Meredam Ujaran Kebencian di Media Sosial

Ilustrasi Hate speech atau ujaran kebencian.
Sumber :

VIVA.co.id – Eropa selalu identik dengan nilai kebebasan, terutama dalam mengungkapkan pendapat. Kondisi ini karena sejarah panjang negara-negara di Benua Biru untuk mewujudkan hak, penghormatan, dan kebebasan.

Elon Musk Kirim 'Surat Cinta' untuk Pengguna Baru X

Namun, nilai kebebasan itu kini perlahan terkikis. Buktinya, Komisi Uni Eropa melayangkan ancaman kepada perusahaan teknologi berbasis aplikasi media sosial. Apa penyebabnya?

Saat ini marak sekali mengungkapkan ujaran kebencian di media sosial. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat tetapi Eropa. Facebook dan Twitter, adalah dua jejaring sosial yang paling sering dijadikan sarana tersebut.

Taliban Plans to Block Facebook Access in Afghanistan

Maka, muncul istilah "trolling" atau secara sengaja mendorong kebencian di media sosial. Tak pelak, situasi tersebut membuat gerah petinggi Uni Eropa. Mereka berpandangan jika fenomena ini, cepat atau lambat, akan berpengaruh pada sektor keamanan.

Selain itu, Facebook dan Twitter, dianggap abai alias cuek karena tidak mengambil "tindakan tegas". Eropa juga menilai bahwa hal yang aneh jika pengguna melaporkan hal tersebut, namun hampir tidak ada tindakan dari perusahaan.

Taliban Akan Blokir Akses Facebook di Afghanistan

Alhasil, kedua perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat itu diancam untuk lebih keras dan tegas terhadap ujaran kebencian. Mengutip situs The Telegraph, peringatan ini sudah dilakukan sejak Desember 2016.

Komisi Uni Eropa memperingatkan bahwa tidak saja Facebook dan Twitter, namun termasuk Google, YouTube, dan Microsoft, harus secara sukarela menandatangani seperangkat aturan anti ujaran kebencian awal tahun lalu. Tetapi, mereka masih tidak melakukan usaha yang cukup untuk menghapus penyalahgunaan ilegal pada platform mereka.

Komisioner Kehakiman Uni Eropa, Vera Jourova mengatakan, perusahaan harus bertindak cepat untuk menghentikan Uni Eropa dari memperkenalkan undang-undang yang mengamanatkan tindakan pada ujaran kebencian.

Dengan mendaftar ke code of conduct tersebut, lanjut Vera, perusahaan seperti Facebook, Twitter dan lainnya setuju untuk menindak postingan ujaran kebencian yang dikirim dalam waktu 24 jam dari yang dipublikasikan di Eropa.

"Kami sangat khawatir setelah adanya krisis pengungsi dan serangan teror yang diperkirakan memicu gelombang kebencian ilegal secara online," ungkapnya.

Perusahaan-perusahaan tersebut setuju untuk menghapus atau menonaktifkan akses ke postingan ujaran kebencian dalam kerangka waktu yang tepat. Kemudian, secara aktif mempromosikan kontra narasi dan bekerja dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil.

Selanjutnya, Ancaman Hukuman

Ancaman Hukuman

Akan tetapi, laporan telah menemukan bahwa enam bulan setelah code of conduct ditandatangani dan adanya 600 peringatan yang diduga sebagai ujaran kebencian, perusahaan teknologi tidak melakukan hal yang cukup.

Dalam praktik di lapangan, perusahaan-perusahaan tersebut membutuhkan waktu lebih lama dan belum mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Mereka hanya me-review 40 persen dari kasus yang tercatat dalam waktu kurang dari 24 jam.

Jumlah tersebut kemudian meningkat menjadi lebih dari 80 persen setelah 48 jam, yang menurut Uni Eropa merupakan target realistis. Kondisi ini menunjukkan bahwa target realistis dapat dicapai, namun membutuhkan upaya yang lebih kuat dari perusahaan teknologi.

YouTube memiliki waktu respons tercepat, menurut laporan tersebut, sedangkan Twitter paling lambat.

Tak puas, Vera lantas melayangkan ancaman agar perusahaan teknologi itu bertindak lebih cepat membasmi ujaran kebencian yang beredar di internet. Jika tak dituruti dalam waktu singkat, Uni Eropa akan mengganjar mereka dengan hukuman.

"Jika Facebook, YouTube, Twitter, Google, dan Microsoft ingin meyakinkan saya serta menteri lain bahwa cara di luar parlemen bisa berjalan, mereka harus bertindak cepat dan berusaha keras di bulan-bulan ke depan," Vera menegaskan, seperti dikutip Reuters.

Sebenarnya, perusahaan-perusahaan ini telah menerapkan sejumlah cara untuk menangkal ujaran kebencian yang kian merebak secara global misalnya dengan menciptakan fitur "report".

Dengan fitur itu, pengguna cukup melaporkan konten negatif untuk menghentikan persebarannya. Kekhawatiran Vera atas kinerja perusahaan-perusahaan ini tercermin dari konten rasis yang terblokir tidak merata.

Dari 28 negara anggota Uni Eropa, tingkat blokir konten rasis di Jerman dan Prancis mencapai 50 persen, sedangkan di Austria dan Italia hanya 11 dan 4 persen.

Sementara itu, di Austria, pengadilan setempat sudah memerintahkan Facebook menghapus postingan penebar kebencian dan kekerasan. Adalah Partai Hijau Austria yang pertama kali memunculkan kasus ini setelah pimpinan partai tersebut, Eva Glawischnig (48), menjadi korban dan dikeluarkan (unfriend) dari Facebook.

Glawischnig disebut sebagai "pengkhianat buruk" dan "sarang korup" oleh seseorang yang menggunakan nama akun palsu di platform media sosial.

Selanjutnya, Keluarga Korban Teror Menggugat

Keluarga Korban Teror Menggugat

Reaksi pun muncul dari anggota parlemen dari Partai Hijau. "Facebook harus menghadapi tuduhan bahwa ini adalah platform kebencian terbesar di dunia dan mereka tidak melakukan apa-apa terhadap hal ini," kata anggota parlemen dari Partai Hijau, Dieter Brosz, mengutip Reuters.

Ia berharap untuk membawa kasus ini ke pengadilan tertinggi negara tersebut, karena menginginkan Facebook untuk membayar ganti rugi tambahan dan mengidentifikasi orang-orang yang membuat akun palsu.

Keputusan ini datang saat anggota Parlemen Eropa meminta perusahaan teknologi seperti Google, Twitter, dan Facebook, untuk menghapus postingan yang mendorong kekerasan secepat mungkin.

Pada April lalu, Parlemen Jerman menyetujui sebuah rencana untuk mengeluarkan denda hingga US$55 juta (Rp734 miliar) untuk seluruh platform jejaring sosial jika terbukti mem-posting ajaran kebencian, namun tidak segera dihapus.

Bahkan, tidak hanya Uni Eropa yang protes keras. Keluarga tiga korban penembakan pada Desember 2015 di San Bernardino, California, Amerika Serikat, melayangkan gugatan terhadap Facebook, Google, dan Twitter.

Alasannya, tiga perusahaan telekomunikasi dan jaringan sosial itu dinilai punya andil "menyediakan" sarana bagi kelompok Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS melakukan kontak dan propaganda, sehingga berbagai serangan bisa dilakukan.

Penyebaran propaganda secara gratis dan bebas melalui media sosial yang berakibat realisasi serangan teror, menurut mereka, harus menjadi tanggung jawab ketiga raksasa perusahaan media itu termasuk adanya serangan di San Bernardino.

"Bertahun-tahun diketahui bahwa teroris ISIS bisa menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan propaganda ekstremisme dan mencari dana serta merekrut orang," kata pihak keluarga korban serangan di San Bernardino sebagaimana dikutip dari Reuters.

Tiga korban tersebut yakni Sierra Claborn, Tin Nguyen, dan Nicholas Thalasinos mengajukan gugatan dalam 32 halaman yang didaftarkan ke Pengadilan Distrik Los Angeles pada Rabu, dua hari lalu.

"Dengan menggunakan Twitter, Facebook, dan Google termasuk YouTube, perkembangan ISIS di seluruh dunia pada beberapa tahun terakhir pesat dan menjadi organisasi menakutkan bagi dunia," dituliskan dalam gugatan itu.

Pekan lalu, pendiri Facebook Mark Zuckerberg mem-posting sebuah pernyataan di lamannya yang mengumumkan rencana perusahaan untuk mempekerjakan 3.000 personel tambahan.

Penambahan “pasukan” ini untuk membantu mengurangi konten penuh kebencian dan kekerasan di platformnya, serta melengkapi 4.500 orang yang telah bekerja di perusahaannya.

“Peninjau ini akan membantu kami memperbaiki hal-hal yang tidak diperbolehkan di Facebook seperti ucapan kebencian dan eksploitasi anak. Kami akan terus bekerja dengan kelompok masyarakat lokal dan penegak hukum yang berada dalam posisi terbaik untuk membantu seseorang jika mereka membutuhkannya," bunyi keterangan resmi Zuckerberg. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya