Usaha Keras Roti Legendaris Tetap Eksis

Roti Tan Ek Tjoan
Sumber :
  • VIVA.co.id/Bimo Aria

VIVA.co.id – Aneka roti dengan topping, atau lapisan atas dan isi yang modern mulai dari daging asap, abon sapi dan ayam, blueberry, meses aneka warna, hingga krim yang manis dan superlembut seperti es krim tertata rapi di etalase toko Pastry and Bakery. Banyak beragam pilihannya, seperti cokelat, mocca, meses, kelapa, atau keju. 

3 Orang Tewas Imbas Longsor dan Banjir Lahar Dingin di Wilayah Gunung Semeru

Tak hanya lewat toko yang didesain begitu mewah, roti dan aneka kue tart kini mulai dipromosikan lewat media sosial, Instagram. Foto-fotonya dipajang, begitu menggugah selera, terlihat lezat dan semakin memikat, karena kue-kuenya dihias bak buket bunga.

Ada juga yang dibuat seperti hewan-hewan lucu berbulu, aneka karakter, dan aneka bentuk. Kreatif, semua berbahan dasar tepung. Tertarik mencicipi, tinggal lihat profil Instagram, tertera nomor telepon dan Whatsapp untuk memesan.

Nikita Mirzani Beberkan Pemicu Kandasnya Jalinan Asmara Hingga Soal Kesetiaan

Bisnis Pastry and Bakery semakin modern. Bahkan, kini roti menjadi salah satu makanan yang perkembangannya sangat pesat dan terkenal luas di masyarakat. Perkembangan sejarah roti, konon merupakan perjalanan yang sangat panjang, yakni dimulai sejak 20 ribu tahun yang lalu.

Menurut M. Husin Syabrini, STP, CH, CPC, yang merupakan seorang food technologist dan praktisi di dunia bakery juga pengasuh blog usahabakery.com menyatakan, dari catatan sejarah terungkap, roti berkembang dari daerah Mesopotamia dan Mesir. Sejarah roti, bermula saat manusia mengetahui cara mengkonsumsi gandum.

Kasus Pemerasan Firli Bahuri Mandek, Kombes Ade Safri: Pasti Tuntas

Pada awalnya, mereka mengonsumsi gandum secara langsung. Namun, beberapa waktu kemudian ditemukan cara yang lebih baik, yaitu dilumat dengan air menjadi pasta, serta dipanaskan di atas api kemudian dikeringkan. Sejak saat itulah sejarah roti dimulai.

Teknik membuat roti seperti ini masih dikembangkan hingga saat ini di berbagai negara, walaupun dengan teknologi yang beragam.

Contoh beberapa produk yang dikembangkan dengan teknik tersebut hingga sekarang adalah: Tortilla di Meksiko, roti canai di India, roti Pita di Timur Tengah, serta roti-roti dengan teknik serupa yang masih dikembangkan hingga sekarang di negara-negara lainnya. Pada umumnya, roti-roti jenis itu dikenal dengan istilah Flat Bread (Roti Datar).

Perkembangan teknologi pembuatan roti di Mesir, kemudian menyebar ke Yunani, hingga akhirnya masuk ke dataran Eropa. Pada saat itu, perkembangan roti mencapai puncaknya di mana roti dan gandum memiliki arti status sosial tertentu.

Roti mewakili strata sosial masyarakat pada saat itu. Semakin gelap warna roti yang dikonsumsi, semakin rendah status sosialnya. Hal ini disebabkan tepung yang berwarna putih sebagai bahan utama pembuatan roti mempunyai harga yang sangat mahal, sehingga hanya masyarakat dengan status sosial tertentu yang mampu membelinya.

Sama seperti zaman dahulu, roti sekarang, juga mewakili strata sosial masyarakat. Roti-roti dengan aneka rasa kekinian, hanya bisa dinikmati oleh orang-orang dengan strata ekonomi yang mapan. 

Namun, di tengah perkembangan usaha bisnis roti yang semakin modern, jangan heran jika saat ini masih ada usaha bisnis roti legendaris yang masih bertahan. Meski bisnis pastry and bakery selalu berkembang, rahasia resep roti legendaris tetap terjaga.

Meski rasanya sederhana, roti-roti legendaris ini, tetap jadi favorit. Bahkan, rasanya yang asli tanpa sentuhan kekinian, selalu bikin kangen lidah para penggemarnya.

Sebut saja, roti-roti buatan pabrik Tan Ek Tjoan, Lauw, dan Guriyana. Tiga merek roti legendaris tersebut, hingga kini masih eksis di Jakarta, dan bisnis usahanya, masih terus berjalan.

Selanjutnya, mereka roti legendaris>>>
 

Tan Ek Tjoan

Roti Tan Ek Tjoan

Tidak seperti toko-toko roti modern seperti Holland Bakery, Harvest, atau pun Cheese Cake Factory, saat VIVA.co.id menyambangi toko roti legendaris ini terlihat sederhana. Saat menginjakkan kaki di Jalan WR Supratman 45, Ciputat, ruko itu berwarna oranye dengan ukuran hanya sekitar 4x8 meter. 

Hanya ada sebuah rak roti bertingkat empat yang posisinya memanjang. Isinya mulai tidak lengkap, terutama roti gambang yang jadi idola, benar-benar kosong. Sementara itu, di bagian dekat kasir, melintang lemari pendingin yang diisi tiga kue tart. Tapi siapa sangka di balik ruko kecil itu, terdapat pabrik penghasil semua produk roti Tan Ek Tjoan. 

Tiap pukul delapan pagi, semua roti baik manis, hingga tawar diproduksi di pabrik seluas kurang lebih 2.500 meter persegi. Semua proses produksi dimulai dari sebuah ruangan yang berisikan beberapa mixer cukup besar.

Adonan dicampur hingga kemudian diistirahatkan, agar mengembang. Setelah itu adonan disteam selama 30 menit, sebelum akhirnya di masukkan ke dalam sebuah oven besar yang konon usianya telah mencapai puluhan tahun. Tahap terakhir adalah pengepakan dan dikirimkan ke sejumlah toko dan para pedagang sepeda.

Diceritakan Josey R Darwin (58), penerus usaha roti Tan Ek Tjoan, bisnis turun-temurun keluarga ini dimulai dari 1921 di Bogor. Pendirinya, bernama Tan Ek Tjoan. Usaha ini sebenarnya dibuat, karena sang istri yang gemar membuat roti. Kemudian, usaha roti ini semakin berkembang hingga mereka membuka cabang di Jakarta, tepatnya di Cikini pada 1955.

"Jadi, yang membuka usaha ini kakak adik. Kakak di Bogor, adik di Jakarta. Terus, sekitar tahun 2007, yang di Jakarta dipegang sama anaknya yang laki-laki ,Tan Kim Hai," kenang Josey.

Beruntung di tangan Tan Kim Hai, usaha roti ini berjalan sukses, usahanya menjadi besar di Jakarta. Kemudian, dibangunlah toko Tan Ek Tjoan di Cikini. Namun, saat Kim meninggal dunia, semua berubah. Usaha roti ini tak lagi ramai. 

"Kemudian tahun 2007, Pak Kim meninggal, anaknya Pak Kim itu teman SD saya. Tetapi, dia di Belanda, jadi mereka tinggal di Belanda, karena istrinya orang Belanda, mereka mondar mandir."

Josey ingat betul kisah sebelum Kim meninggal. Kondisi perusahaan roti yang dijalani Kim sempat tak terurus. Kim ketika itu sering mondar-mandir ke Belanda, jadi usaha roti di Jakarta berjalan seadanya. Tak ada perkembangan, bahkan semakin hari makin sepi. Kualitas rotinya juga makin merosot, omzetnya juga tak banyak. 

"Setelah Pak Kim meninggal, saya ketemu anaknya tahun 2009, dia kepusingan karena rugi. Terus banyak persoalan mereka yang enggak tuntas, jadi saya bantu dia. Dari pertama dia bilang, tolong di-manage dong."

Akhirnya di 2010, terjadi kesepakatan, Josey yang mengelola bisnis Tan Ek Tjoan. Karena tak paham bisnis usaha roti, dia mulai belajar. Ia berusaha mengembalikan image dan kualitas Tan Ek Tjoan. Dia juga yang berusaha mengembalikan zaman kejayaannya sampai pada hari ini. 

"Itu ceritanya kenapa saya ada di sini, jadi saya enggak ada garis keturunan sama sekali, cuma teman saja."

Meski begitu, Josey merasa senang, saat usaha roti legendaris ini dilanjutkan olehnya, sempat kembali ada di posisi survive. Bahkan, bisa dibilang, bisnis roti ini jadi barometer bisnis bakery lain.

Bahkan, Josey ingat betul, posisinya selalu di atas baik dari segi kualitas dan kuantitas. Apalagi, saat masih membuka toko di Cikini, roti-roti produksi Tan Ek Tjoan, menjadi langganan para pejabat. Tan EK Tjoan sempat pula jadi trensetter. "Presiden RI juga jadi langganannya."

Meski sempat melambung, Josey sadar, perkembangan bisnis bakery terus berkembang. Seiring berjalannya waktu, kualitas Tan Ek Tjoan mulai bergeser dan tersingkir. Saat ini, ia terus berusaha mempertahankan usaha roti legendaris ini. Dia mulai buka pasar baru. Sasarannya bukan lagi orang-orang tempo dulu. Mau tak mau, anak muda mulai jadi incaran. 

Dia sadar, makan roti saat ini jadi bagian dari lifestyle. Semakin banyak toko-toko roti modern dengan resep lebih menggiurkan berseliweran. Maka tak heran, Tan Ek Tjoan tidak lagi bisa meledak seperti dulu, meski pelanggannya masih tetap ada. "Jadi, mulai terpikir nih, gimana caranya roti jadul bertahan."

Josey selalu putar otak, bagaimana caranya, agar usaha turun-temurun ini bisa tetap berjalan. Namun, ia tak ingin mengubah apapun yang sudah jadi ciri khas roti legend ini. Yang pertama, yang akan selalu dia pertahankan adalah kualitas harus bagus, lebih sehat dan tetap tanpa pengawet. "Kita kan enggak pakai pengawet, lebih sedikit juga pakai bahan kimiawi, kemudian dari situ gula itu kita kurangi. Karena hal itu, tak heran jika produk Tan Ek Tjoan tak  bisa tahan lama, hanya bisa dikonsumsi dalam kurun waktu tiga hari.”

Roti Gambang

Sesuai dengan jargonnya, "Tan Ek Tjoan, Setia Sepanjang zaman", rasa khas roti ini memang masih tetap dipertahankan. Bahkan, ada beberapa varian roti yang tetap dilestarikan, seperti roti gambang. Varian roti yang satu ini, bisa dibilang lebih tahan lama dari varian lainnya. Sebab, diproses sangat alami, tidak menggunakan yeast atau ragi, dan bisa bertahan lama karena dibakar kering. 

"Kalau yang lain kan, biasanya hanya bertahan tiga hari."

Bukan hanya roti gambang, roti tawar, roti bim bam dan juga roti cokelat merupakan varian roti favorit pelanggan. Varian roti ini jadi trade mark. "Nah itu unggulannya, jadi ada yang legend, ada yang favoritnya."

Kebanyakan orang yang menyukai varian roti ini mengaku, memiliki rasa yang khas yang tidak ada di toko-toko roti modern saat ini. Meski roti ini menjadi favorit, Tan Ek Tjoan juga sempat menghentikan beberapa produksi varian seperti srikaya, kacang hijau karena tidak banyak yang menyukainya. "Karena tidak laku kita setop."

Dalam sehari, diakui Josey, pabriknya bisa memproduksi 9.000 roti dengan aneka varian. Ke depan, ia pun berharap, bisa lebih banyak menghasilkan produksi rotinya. Dia punya target, 30 ribu roti per hari. "Itu kecil sekali dibanding Sari Roti enggak ada apa-apanya. Sama Holland Bakery kita juga enggak ada apa-apanya."

Untuk itu, Josey berusaha mempertahankan varian-varian rasa yang menjadi favorit dan legendaris. Apalagi, banyak orang yang mengidolakan Tan Ek Tjoan, selalu rindu akan rasa khas roti gambang. Josey sempat berpikir untuk berinovasi dengan rasa baru yang lebih modern, namun, ia khawatir, jika hal itu dilakukan identitas Tan Ek Tjoan sebagai roti legendaris jadi hilang. 

Sebagai alternatifnya, ia berpikir untuk membuat brand baru namun bukan berarti merek lama dimusnahkan. "Karena saya tahu, masih ada pelanggan setia Tan Ek Tjoan."

Meski membuka beberapa toko untuk memasarkan roti-rotinya, Josey pun tetap mempertahankan penjualan roti lewat gerobak. Dengan adanya gerobak-gerobak ini, dia berharap, nikmatnya roti legendaris ini masih bisa dirasakan hingga ke pelosok-pelosok kota Jakarta. 

"Kalau pakai ritel gerobak, roti kita lebih kesebar, orang lebih kenal, tapi keuntungannya kecil. Kalau kita main di toko, kita bisa untung lebih besar, tetapi spreadingnya enggak luas."

Saat ini, Tan EK Tjoan pun masih memiliki sejumlah toko di Jakarta. Bahkan, bukan hanya toko, roti-roti produksinya sampai sekarang juga masih disebar melalui gerobak sampai ke Ciputat, Bekasi, Cinere, Menteng, dan Cengkareng. "Itu kita drop di sana. Di sana juga ada gerobak dan pedagangnya, nah kita harus punya itu lebih banyak dan harus diperbanyak pedagangnya."

Namun, ada beberapa toko yang mulai tutup seperti di kawasan Panglima Polim dan Cikini.  "Nah kita lagi cari tempat yang cukup bagus, karena Cengkareng dan Ciputat ini pasarnya lebih ke middle low. Jadi, kita enggak bisa dapat omzet yang bagus, di Ciputat baru dua tahun sebelumnya di Cikini."

Josey juga mengaku, harga properti di Cikini yang terlalu mahal, membuatnya tak sanggup jika harus melanjutkan produksi di kawasan tersebut. Saat ini, ia bersyukur masih ada 90 karyawan yang setia membantunya.

Meski bisa dibilang, usahanya masih lancar, tetap saja, Josey sering merasa ketar-ketir. Sebab, keuntungan yang diperoleh dari usaha ini tidak besar, karena jumlah toko yang sedikit dan biaya produksi yang cukup besar. 

Ia pun sangat ingin, menambah jumlah toko, namun, investasi yang cukup besar membuatnya selalu mengurungkan niat itu. Meski tidak memiliki keuntungan yang besar, Josey merasa optimis, usaha roti ini akan terus berjalan lancar.

"Kalau ini sampai mati sayang. Pertama, karena ini legend, dan akan ada berapa banyak orang yang mesti kehilangan pekerjaan. Jadi, buat saya, saya akan berusaha keras mempertahankan ini."

Josey yakin, kesuksesan Tan EK Tjoan hanya menunggu waktu. Namun, ia tetap hati-hati dengan banyaknya persaingan, termasuk usaha roti Lauw yang juga legendaris menjadi saingannya. "Dulu mereka di bawah kita, sekarang mereka bisa di atas kita." Untuk menghadapi persaingan ini, ia akan berusaha mengembalikan imej Tan Ek Tjoan menjadi lebih bagus lagi.

Lauw

Sama seperti Josey, penerus usaha roti Tan EK Tjoan, Distributor roti Lauw di kawasan Menteng, Yohanes Suwandi juga masih ingat betul, awal mula bergabung mengembangkan usaha roti Lauw yang konon sudah berdiri sejak tahun 1940-an. Meski baru bergabung sekitar tahun 1990-an,  Yohanes tahu, cerita pertama kali Lauw berdiri. "Jadi, pertama dari Bogor, Fatmawati, sama di sini (Menteng), itu yang paling pertama."

Lauw, sempat jadi brand roti idola. Apalagi, ketika toko-toko roti Lauw mulai berdiri tahun 1980-an. Aneka varian rasanya tak jauh berbeda dengan Tan EK Tjoan, tetapi Lauw tetap punya rasa khas sendiri. Sayang, sekarang ruang gerak bisnis roti satu ini tak selebar dulu.

Anak muda zaman sekarang, menurut Yohanes lebih terpikat dengan aneka rasa roti modern dengan banyak campuran butter. "Ruang gerak roti tradisional ini sudah sangat kecil, anak-anak muda banyak cari roti modern ke mal," kata Yohanes.

Untuk roti klasik seperti Lauw, disadari olehnya, tak banyak anak muda yang tahu rasanya, meski masih banyak yang menjajakan menggunakan gerobak ke gang-gang kecil Jakarta. Bahkan saat ini, penjualan Lauw dari tahun 2000-an hingga sekarang agak menurun. 

Dulu, Lauw memang jadi kegemaran kalangan menengah ke atas. Bahkan, sempat juga masuk gerai mal di kawasan Kelapa Gading. Tetapi, sekarang pasarnya berubah. Hanya kelas menengah ke bawah yang jadi pembelinya. Untuk menikmati roti manis Lauw, harga satu roti bisa mencapai Rp6.000, untuk yang manis spesial dan agak modern Rp7.000 dan untuk roti tawar Rp12 ribu. 

Roti Gambang (Lauw)

Jika dibandingkan dengan roti-roti di mal dengan varian rasa lebih modern, harga tak jauh berbeda. Apalagi, saat roti-roti modern banting harga, Lauw makin tak dilirik pembeli. 

Namun, usaha roti ini hingga sekarang masih bertahan. Pedagang keliling roti Lauw masih setia. Masih ada 28 pedagang keliling khusus di kawasan Menteng. Satu pedagang bisa membawa 150 roti. 

Dan, sama seperti Tan Ek Tjoan, roti klasik, roti gambang masih banyak dicari pelanggan. Roti moka juga masih jadi idola. "Kalau yang lainnya standar lah, karena itu khasnya di situ."

Roti gambang sejauh ini, memang hanya diproduksi oleh pabrik-pabrik roti klasik. Yang membedakan dengan roti modern, roti gambang dibuat dengan sedikit bubuhan jahe, gula merah dan kayu manis. Tak heran roti ini bisa tahan lebih lama.

"Kalau ada orang terbiasa hidup di Jakarta ingin bawa roti ini pulang kampung masih bisa satu dua bulan enggak basi, karena benar benar produksinya alami, harganya hanya Rp6 ribu." 

Berikutnya, hadapi persaingan>>>

Hadapi persaingan

Walau masih punya rasa roti yang diidolakan, tetap persaingan tak bisa dihindarkan. Usaha agar bisa bertahan, terus dilakukan. Agar tak kalah dengan rasa roti modern, Lauw ikut berbenah menghadirkan rasa lebih kekinian. 

"Kita juga buat roti modern, setidaknya agar kita bisa bersaing ke sana lah. Roti modern tuh kayak  keju zaman sekarang. Kalau dulu kan, cuma keju dari tepung, kalau sekarang kita mulai bikin juga." "Rasa daging dulu kan juga enggak ada, sekarang sudah ada yang daging. Pakai abon, sosis," kata Distributor roti Lauw di kawasan Menteng, Yohanes Suwandi.

Meski rasa mulai berkembang, roti-rotinya masih tetap dijual dengan gerobak. Saat mangkal di pinggir jalan, tak jarang roti ikut terangkut mobil Satpol PP. 

"Itu sering dikeluhkan pedagang, karena enggak boleh jual keliling. Kadang ketemu Satpol PP harus lari-larian."

Belum lagi, saingan terberat adalah merek-merek roti baru yang kini menjadi penguasa pasar. Tetapi, jika sudah kenal rasa khas roti Lauw, Yohanes yakin orang itu akan tetap setia. Lauw hingga kini tetap berusaha mempertahankan rasa. Ini salah satu hal yang membuat Lauw bertahan hingga sekarang.

"Karena, mungkin kalau kita berubah rasa orang-orang zaman dulu pasti bilang, ah roti ini sama saja dengan roti roti zaman sekarang. Karena tanpa pengawet, paling bagus ya beli sekarang, makan sekarang."

Karena berani mempertahankan keotentikan rasa khasnya, Lauw di tengah banyaknya bisnis roti modern, tak takut gulung tikar. Yohanes bahkan yakin, konsumen Lauw masih banyak meski keuntungan menurun.

"Ini untuk yang di kawasan Menteng, di daerah lain seperti Bekasi malah meningkat. Dalam sehari, pedagang kelilingnya bisa berhasil jual 250 roti," katanya.

Guriyana

Berbeda dengan Tan Ek Tjoan dan Lauw yang masih banyak dikenal orang, tidak demikian dengan Guriyana. Tetapi, merek roti ini tiba-tiba kembali dikenang. Saat Agus Harimurti Yudhoyono, yang saat itu tengah menjalani masa kampanye, mengunjungi pabrik roti favoritnya di masa kecil di kawasan Kayu Manis IX no 46, Matraman, Jakarta.

Pabrik roti ini berdiri dari tahun 1971. Pendirinya, Haji Muhamad Subari. Bukan hal yang mudah mempertahankan usaha roti yang sudah bertahun-tahun didirikan. Namun beruntung, usaha roti ini punya mitra setia. Bahkan cabangnya di Jakarta, ada juga yang terletak di Jl. Dukuh V No.5, RT.6/RW.5, 5, Dukuh, Kramatjati, Kota, Jakarta Timur.  

Saat itu, VIVA.co.id berkesempatan mendatangi cabang distribusi perusahaan roti ini di kawasan Dukuh, Kramatjati. Sore itu, sejumlah penyalur roti Guriyana tengah sibuk menata roti-roti aneka rasa dalam gerobak. 

Dengan sabar, mereka merapikan satu persatu potongan roti tawar yang baru saja diantar dari Kayu Manis. Jika melihat suasana tempat itu, mungkin orang tak akan tahu, lokasi yang terletak di sebuah gang itu, adalah tempat di mana roti-roti Guriyana siap untuk ditata lalu dipasarkan dengan gerobak.

Ya, masih dengan gerobak sepeda yang digenjot menggunakan pedal. Kalau bukan karena bau rotinya, mungkin, orang yang lalu lalang di tempat itu tidak menyadari kalau itu tempat distribusi roti Guriyana.

Ayo, salah satu pedagang keliling roti Guriyana menceritakan, bahwa dia cukup lama bergabung menjadi pedagang roti keliling legendaris ini. Sejak tahun 1978, dia keliling kawasan Utan Kayu menjual roti.

Tak ada yang mengatur harus menjual roti ke mana. Dia keliling mengikuti kayuhan pedal gerobak sepedanya. Dalam sehari Ayo mengaku rata-rata bisa menjual 50 bungkus roti. Yang paling laku, roti tawar. 

Bersama 20 pedagang roti Guriyana keliling lainnya, Ayo berusaha membantu sekuat tenaga menjajakan roti, demi menghidupi keluarga. Diakui Ayo, menjual roti Guriyana saat ini dengan zaman dahulu berbeda. Dulu, lebih banyak pembelinya. 

Ayo mengaku tiap harinya, ia menjual roti keliling, mulai pukul lima sore hingga pukul delapan malam. "Paginya, saya siapkan roti yang mau dijual."

Meski semakin banyak brand roti terkenal jadi saingan Guriyana, Ayo tak takut rotinya tak laku. Saingan, menurutnya, tidak akan memengaruhi penjualan rotinya. 

"Enggak ngaruh, rezeki kan sudah ada yang ngatur. Kalau doyan beli, kalau enggak ya beli yang baru."

Roti Guriyana

Nostalgia

Mempertahanan keaslian rasa memang menjadi salah satu kunci, tiga brand roti legendaris ini bertahan. Membership Coordinator, Ikatan Praktisi Kuliner Indonesia, Chef Ucu Sawitri juga mengakui, roti legendaris bisa bertahan di tengah ramainya bisnis roti modern, karena memang brand roti ini punya taste, jadi legenda karena kisah sejarahnya.

"Karena taste nya, kemudian roti-roti ini jadi nostalgia, legenda, history-nya, itu yang bikin usaha roti bertahan," ujar Ucu.

Misalnya, dia memberi contoh, "Kita beli roti susu pabrikan, Tan Ek Tjoan kalau dimakan biasa, enggak ada rasanya. Tetapi, kalau dipanggang rasanya lebih enak yang ini (yang jadul), kalau yang lain enggak." 

Karena punya nilai history, seringkali rasa dari roti jadul bukan yang utama bagi seseorang untuk jadi pelanggan setia. "Walaupun rasanya enggak lebih enak, harga lebih murah, tetapi bikin kangen."

Roti zaman sekarang dengan zaman dahulu diyakini Ucu punya perbedaan. Dari segi proses produksi hingga pengemasan. 

"Bedanya jauh, zaman dulu banyak kandungan air, dan peralatan enggak secanggih sekarang, dulu masih dibanting-banting dan memang perajin roti kebanyakan di pedesaaan. Kayu Manis misalnya, industri rumahan, roti rakyat kecil, mereka lebih banyak air. Kalau roti sekarang banyak susu, banyak aditif lain misal aroma, kuning telur lebih banyak. Kalau zaman dulu, bahkan enggak pakai telur."

Dari teksturnya pun, lanjut Ucu, memberi pengaruh rasa yang sangat berbeda. Jika menggunakan susu, roti akan terasa lebih lembut dan wangi. Maklum, roti dahulunya makanan orang Eropa. Mulai masuk ke Indonesia saat zaman penjajahan Belanda. 

Brand-brand roti legendaris pun diyakininya masih bisa bertahan hingga sekarang, karena merupakan usaha keluarga dengan marketing-nya pun dari keluarga. Namun, jika generasi berikutnya tak berusaha mengembangkan bisnis usahanya, dan tidak mengaplikasikan proses pemasaran dengan teknologi canggih, Ucu khawatir, usaha roti legendaris akan punah. 

"Tetap stuck di situ. Tapi sekarang, masih banyak yang bertahan, ada Tan Ek Tjoan, Lauw masih bertahan. Tapi mati enggak, hidup enggak. Terus mereka yang bikin sudah tua-tua karena enggak diregenerasikan." (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya