Pansus Angket KPK 'Menguap'

Rapat Pansus Angket KPK di DPR beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

VIVA.co.id – Panitia Khusus Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansus KPK) yang digalang sejumlah fraksi di DPR RI, akan berakhir 28 September 2017, mendatang. Semua hasil kinerja Pansus selama ini, baik keterangan saksi, ahli dan sejumlah pihak yang dihadirkan, berikut kontroversinya, harus dilaporkan dalam rapat paripurna DPR.

MK Bantah Inkonsisten Soal UU MD3

Berdasarkan Undang Undang Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) Pasal 206, panitia angket harus melaporkan pelaksanaan tugasnya dalam forum rapat paripurna DPR. Laporan ini dilakukan paling lama 60 hari sejak dibentuknya panitia angket.

Namun, di tengah kewajiban itu, Pansus dihadapkan beban berat yang masih mengganjal kinerja Pansus di akhir-akhir masa kerjanya. Kesimpulan akhir kinerja Pansus Angket KPK terancam menguap begitu saja. Pasalnya, sampai hari ini, KPK belum mau hadir di rapat Pansus. KPK masih bergeming dengan sikapnya bahwa Pansus ilegal sampai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

Rekomendasi Pansus Angket Masuk Akal, KPK Harus Patuhi

Pansus DPR belum menyerah. Sekali lagi, mereka memanggil KPK untuk kedua kalinya. Anggota Pansus, Arteria Dahlan, berharap KPK bisa datang ke DPR untuk mengklarifikasi temuan-temuan Pansus. Mengingat, masa kerja Pansus akan berakhir pada akhir September 2017.

"Kami berharap sampai dengan batas waktu yang sudah diberikan dan diamanatkan kepada kami, 28 September ini, teman-teman KPK dapat memenuhi panggilan Pansus hak angket DPR ini," ujar Arteria.

PKS dan Demokrat Kompak Tolak Rekomendasi Pansus KPK

Arteria mengklaim Pansus adalah lembaga yang terlegitimasi. Maka, siapapun yang diminta kehadirannya oleh Pansus, wajib menghormati panggilan tersebut. Ia prihatin dengan sikap KPK yang masih meragukan keabsahan hukum munculnya Pansus ini. "Harusnya (KPK) memanfaatkan momen-momen itu untuk melakukan klarifikasi," kata politikus PDIP ini.

Ketua Pansus KPK, Agun Gunadjar Sudarsa, meminta KPK hentikan polemik di media terkait keabsahan Pansus, yang dinilainya tak mendidik dan tak mencerahkan itu. Pansus, klaimnya, memerlukan klarifikasi KPK terkait empat aspek penyelidikan pansus, yakni di bidang kelembagaan, kewenangan, tata kelola SDM dan anggaran.

"Untuk sebuah kebenaran, keadilan dan tegaknya hukum, mari bicara di pansus untuk KPK yang lebih kuat. Yang benar, jujur dan berani. Semoga," kata Agun dalam keterangan persnya, Jumat, 22 September 2017.

Sedianya, Pansus akan mempertanyakan sejauh mana persoalan empat aspek tersebut dikelola dengan baik dan benar sesuai UU KPK dan UU Kepegawaian lainnya. Lalu, bagaimana perilaku orang-orang yang bekerja di KPK, apakah mereka patuh pada UU dan etik di dalamnya.

Selain itu, ada beberapa temuan Pansus terkait dengan perilaku beberapa penyidik, jaksa maupun pegawai yang membutuhkan klarifikasi KPK, dan menguji kebenaran temuan-temuan tersebut. "Sehingga tidak selalu berpolemik di media, datang saja, kita duduk bersama dengan saling menghargai dan menghormati tugas dan wewenang kita masing-masing," kata Agun.

Tampaknya, upaya Pansus untuk menghadirkan KPK bertepuk sebelah tangan. Dalam surat terakhirnya, Rabu, 20 September 2017, pimpinan KPK berkirim surat kepada Sekretariat Jenderal DPR dengan tembusan surat kepada Presiden RI dan pimpinan DPR.

Pada intinya, surat tersebut menyampaikan bahwa KPK tidak dapat memenuhi permintaan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Pansus Angket KPK. Dengan alasan, KPK saat ini telah menjadi pihak terkait dalam permohonan pengujian UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD terhadap UU 1945 sebagaimana tersebut dalam register perkara No: 40/PUU-XV/2017.

"Oleh karena itu untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan di MK sampai dengan diputuskannya permohonan dimaksud. KPK tidak dapat menghadiri undangan yang disampaikan oleh Sekjen DPR," tulis surat KPK yang ditandatangani ketuanya, Agus Rahardjo.

Selanjutnya...

Minta Diperpanjang

Ketidakhadiran KPK jelas menjadi kesulitan tersendiri bagi Pansus dalam pengambilan kesimpulan akhir, yang akan dibawa di rapat paripurna DPR setelah 28 September 2017. Keterangan KPK sangat penting. Tanpa itu, kesimpulan akhir  Pansus menjadi sepihak dan tidak adil.

Sadar tak mudah menghadirkan KPK ke DPR, Pansus sejak jauh hari sudah mewacanakan agar masa kerja Pansus Angket KPK diperpanjang. Belum bisanya Pansus menghadirkan  KPK, menjadi alasan kinerja Pansus perlu diperpanjang.

"Kami pimpinan kemungkinan akan meminta seluruh anggota untuk bersedia diperpanjang masa kerja pansus," kata Wakil Ketua Pansus Angket KPK, Taufiqulhadi, di Gedung Nusantara II, Jakarta, Rabu, 13 September 2017. [Ketum PAN: Pansus Angket Tak Perlu Diperpanjang]

Anggota Pansus DPR, Ahmad Sahroni, mendukung perpanjangan masa kerja Pansus, karena dinilainya belum maksimal dalam merumuskan kesimpulan akhir. Klarifikasi KPK dan investigasi temuan-temuan dianggap sebagai alasan kenapa masa kerja Pansus ini perlu diperpanjang. Menurutnya, tiga bulan kinerja Pansus selama ini masih belum cukup.

Politikus Nasdem ini akan mendorong rekan-rekannya sesama anggota Pansus, agar bisa menyuarakan dalam forum paripurna DPR untuk memperpanjang masa kerja Pansus KPK. Ia yakin dengan perpanjangan kinerja Pansus Angket maka tak akan sia-sia dalam merekomendasikan laporan. "Demi menghasilkan rekomendasi yang bagus baiknya Pansus Angket KPK dilanjutkan," ujar Sahroni.

Pernyataan Sahroni ini juga sebagai respons anggota Pansus Angket KPK lain dari Fraksi Golkar Bambang Soesatyo. Bambang menyebut saat ini Pansus sudah menyelesaikan 80 persen tugasnya.

Ketua Komisi III DPR itu bahkan mengklaim, Pansus Angket KPK sudah menemukan beberapa bukti sebagai kesimpulan untuk dibahas dalam paripurna. Selanjutnya, usai dibahas di forum paripurna, rekomendasi pansus berikutnya disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.

Sebelum itu, Taufiqulhadi mengatakan Pansus DPR berencana menemui Presiden Jokowi untuk berkonsultasi. Hal ini terkait dengan akan berakhirnya masa kerja Pansus KPK pada 28 September 2017.

"Kami telah meminta kepada pimpinan DPR untuk menyurati presiden agar pansus bisa berkonsultasi dalam rangka konsultasi dengan presiden. Konsultasi tersebut dalam rangka konteks hubungan antarlembaga, apa tujuan pansus dan apa yang telah dilakukan pansus selama ini," kata Taufiqulhadi di gedung DPR, Jakarta, Rabu 13 September 2017.

Ia menambahkan keinginan tersebut agar bisa mengkomunikasikan hal yang belum sampai ke Presiden terkait kerja pansus. Menurutnya, pertemuan dengan presiden sebagai hal yang biasa sebagai hubungan antarlembaga.

"Seperti antara DPR dengan presiden, dan kebetulan hari ini ada persoalan pansus. DPR ada tugas diberikan pada pansus, maka agar kemudian hal tersebut maka pansus yang kita minta bertemu Presiden dalam rangka konsultasi," kata Taufiqulhadi.

Politikus Nasdem ini memastikan tema yang akan dibicarakan Pansus dengan Presiden hanya normatif. Ia membantah pertemuan ini sebagai bentuk lobi politik, agar Presiden diharapkan mau mengikuti rekomendasi Pansus KPK. Sebab, Ia yakin Presiden memiliki perspektif sendiri. "Kalau lobi itu menurut saya tidak selalu harus seperti itu. Karena kalau lobi itu tidak harus terbuka," ujarnya.

Selanjutnya...

Isyarat Presiden

Terpisah, Presiden Jokowi saat dikonfirmasi permintaan konsultasi Pansus Angket KPK, mengaku tak mau ikut campur urusan angket DPR. Jokowi menegaskan hak angket merupakan kewenangan DPR.

"Kita tahu itu wilayahnya DPR. Pansus itu wilayahnya DPR, semua harus tahu. Itu domainnya ada di DPR, sudah," kata Jokowi singkat, di Jakarta Convention Center, Rabu 20 September 2017. Jokowi tak bersedia
menjawab apakah sikapnya ini diartikan menolak keinginan konsultasi dari Pansus Angket.

Namun, dalam beberapa kesempatan, saat ditanya soal sikapnya terkait hak angket KPK, Jokowi konsisten tak ingin ikut campur dalam wilayah politik dan hak-hak anggota DPR. Sebab, kata Jokowi, lembaga legislatif dan eksekutif tidak sepatutnya dicampuradukkan. Legislatif punya fungsi yang berbeda dengan eksekutif.

Jokowi tak ingin ditarik masuk ke urusan tersebut, meski ada pihak yang menilai bahwa KPK perlu diselamatkan dari upaya pelemahan oleh Pansus DPR. "KPK itu independen. Saya enggak ingin mencampuri, nanti ada yang omong intervensi. Tolong ini betul-betul dilihat," kata Jokowi di sela-sela kunjungannya di Sukabumi, awal September lalu.

Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, memastikan komitmen Presiden Jokowi dalam pemberantasan korupsi, termasuk di dalamnya penguatan institusi KPK. Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi tidak akan melemahkan KPK. Sehingga, segala wacana yang muncul dari pihak-pihak yang ingin memangkas kewenangan KPK, dipastikan berseberangan dengan komitmen Presiden.

"Saat peresmian jalan tol di Mojokerto-Jombang (Jawa Timur), Presiden menyampaikan kita semua berkewajiban menjaga KPK, agar KPK tetap baik, kuat dan tentunya kalau ada kekurangan hal yang bersifat manajerial, hal yang bersifat administratif, itu lah yang dilakukan perbaikan," kata Pramono Anung di Istana Negara, Jakarta, Selasa 12 September 2017.

Peneliti Perundang-undangan dari Universitas Jember, Bayu Dwi Anggoro, mengatakan, berdasarkan peraturan, khususnya hukum ketatanegaraan, presiden tak memiliki wewenang mengintervensi Pansus Hak Angket. Tapi secara politik, Presiden Jokowi dimungkinkan bisa mendorong partai politik pendukungnya supaya menghentikan manuver-manuver Pansus Angket terhadap KPK.

"Secara politik, presiden yang didukung oleh mayoritas fraksi-fraksi di DPR RI seyogianya bisa meminta pansus (angket) berhenti bekerja," kata Bayu di Jakarta Pusat, Sabtu, 16 September 2017.

Menurut Bayu, kegaduhan politik dalam mengintervensi proses hukum yang berjalan di KPK, sudah sangat terlihat. Apalagi indeks persepsi negara hukum Indonesia saat ini, berdasarkan sejumlah penelitian, mengalami penurunan.

Sementara indeks persepsi korupsi Indonesia disebutkan berjalan lamban. Karena itu, Bayu menilai, demi penegakan hukum yang baik, Presiden Jokowi seharusnya dapat memainkan perannya, dan membantu mewujudkan itu dari sisi politik.

"Kalau memang keberpihakan Presiden ada pada KPK, tentu Presiden tidak perlu terikat pada hasil Pansus. Apalagi jika hasilnya nanti ternyata melemahkan KPK," kata Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi dari Universitas Jember tersebut. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya