Lekaslah 'Sembuh' Setya Novanto

Ketua DPR, Setya Novanto
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Makna Zaezar

VIVA.co.id – Judul di atas adalah harapan – dan bisa juga doa – dari masyarakat yang dilayangkan dalam sejumlah komentar ke VIVA.co.id sejak memberitakan sakitnya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu dalam beberapa hari terakhir. Keinginan serupa tentu juga muncul dari tim penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi, yang sangat berharap segera memeriksa Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi proyek e-KTP.

Setya Novanto Acungkan 2 Jari Saat Nyoblos di Lapas Sukamiskin

Entah kebetulan atau tidak, Novanto mendadak “diserang” begitu banyak penyakit. Bukan dia yang bilang sendiri, namun dari kolega-koleganya yang menjadi bawahan Novanto di Partai Golkar.

Kabar serangan penyakit bertubi-tubi itu dilontarkan beberapa saat sebelum KPK dijadwalkan memeriksa Novanto sebagai tersangka. Penyakit-penyakit yang, kabarnya, mendera Novanto itu tergolong “kelas berat” dan mengerikan bagi orang seusianya.

Polisi Didesak Segera Usut Pernyataan Agus Rahardjo Soal Jokowi Stop Kasus e-KTP

Berawal dari gula darah yang tinggi, lalu vertigo, hingga menjalar pada masalah jantung dan ginjal. Ini yang membuat Novanto, kabarnya pula, sudah berhari-hari terbaring lemah di rumah sakit.

Alasan kesehatan itu pula yang membuat KPK dua kali gagal memanggil Novanto untuk diperiksa sebagai tersangka. Publik pun kini bertanya-tanya, bagaimana langkah KPK selanjutnya, apakah pada pemanggilan ketiga nanti bisa berhasil memaksa Novanto untuk diperiksa?

Respon Jokowi Usai Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo Dilaporkan ke Bareskrim Polri

Reputasi KPK, untuk masalah Novanto ini, sekali lagi dipertaruhkan. Mampukah KPK  bisa tegas memeriksa dan mengambil langkah hukum atas seorang tersangka, yang kebetulan adalah pejabat tinggi negara dan juga pemimpin partai politik yang punya pengaruh besar di republik ini?

Masyarakat pun sangat berharap adanya kemajuan besar dari KPK untuk mengusut tuntas kasus korupsi kelas kakap ini. Bukan saja soal triliunan rupiah uang negara yang disikat secara bancakan oleh sekelompok koruptor, namun kasus ini pula sudah membuat banyak warga kesusahan.

Hak sebagian rakyat untuk mendapat e-KTP sampai sekarang belum juga dipenuhi oleh Negara, gara-gara kekurangan blangko dan ini merupakan imbas dari kasus korupsi itu. Makanya, publik sangat menaruh perhatian atas kasus korupsi ini. Dari sekian pejabat dan pengusaha yang sudah dijerat hukum, pemeriksaan atas Novanto ini lah yang diyakini bisa membawa kemajuan besar bagi KPK untuk mengusut tuntas kasus tersebut.

Sempat dipanggil sebagai saksi oleh KPK, pada medio Juli lalu status Novanto naik menjadi tersangka dalam kasus korupsi megaproyek e-KTP. Ketua Umum Golkar ini dianggap ikut terlibat dalam kasus korupsi  yang merugikan negara Rp2,3 triliun dari total nilai proyek Rp5,9 triliun tersebut.

Setelah penetapan tersangka, KPK langsung bergerak cepat untuk mendalami keterlibatan dari sosok yang akrab disapa Setnov ini dalam proyek e-KTP. KPK memanggil Setnov untuk menjalani pemeriksaan pertama sebagai tersangka dalam kasus tersebut pada Senin 11 September 2017 lalu.

Namun saat itu Novanto mangkir dari panggilan KPK karena alasan mengalami kendala kesehatan dan dilarikan ke RS MRCCc Siloam, Semanggi, Jakarta. Tak hanya itu, Setnov juga mengajukan surat aspirasi ke DPR agar mengirimkan permohonan penundaan pemeriksaan ke KPK.

KPK seakan tak menggubris. Panggilan kedua dilayangkan dan meminta Novanto menjalani pemeriksaan pada Senin 18 September 2017 lalu. Namun lagi-lagi, Setnov tak memenuhi panggilan KPK dengan alasan yang sama, masih sakit dan kondisinya tak memungkinkan.

Menurut informasi dari orang-orang terdekatnya, Setnov ternyata mengidap begitu banyak penyakit mulai dari awalnya vertigo yang diketahui setelah ia terjatuh saat bermain ping pong,  lalu merembet ke masalah jantung, ginjal hingga gula darah. Ia kini dirawat di RS Premier Jatinegara.

“Ternyata terjadi penyempitan dan fungsi jantungnya tersumbat 80 persen," kata Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini DPP Golkar, Nurul Arifin, Senin 18 September 2017.

Bahkan menurut Nurul Arifin, pada jantung Setya Novanto kini sudah terpasang dua ring dan terus menjalani observasi di ICCU RS Premier Jatinegara. “Memang kelihatannya ada fungsi ginjal yang terganggu juga,” kata Nurul saat itu.

Seakan tak ingin terkecoh, tim penyidik dan dokter KPK langsung menyambangi RS Premier Jatinegara untuk memastikan kondisi terakhir dari Setya Novanto. KPK juga menemui langsung tim dokter yang menangani Setya Novanto.  

Menurut Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, saat itu pihaknya akan segera mempelajari hasil pemeriksaan kesehatan yang bersangkutan.  Bahkan KPK berencana meminta dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk memeriksa kesehatan Novanto sebagai pendapat medis kedua atau second opinion.

Sakit Jadi Tradisi

Menggunakan ‘jurus’ sakit untuk menghindari panggilan dari KPK tentunya bukan hal yang baru lagi. Sebelum Novanto, banyak para politikus yang tersandung masalah korupsi juga menggunakan cara ‘sakti’ ini untuk menghindar atau mengulur-ulur pemeriksaan.

Bahkan pengacara kondang Otto Cornelis Kaligis juga sempat menggunakannya. Pengacara beken ini sempat beralasan mengidap berbagai macam penyakit saat ia menjadi tersangka suap terhadap hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara Medan.

Saat itu tepatnya pada 2015 lalu, OC Kaligis mengaku mengidap banyak penyakit mulai dari jantung, diabetes, tekanan darah tinggi hingga penyempitan syaraf. Sama dengan Setya Novanto, saat itu OC Kaligis juga mengajukan gugatan praperadilan yang akhirnya ditolak hakim.

Namun saat itu kasusnya tetap berjalan sebelum akhirnya ia dijatuhi vonis 5,5 tahun penjara. Sempat mengajukan banding, MA justru memperberat hukuman OC Kaligis menjadi 10 tahun.

Tak hanya itu, ‘jurus sakit’ ini juga pernah digunakan Miryam S Haryani yang sebelum Setya Novanto lebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap memberikan keterangan palsu terkait skandal megaproyek e-KTP tersebut.

Politikus dari Partai Hanura ini sempat mangkir dua kali dari panggilan KPK. Saat itu, tim pengacara Miryam mengklaim kliennya sakit dan membutuhkan waktu untuk beristirahat. Guna meyakinkan KPK, disertakan pula surat keterangan dari rumah sakit.

Namun tak berapa lama, Miryam justru berstatus buron dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sebelum akhirnya ditangkap di sebuah hotel di Kemang, Jakarta Selatan.

Ada juga nama Budi Supriyanto. Mantan anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Golkar ini ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap dalam proyek infrastruktur Kementerian Pekerjaan dan Perumahan Rakyat tahun anggaran 2016.

Budi sempat menggunakan alasan sakit saat tak memenuhi panggilan penyidik KPK. Namun saat itu tidak jelas mengenai diagnosa atas penyakit yang dideritanya. Penyidik KPK langsung menghubungi rumah sakit yang bersangkutan dan ternyata tidak ada analisis dokter soal sakit yang diklaim Budi.

Penyidik KPK sempat mengirim surat panggilan kedua kepada Budi. Namun lagi-lagi Budi tak memenuhi panggilan KPK tersebut. KPK akhirnya menjemput paksa yang bersangkutan di sebuah rumah sakit di Semarang, Jawa Tengah.


KPK Ikut Prosedur

Menanggapi makin maraknya tersangka korupsi yang mangkir dari panggilan KPK dengan alasan sakit, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, mengaku bahwa pihaknya hanya akan mengikuti prosedur yang memang telah ada.

Menurut Saut, pemenuhan prosedur dilakukan karena KPK pada dasarnya tidak melakukan penegakan hukum dengan prasangka tersangka sengaja menggunakan alasan medis untuk menghindari pemeriksaan.

"Membangun peradaban baru hukum untuk Indonesia, pegangan kita ya KUHAP. Jangan membangun hukum dengan berdasarkan dendam, marah, sakit hati, dan lain-lain yang sifatnya perasaan semata," ujar Saut melalui pesan teks kepada VIVA.co.id.

Mantan staf ahli Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini menyampaikan proses penegakan hukum secara keseluruhan pada umumnya juga dilakukan dengan mengacu prosedur, tanpa mempertimbangkan faktor lain seperti kepentingan politik. Dengan cara itu, Saut menyampaikan, fungsi hukum sebagai mekanisme untuk menciptakan keadilan, bisa dijalankan.

"Hukum itu ditegakkan dengan hukum-hukum pembuktian. Bahkan kalau dinilai dilakukan dengan proses yang kurang prudent, ada mekanisme seperti pra-peradilan," kata Saut.

Lagipula, Saut menyampaikan, KPK juga memiliki prosedur internal untuk menghadapi tersangka yang mangkir dengan alasan sakit seperti Novanto. Meski demikian, Saut belum mau membeberkan prosedur itu. Ia hanya menyampaikan bahwa prosedur bisa dipastikan masih sesuai dengan koridor penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.

"Penyidik juga punya sistem dan taktis dalam penegakan hukum, dalam pencarian bukti, juga dalam hal memeriksa pihak-pihak yang disebut tidak sehat," katanya.

Fenomena tersangka mangkir menggunakan alasan sakit ini juga mendapat perhatian Febri Hendri, Koordinator Bidang Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW). Bahkan ia tak membantah jika untuk kasus Setnov ini memang penuh kejanggalan.

“Janggalnya kan kenapa? Karena ini hampir bersamaan dengan pemanggilan KPK. Tapi soal ini wajar atau tidak tentu kita tidak punya pengetahuan mengenai hal  tersebut (masalah medis),” kata Febri saat dihubungi VIVA.co.id.

Febri sendiri menyarankan agar KPK memanfaatkan MoU yang telah dilakukan bersama IDI untuk menangkal jurus sakti para koruptor tersebut. “Saran saya, KPK ajak IDI untuk memastikan kondisi pasien. Namun IDI juga harus dipastikan untuk mendukung KPK. Jangan sampai justru dokter terlibat obstruction of justice atau upaya menghalangi penegakan hukum,” kata Febri.

Dalam kesempatan itu, Febri juga mendukung wacana jika KPK suatu saat nanti bermitra dengan rumah sakit atau bahkan mempunyai rumah sakit sendiri guna mengantisipasi alasan sakit para tersangka korupsi ini.

“Wacana itu memang bagus tapi belum untuk waktu dekat karena KPK saja saat ini tengah mendapat serangan gencar. Tapi pada dasarnya kami sepakat jika suatu saat nanti punya rumah sakit sendiri,” tegasnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya