Menyoal Pengusiran Paksa Penumpang Pesawat

Protes aksi kekerasan di United Airlines.
Sumber :
  • REUTERS/Kamil Krzaczynski

VIVA.co.id – Sering kita mendengar istilah “pembeli adalah raja”. Makna filosofis ini mengisyaratkan kedudukan seorang pembeli harus dihormati dan dilayani.

Beberapa Mobil Rusak Parah Akibat Tertimpa Ban, Kok Bisa?

Namun, makna ini tidak berlaku di industri penerbangan Amerika Serikat. Pada Minggu, 9 April 2017, United Airlines, sebuah maskapai penerbangan ternama asal AS, membuat kehebohan.

Adalah David Dao (69), seorang dokter asal Vietnam yang telah menjadi warga negara AS, dipaksa keluar pesawat lantaran menolak memberikan kursinya pada kru pesawat. Ia diseret hingga mengalami pendarahan di bagian mulut.

Hyeri Dapat Perlakuan Tak Pantas, Beli Tiket First Class Dipaksa Duduk di Ekonomi

Ia menolak karena ingin memeriksa pasien yang sudah menunggunya di Louisville pada pagi hari. Tak pelak, hashtag #BoycottUnited sontak menjadi topik utama di media sosial Twitter.

Pesan boikot ini berasal dari akun media sosial China, Weibo (Twitter-nya China) dan WeChat, yang memiliki lebih dari 800 juta pengguna di seluruh dunia.

Ekonomi Pulih, United Airlines Panggil Lagi Ratusan Pilot Bulan Depan

Para netizen negeri Tirai Bambu ini mengatakan, perlakuan United Airlines terhadap penumpang sangat rasis. Ada juga netizen yang bilang bahwa Polisi Chicago dan kru maskapai bersikap brutal.

Topik utama di halaman muka Weibo terkait insiden ini telah menarik lebih dari 77 juta tampilan dan 5,2 juta thread dalam diskusi pada Selasa sore, 11 April 2017.

Banyak pengguna Weibo mengatakan, tindakan itu menghina dan tidak sopan. Mereka juga menuding United Airlines sengaja menargetkan warga Asia, karena Asia selalu distereotipkan sebagai orang yang pemalu dan tidak mungkin membela hak-hak mereka.

"Di mana kebebasan dan kesetaraan yang Amerika janjikan? Mana janji Amerika akan menerima orang dari berbagai warna? Apakah ini hanya politik kebohongan dari politisi Amerika?" kata anggota Asosiasi Kebudayaan Internet Kota Binzhou, Gao Dinyuan, seperti dikutip situs Channel News Asia.

Protes warga Vietnam kepada United Airlines.

Warga Vietnam di AS protes keras kepada United Airlines.

Ia juga mengingatkan bahwa ada sejarah panjang diskriminasi terhadap orang Asia. Gao pun berharap seluruh warga China menyadari akan kenyataan ini. "Jangan memberi makan orang-orang yang melihat kita ke bawah!" ungkapnya.

Selanjutnya, Kejadian Berulang

Kejadian Berulang

Chief Executive Officer (CEO) United Airlines, Oscar Munoz, akhirnya meminta maaf atas insiden pengusiran seorang penumpang. "Ini sangat menjengkelkan untuk kita semua, saya minta maaf. Saya juga ingin berbicara langsung dengan korban untuk menanyakan kronologinya lebih rinci," kata Munoz, dalam akun Twitter @United.

Meski begitu, ia keukeuh menolak untuk mundur. Munoz berdalih bahwa ia dipekerjakan oleh perusahaan untuk membuat United Airlines menjadi lebih baik. "Dan, kami telah melakukan itu. Inilah yang akan kami terus lanjutkan," katanya.

Belum juga selesai tindakan pengusiran penumpang itu, perusahaan penerbangan berkode emiten UAL.N tersebut lagi-lagi melakukan hal serupa. Kali ini yang menjadi korban adalah sepasang calon pengantin. 

Michael Hohl dan Amber Maxwell, pada Sabtu, 15 April lalu, hendak terbang dengan menggunakan maskapai tersebut, seperti dikutip situs Reuters. Saat memasuki kabin pesawat, mereka terkejut karena menemukan kursi mereka telah diisi dengan penumpang lain yang tertidur dengan posisi terlentang.

Melihat kejadian ini, Hohl meminta awak pesawat untuk memindahkan tempat duduk mereka beberapa baris di depan kursi asli mereka. Namun, pihak maskapai menolak dan mengatakan bahwa tempat tersebut adalah kursi "ekonomi plus" dan meminta mereka untuk kembali ke tempat duduk mereka semula.

Akan tetapi, pernyataan berbeda diungkapkan pihak maskapai yang menyebutkan bahwa pasangan itu berulang kali mencoba untuk duduk di kursi yang lebih mahal dan tidak mau membayar lebih.

Selain itu, mereka disebut tidak mau mengikuti instruksi awak pesawat. Atas insiden tersebut, pihak maskapai dengan dibantu petugas keamanan bandara memaksa pasangan calon pengantin ini untuk turun dari pesawat.

Transaksi pembelian tiket Air Canada di Toronto.

Seorang penumpang melakukan pengecekan tiket.

Mereka akhirnya melakukan pemesanan ulang untuk terbang keesokan harinya. Tak hanya AS, tetangganya, Kanada, setali tiga uang. Brett dan Shanna Doyle, dibuat senewen gara-gara anaknya, Cole Doyle (10), tidak mendapatkan kursi di maskapai penerbangan Air Canada.

Padahal, mereka sudah memesan tiket dan membayar penuh sebulan sebelum keberangkatan. Mulanya mereka mencoba untuk melakukan proses check-in pada 15 Maret lalu, sebelum keberangkatan secara online untuk anaknya.

Selanjutnya, Kompensasi Mubazir

Kompensasi Mubazir

Namun, informasi yang didapat dari pihak bandara bahwa sudah tidak ada lagi kursi yang tersedia untuk Cole. Terlebih, keluarga Doyle tengah bersiap-siap untuk berlibur ke Kosta Rika melalui Montreal dari Charlottetown, Prince Edward Island.

"Agen perjalanan mengatakan kepada kami bahwa pesawat hanya memiliki 28 kursi, tapi anehnya 34 tiket telah terjual. Saya berkata ke agen bahwa itu sangat tidak mungkin ada enam orang tidak akan muncul pada hari keberangkatan," kata Brett, seperti dikutip situs Huffingtonpost, Selasa, 18 April 2017.

Meski kecewa, keluarga Doyle lalu berinisiatif pergi ke Moncton, New Brunswick, untuk mengejar penerbangan yang berbeda ke Montreal sebagai gantinya. Akan tetapi, setibanya di sana mereka mendapati kekecewaan karena penerbangan dibatalkan.

Brett mengaku telah dihubungi Air Canada pada bulan yang sama, namun hanya menerima permintaan maaf dan menawarkan voucher perjalanan sebesar C$2.500 (Rp25 juta).

Juru Bicara Air Canada, Isabelle Arthur, membenarkan bahwa pihaknya telah menghubungi keluarga Doyle dan meminta maaf.

"Kami sedang menindaklanjuti untuk memahami apa yang salah dan telah meminta maaf kepada Tuan Doyle dan keluarga, serta menawarkan kompensasi yang sangat murah hati kepada mereka atas ketidaknyamanan ini," paparnya.

Brett mengaku ditawari voucher sebesar C$1.600 (Rp16 juta) dengan masa berlaku satu tahun. Ia lalu bernegosiasi dengan Air Canada untuk meningkatkan nilai voucher menjadi C$2.500 ditambah biaya lainnya.

Itu pun, kata Brett, masih tidak menutupi biaya tiket untuk keluarganya yang berjumlah empat orang. 

"Mohon maaf. Tanpa bermaksud serakah, tapi apa yang saya benar-benar ingin katakan di sini adalah akibat kebijakan semena-mena ini, maka kami harus menempuh perjalanan selama berbulan-bulan. Nilai voucher ini tidak akan sanggup menutupinya," ujar Brett.

Selanjutnya, Bagaimana di Indonesia?

Tidak Berlaku di Indonesia

Dari beberapa peristiwa yang terjadi di AS dan Kanada itu, mungkinkah bisa terjadi di Indonesia? Kepala Pusat Komunikasi Kementerian Perhubungan, JA Barata mengatakan bila aturan tersebut tidak berlaku di Indonesia.

Sebab, penjualan tiket sesuai dengan jumlah kursi atau penumpang. “Di Indonesia tidak ada seperti itu. Kalau penerbangan telat atau delay, ada,” kata Barata kepada VIVA.co.id, Selasa, 18 April 2017.

Ia mengungkapkan, hal tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan No 89/2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia.

Barata mengatakan, peraturan ini hanya berlaku untuk keterlambatan yang disebabkan oleh faktor manajemen maskapai seperti keterlambatan kru pesawat (pilot, kopilot, dan awak kabin), keterlambatan jasa boga (katering), keterlambatan penanganan di darat, menunggu penumpang, atau ketidaksiapan pesawat.

Sementara itu, keterlambatan yang disebabkan oleh faktor teknis operasional, baik di bandara asal maupun tujuan (penutupan bandara, terjadi antrean lepas landas atau kepadatan lalu lintas penerbangan, dan sebagainya), faktor cuaca (hujan lebat, badai, asap, dan sebagainya), serta faktor-faktor lain di luar faktor manajemen maskapai, tidak menjadi bagian dari tanggung jawab maskapai.

Berikut kompensasi atau ganti rugi dimaksud sesuai dengan kategori keterlambatan. Kategori 1, keterlambatan 30-60 menit, kompensasi berupa minuman ringan. Kategori 2, keterlambatan 61-120 menit, kompensasi berupa makanan dan minuman ringan.

Selanjutnya, kategori 3, keterlambatan 121-180 menit, kompensasi berupa minuman dan makanan berat. Kategori 4, keterlambatan 181-240 menit, kompensasi berupa makanan dan minuman ringan serta makanan berat.

Kategori 5, keterlambatan lebih dari 240 menit, kompensasi berupa ganti rugi sebesar Rp300 ribu. Kategori 6, yaitu pembatalan penerbangan maka maskapai wajib mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund).

Keterlambatan pada kategori 2-5, penumpang dapat dialihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund), dan khusus pada kompensasi keterlambatan kategori 5 di mana calon penumpang mendapat ganti rugi sebesar Rp300 ribu.

Pemberian ganti rugi dapat berupa uang tunai atau voucher yang dapat diuangkan atau melalui transfer rekening, selambat-lambatnya 3 x 24 jam sejak keterlambatan dan pembatalan penerbangan terjadi.

Seorang penumpang Delta Airlines di ruang tunggu keberangkatan.

Penumpang di ruang tunggu maskapai Delta Airlines.

Sementara itu, menanggapi insiden United Airlines, maskapai penerbangan lainnya, Delta Airlines mengumumkan peningkatan uang kompensasi hingga US$10 ribu (Rp133 juta) bagi penumpang yang secara sukarela menyerahkan kursinya untuk kru maskapai pada penerbangan yang kelebihan pesanan (overbooked).

Mengutip situs Straitstimes, dalam memo internal perusahaan disebutkan bahwa untuk kasus umum, karyawan bidang pelayanan jasa penumpang (customer service) diizinkan menawarkan kompensasi hingga US$2.000 (Rp26,6 juta), dari sebelumnya yang hanya US$800 (Rp10,64 juta).

Sementara itu, untuk kasus tertentu dan dengan izin manajemen Delta, uang ganti rugi yang diberikan maskapai kepada penumpang bisa mencapai US$9.950 (Rp132,34 juta), dari batas sebelumnya sebesar US$1.350 (Rp17,8 juta).

Di negeri Paman Sam, pemesanan tiket melebihi kapasitas, ternyata merupakan praktik standar maskapai penerbangan. Jadi, overbooking sudah menjadi hal yang biasa terjadi.

Menurut Departemen Transportasi AS, maskapai penerbangan diperbolehkan untuk menurunkan penumpang bila krunya ingin naik pesawat bila kapasitas kursi sudah penuh. Dengan catatan, ada kompensasi yang diberikan pihak maskapai.

Adapun Kanada, aturannya seperti tidak jauh dari AS, di mana overbooking penerbangan dijadikan “alat” bagi kebijakan resmi mereka.

Penumpang maskapai menempatkan nilai tinggi pada tiket dikembalikan (dalam kasus jika mereka tidak ikut penerbangan, tidak muncul atau memutuskan untuk mengubah rencana perjalanan).

Dalam kasus ini, overbooking adalah sarana yang memungkinkan pihak maskapai menawarkan kompensasi tanpa kehilangan banyak uang.

Namun, Menteri Transportasi Kanada, Marc Garneau berencana memperkenalkan undang-undang baru pada musim semi tahun ini yang isinya terkait pembentukan persyaratan minimum kompensasi penerbangan oversold, kehilangan bagasi, serta ketidaknyamanan dalam berlibur dan sebagainya. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya