connie.

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDIP Andreas Hugo Parreira mengatakan, pekerjaan rumah TNI AU sekarang mengubah citra kecelakaan jatuhnya pesawat. Pemahaman luas negara Indonesia harus diimbangi dengan dukungan sistem pertahanan udara yang memadai.

Perencanaan secara mandiri harus dimulai dengan diawali evaluasi alutsista TNI AU. Kecelakaan yang sering kali terjadi mencakup pesawat tempur harus menjadi catatan agar tak terulang.

"Ini yang harus dievaluasi. Dari perencanaan sampai pengadaan agar tak terjadi lagi kecelakaan," ujar Andreas, Jumat 7 April 2017.

Kemudian, perlu adanya peningkatan sumber daya manusia TNI AU dalam transfer teknologi. Upaya ini perlu dilakukan agar Indonesia bisa belajar lebih cepat dalam mengejar teknologi. Ia juga sependapat perlunya Kementerian Pertanian sebagai pengatur roadmap dalam alutsista ke depan.

"Ini bagus juga untuk maintenance. Jadi peningkatan SDM harus dijadikan acuan," tuturnya.

Selanjutnya, terkait anggaran alokasi alutsista. Jika memang cita-cita dalam poros maritim dunia maka harus menjadi perhatian. Anggaran alutsista memang harus besar karena menyesuaikan kondisi negara Indonesia sebagai wilayah kepulauan.

"Kalau dalam setiap Renstra itu misalnya Rp130 triliun, masih ada catatan. Baiknya bagaimana, ya harus dibahas kembali untuk perbaikan ke depan," tuturnya.

Memasang bom di sayap pesawat tempur F-16 Fighting Falcon

Foto: Perwira TNI AU dalam Perawatan alutsista

Selanjutnya...Safari ke Lanud dan Tol Udara

Kejadian kecelakaan berulang kali menjadi catatan TNI AU. Menyadari pentingnya hal ini, TNI AU melakukan safari ke sejumlah pangkalan militer terkait sosialisasi keselamatan kerja perwira pilot TNI AU.

Belum lama ini, selama tiga hari, petinggi TNI AU berkunjung ke Lanud Iswahyudi, Lanud Sultan Hasanudin, dan Lanud Adisutjipto. Dalam kunjungan ini, dilakukan sosialisasi dan dorongan moral kepada perwira menengah yang bertugas sebagai pilot.

"Bagaimana kita selama tiga hari sosialisasikan tentang keselamatan kerja, kemudian aspek personelnya, aspek psikis. Jadi, kita membawa tujuan agar keselamatan kerja dalam penerbangan," tutur Jemi Trisonjaya.

Menurut Jemi, seorang perwira harus berani mengungkapkan alasan jika ada yang menghambat sebelum melakukan penerbangan pesawat tempur. Sosialisasi ini menyesuaikan imbauan dari kepala staf TNI AU.

"Bagaimana perwira menyampaikan pendapat ke seniornya dengan mekanisme sesuai dengan aturan yang ada. Baik junior ke senior atau dari junior kepada atasannya dalam arti kondisi tidak nyaman, untuk terbang," paparnya.

Selain itu, Jemi menjelaskan hal penting lainnya dengan komunikasi terkait perawatan mesin alutsista. Upaya ini berlaku untuk alutsista ringan maupun berat. Masalah ini menjadi catatan TNI AU. Apalagi rangkaian jatuhnya pesawat selama 2016.

Jemi juga menekankan TNI AU menyadari pentingnya perbaikan sarana seperti perluasan landasan pacu. Upaya ini juga melengkapi rencana memperbanyak pangkalan udara di daerah perbatasan. Rencana pangkalan udara di daerah perbatasan ini untuk mendukung tol udara sebagai cita-cita mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.  

Sejumlah daerah perbatasan sudah direncanakan untuk pembangunan termasuk perluasan renovasi pangkalan udara seperti Moratai (Maluku Utara), Kupang (NTT), dan Papua.

"Kami sadar dengan wilayah yang luas, penguatan di daerah perbatasan jadi salah satu opsinya. Kami berusaha keras untuk mendukung kebijakan pemerintah," tuturnya. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya