Daya Beli Turun, Benarkah Ada Perubahan Perilaku Masyarakat

Pusat perbelanjaan.
Sumber :
  • Bimo Fundrika / VIVA.co.id

VIVA.co.id – Belum lama ini, kita dikagetkan dengan rencana PT Matahari Department Store Tbk, yang pada akhir bulan ini akan melakukan penutupan dua gerainya yang berlokasi di Pasaraya Manggarai dan Pasaraya Blok M.

Shopee Luncurkan Program Baru, Garansi Tepat Waktu

Penutupan ini, diakui pihak manajemen, diakibatkan oleh sepinya pengunjung, sehingga kinerja penjualan perseroan tidak sesuai target. Penutupan itu, menjadi cerminan nyata kondisi daya beli masyarakat yang tengah menurun.

Berdasarkan data otoritas statistik, konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua hanya mencapai 4,93 persen, atau lebih rendah dari periode sama tahun lalu yang mencapai 4,97 persen. Untuk menggenjot ekonomi yang dipatok 5,2 persen, maka konsumsi rumah tangga harus tumbuh lima persen sepanjang tahun.

Viral Tanah Kuburan Dijual di E-commerce Bikin Geger Warganet, Bisa Buat Pesugihan?

Aksi pihak manajemen perusahaan berkode saham LPPF itu, dengan rencana menutup dua gerainya tersebut pun, turut mengundang reaksi dan komentar dari berbagai pihak.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara juga menilai, penutupan gerai ritel itu sebagai puncak dari penurunan daya beli masyarakat.

Gandeng Tokopedia, Segini Dana yang Dibawa TikTok ke Indonesia

"Rencana penutupan beberapa gerai ritel di Jakarta, sebenarnya merupakan fenomena puncak gunung es dari lesunya daya beli masyarakat yang dirasakan sejak tahun 2014," ujar Bhima kepada VIVA.co.id , Selasa 19 September 2017.

Menurut Bhima, kondisi itu juga terlihat pada peritel lain yang dinyatakan bangkrut dan disusul oleh perusahaan ritel lainnya. "Meskipun tahapnya masih downsizing, atau perampingan," kata dia.

Bhima melanjutkan, sejumlah peritel yang selama ini bertahan dengan model diskon untuk menarik pembeli memang cukup berat. Apalagi, sepanjang 2017, masyarakat kelas menengah bawah terpukul oleh pencabutan subsidi listrik 900 VA, lalu kenaikan biaya STNK, dan mahalnya harga beberapa kebutuhan pokok.

"Sementara itu, daya beli masyarakat menengah atas sebenarnya masih kuat. Namun, mereka cenderung mengalihkan uang belanja ke simpanan di bank, atau beli emas. Ini motifnya, karena melihat ekspektasi perekonomian dalam enam bulan ke depan kurang positif," ujarnya.

Ia menambahkan, kebijakan pemerintah yang cukup agresif, yakni soal pajak juga menurunkan semangat masyarakat untuk berbelanja. "Karena itu, penting dicatat bahwa salah satu syarat agar masyarakat kembali belanja adalah jangan ada kebijakan aneh-aneh di sisa 2017, yang mendistorsi ekonomi," ujarnya.

Pemerintah pun sepertinya tidak tinggal diam. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pihaknya akan memantau terus turunnya daya beli masyarakat. "Kami akan terus observasi. Kami akan lihat saja, apakah ini ada perubahan konsumsi dan lain-lain,"kata Sri Mulyani, usai rapat koordinasi, Jakarta, belum lama ini.

Maka dari itu, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menegaskan, akan terus memantau kondisi perekonomian, baik itu dari sisi perpajakan maupun adanya indikasi perubahan pola konsumsi masyarakat. Hal ini, akan menjadi pertimbangan pemerintah, dalam menentukan kebijakan ke depan.

“Data perpajakan (Pajak Pertambahan Nilai) kita menunjukkan ekonomi yang cenderung positif, bahkan lebih baik. Namun, kalau masukan data perubahan dari para retailer, atau kegiatan retailer lain, kami lihat,” ujarnya. 

Berikutnya, ritel tak terganggu>>>

Ritel tidak terganggu

Namun, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, saat mengunjungi sentra distribusi PT Matahari Putra Prima Tbk yang berlokasi di Balajara, Banten, mengatakan, perputaran barang maupun penjualan di Matahari tidak mengalami gangguan. Justru, volume perputaran barang dan penjualan tercatat meningkat.

"Mengenai ada Matahari yang tutup dan Matahari yang buka, itu sama sekali tidak secara keseluruhan tutup, tapi memilih tempat yang lebih baik. Yang tutup yang sepi dan yang ramai buka," kata Enggar, Selasa 19 September 2017.

Untuk itu, perusahaan harus cerdas menentukan lokasi untuk melangsungkan bisnis ritel di Indonesia. Secara tahun ke tahun, Enggar mengatakan, pendapatan Matahari masih meningkat.

Jelang penutupan gerai Matahari di Pasaraya Manggarai, Sabtu, 16 September 2017.

"Lihat secara year on year revenue-nya meningkat, dan laporan di bursa enggak main-main, mereka solid. Dan kebetulan, cuma, ngapain mereka kalau toko yang sudah sepi dipertahankan, ngapain?" ujar Enggar.

Hal itu diakui juga oleh Presiden Direktur MPPA Benjamin J. Mailool mengatakan, penutupan kedua gerai Matahari di dua lokasi itu, merupakan hal yang biasa dalam sebuah bisnis, bukan karena pelemahan daya beli. "Jadi, itu salah persepsi, karena penutupan gerai itu hal yang biasa, kita buka, kan juga enggak digembar-gemborin," kata Benjamin.

Namun, Head Corporate Communication MPPA, Fernando Repi mengungkapkan, sebenarnya alasan utama dari penutupan itu, karena adanya peralihan cara belanja masyarakat di kota besar yang beralih belanja online. 

"Pola belanja orang enggak bisa dihindari, makanya kita juga punya online juga, salah satu cara menjangkau customer kita. Jadi, kita juga punya offline dan online," ujar dia. 

Maka dari itu, Fernando memastikan, penutupan gerai milik PT Matahari Department Stores Tbk, hal yang biasa terjadi. 

"Normal, cuma memang kota besar pola orang belanja sudah susah, mereka memang lebih memilih produk bulanan mereka melalui online," kata dia. 

Perubahan perilaku

Sementara itu, Ekonomi Faisal Basri pun membantah. Menurutnya, penurunan tingkat penjualan yang dikeluhkan pengusaha ritel bukan disebabkan pada turunnya daya beli masyarakat.

Menurut dia, saat ini, ada kecenderungan masyarakat lebih senang membelanjakan uangnya untuk membeli barang yang sedang menjadi tren. Misalnya, telepon pintar dengan kualitas kamera yang bagus, atau mengalokasikan uangnya untuk berlibur.

Hal ini turut diyakininya, menjelaskan penurunan tingkat penjualan pakaian yang dicatat Badan Pusat Statistik sebesar 15 persen pasca-Hari Raya Idul Fitri lalu.

"Saat ini, daya beli nasional tidak turun. Penurunan omzet dan laba beberapa outlet modern tidak bisa dijadikan acuan penurunan daya beli nasional. Penyebabnya adalah perubahan perilaku," ujar Faisal melalui keterangan tertulis yang diterima VIVA.co.id, Kamis 21 September 2017.

Ia juga menjelaskan, adanya kecenderungan dari masyarakat untuk menginvestasikan uang yang mereka miliki.

Hal itu diakui CEO BNP Paribas Investment Partner, Vivian Secakusuma. Menurut dia, perusahaan investasinya mencatat adanya peningkatan jumlah investasi, juga semakin luasnya kalangan yang memutuskan untuk menyalurkan uang mereka guna investasi.

"Tren investasi Indonesia saat ini, justru meningkat pesat. Contohnya, investasi reksadana. Saat ini, bukan hanya masyarakat atas saja, tetapi masyarakat menengah, yang muda-muda, justru sudah banyak yang berinvestasi di reksadana. Mereka saat ini, sudah lebih sadar pentingnya investasi," ujar Vivian.

Direktur Perencanaan Makro dan Analisis Statistik Kementerian PPN/Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti pun menilai, kondisi yang saat ini terjadi bukanlah penurunan daya beli, melainkan pergeseran konsumsi masyarakat. Fenomena tersebut, tak serta merta dipukul rata sebagai penurunan daya beli.

"Pergeseran pola konsumsi masyarakat tidak berarti penurunan daya beli. Saya pikir, konsumsi di kuartal dua akan lebih baik dari kuartal pertama," kata Amalia, saat berbincang dengan VIVA.co.id, Jakarta, belum lama ini.

Amalia pun memiliki alasan tersendiri, terkontraksinya sejumlah indikator konsumsi masyarakat pada bulan Juni. Menurutnya, tingkat daya beli masyarakat secara kuartal tidak bisa diukur hanya dari data per bulan yang dirilis oleh sejumlah pemangku kepentingan terkait.

Apalagi, kurang bergeliatnya daya beli pada Juni tak lepas dari produktivitas perusahaan yang menurun, karena bertepatan dengan Ramadan dan Lebaran. Sehingga, pemerintah pun menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar karena merupakan hal yang terjadi setiap tahunnya.

"Daya beli masyarakat tidak boleh dinilai dari satu sektor. Kita harus menilai pengeluaran masyarakat secara keseluruhan," katanya.

Meskipun ada beberapa indikator konsumsi yang melemah, namun pemerintah meyakini konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan ekonomi nasional bisa lebih baik dibandingkan kuartal pertama. Pergeseran konsumsi, diyakini tidak memengaruhi daya beli masyarakat.

"Di sektor properti terlihat ada penurunan animo masyarakat. Tetapi, kalau kita lihat penjualan mobil masih bagus. Saya cenderung menentukan daya beli turun atau tidak, setelah seluruh data kuartal dua," katanya.

Selanjutnya, perkembangan fintech>>>

Perkembangan fintech

Bahkan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Indonesia, Karaniya Dharmasaputra membantah adanya isu penurunan daya beli di Indonesia. Terlebih, fenomena itu hadir, lantaran berkembangnya teknologi finansial, atau fintech.

Bahkan, ia menyebut, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang besar dari tahun ke tahun. Bahkan, untuk kenaikan sektor e-commerce bisa mencapai 20 persen per tahun. 

Mengutip data Badan Pusat Statistik, Karaniya menyampaikan, gross margin value, atau laba kotor dari transaksi situs dagang online, atau e-commerce di Indonesia berada di kisaran US$7 miliar. 

Menurut dia, ini disebabkan oleh masuknya era digitalisasi ekonomi yang menjamur di Indonesia dan membawa keuntungan besar, bila dibandingkan dengan konvensional.

"Ini terkait pertumbuhan yang luar biasa di sektor e-commerce maupun fintech kita. Gross margin value dari transaksi e-commerce naik terus. Kenaikannya per tahun 20 persen. Kalau di sektor fintech, itu sekitar US$18,6 miliar. Jadi, sangat besar juga dan bertumbuh dari tahun ke tahun," ujarnya, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Sebab itu, kata Karaniya, pergeseran atau peralihan ke arah digital bukanlah penyebab utama lesunya perekonomian saat ini. Meski demikian, ia mengatakan bahwa pergeseran memang terjadi di sektor-sektor tertentu. "Pergeseran terjadi, tapi ekonomi Indonesia kan segmennya luas, jadi dampaknya masih relatif kecil," ujarnya.

Berbicara mengenai industri ini, memang tidak semata membicarakan jual beli barang dan jasa via internet. Tetapi, ada industri lain yang terhubung di dalamnya seperti penyediaan jasa layanan antar atau logistik, provider telekomunikasi, produsen perangkat pintar, dan lain-lain. 

Kondisi ini yang membuat industri e-commerce harus dikawal, agar mampu mendorong laju perekonomian nasional. Bisnis seperti ini memang berpotensi menghasilkan keuntungan yang menjanjikan, tetapi sayangnya belum ada regulasi khusus yang mengatur bisnis online di Indonesia. 

Pada akhir 2014 saja, nilai bisnis industri e-commerce Indonesia mencapai US$12 miliar. Karaniya membocorkan mengenai dua pelaku e-commerce ternama yang bisa menghasilkan nilai transaksi hingga Rp40 miliar-Rp100 miliar per hari.

"Saya belum lama ini bicara pada pelaku e-commerce, angka yang dijelaskan ke saya sangat menarik. Value of transaction mereka ada yang Rp40 miliar-Rp100 miliar per hari, itu untuk satu perusahaan,” ujarnya.

Bahkan, dia menjelaskan, ada yang menghasilkan Rp2 triliun-Rp2,5 triliun per bulan. Pada 2020, volume bisnis e-commerce di Indonesia diprediksi mencapai US$130 miliar dengan angka pertumbuhan per tahun sekitar 50 persen. Artinya daya beli masyarakat masih bisa dikatakan tetap ada, hanya saja terjadi peralihan pembelanjaan dari offline menjadi online. 

Sementara itu Data riset dari International Data Corporation (IDC) menunjukkan, transaksi e-commerce di Indonesia  2016 lalu sudah mencapai US$651,7 juta (setara Rp8,7 triliun) dan diperkirakan terus akan naik seiring perkembangan ekonomi nasional dan tren perubahan gaya hidup online. Bahkan dalam kalkulasi IDC, pasar e-commerce di Indonesia pada 2020 akan bisa mencapai US$1,8 miliar atau lebih dari Rp20 triliun.

Ilustrasi belanja online.

Data ini ternyata menjadi dasar bagi para pengelola jasa pengiriman untuk mempertahankan usahanya. Salah satu yang melihat potensi pertumbuhan ini adalah SAP Express. Mereka mengaku percaya jika pertumbuhan bisnis e-commerce akan semakin pesat dalam lima tahun ke depan.

"Kami percaya, walaupun jumlah pelanggan SAP Express dari kalangan perusahaan e-commerce sudah sangat banyak, namun pertumbuhan bisnis e-commerce dalam lima tahun masih akan pesat, di atas 30 persen per tahun. Konsumen Indonesia cenderung lebih suka simplisitas dan kemudahahan dalam berbelanja, sehingga belanja online akan menjadi tren gaya hidup baru yang semakin berkembang," kata Budiyanto Darmastono, Presiden Direktur SAP Express di Jakarta, belum lama ini.

Gairah konsumen di Indonesia terhadap tren belanja online juga tercermin dari maraknya perusahaan-perusahaan e-commerce baik yang berbasis online shop maupun market place dalam berbagai skala usaha, termasuk kemunculan pemain-pemain besar seperti Blibli, Blanja, Lazada, Zalora, Bukalapak, Alfacart, MatahariMall, Alibaba, Tokopedia, hingga JD.ID, yang pada umumnya disambut baik oleh konsumen. 

Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Aulia Marinto mengakui, secara kasar bisnis e-commerce mengalami peningkatan. Para pemain e-commerce mengakui transaksi mereka naik dua hingga tiga kali lipat pada masa lebaran. Kenaikan juga bisa dilihat dari angka pada 2016. Bisnis e-commerce pada tahun lalu naik 30 persen-50 persen.

Era revolusi digital yang juga disebut revolusi industri keempat berhasil menciptakan perusahaan start up berbasis digital. Saat ini, pertumbuhan start up digital di sektor perdagangan barang dan jasa, moda pembayaran, maupun pembiayaan meningkat pesat.

Berbagai peluang untuk meningkatkan daya beli masyarakat memang dilakukan sejatinya tidak hanya oleh pemerintah, namun juga pelaku usaha. Kemajuan teknologi membawa perubahan dalam pola berpikir dan belanja masyarakat, sebab itu jika di satu sektor mengalami penurunan seharusnya sektor lain malah meningkat. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya