Tiga Tahun Ekonomi Era Jokowi

Presiden Jokowi
Sumber :
  • Viva.co.id/Agus Rahmat

VIVA – Tak terasa, hari ini, Jumat 20 Oktober 2017, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah memasuki tahun ketiganya. Berbagai kebijakan ekonomi pun telah dikeluarkan untuk mendorong perekonomian nasional ke arah yang lebih baik.

Kemenkeu: Pertumbuhan Ekonomi 2021 yang Dirilis BPS Sesuai Prediksi

Sejumlah kebijakan strategis, seperti percepatan pembangunan infrastruktur, kebijakan sektoral, serta pemerataan ekonomi diklaim mampu memberikan dampak berkelanjutan bagi ekonomi Indonesia di masa datang.

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, salah satu kebijakan strategis yang sudah mulai terasa hasilnya saat ini adalah pengalihan anggaran subsidi. 

BPS: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di 2021 Capai 3,69 Persen

Peralihan besar-besaran dana subsidi dilakukan salah satunya untuk pembangunan infrastruktur. Proyek-proyek pemerintah yang mangkrak, khususnya di bidang konektivitas, digeber permbangunannya. Dengan harapan ekonomi nasional akan bergeliat.  

“Dari sini akan terlihat, perlu dibangun fondasi untuk membangun pertumbuhan, produktivitas, dan pemerataan. Untuk membangun fondasi, perlu infrastruktur di daerah,” ujarnya di Jakarta, Selasa 17 Oktober 2017. 

BI Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI 2022 Maksimal 5,5 Persen

Selain ke pembangunan infrastruktur, peralihan dana subsidi pun disalurkan untuk bantuan sosial dan pendidikan. Hal tersebut, dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta memberikan jaminan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Tidak hanya itu, kebijakan pengendalian harga komoditas strategis pun disebut-sebut telah terasa hasilnya. Pemerintah pun mengklaim dalam tiga tahun terakhir telah berhasil menekan harga pangan, untuk menjaga daya beli masyarakat setempat.

“Sebenarnya kita sudah swasembada, tapi saya tidak mau bicara banyak karena tergantung musim juga,” katanya.

Di sisi global, selama tiga tahun Pemerintahan Jokowi-JK, perekonomian cenderung mengalami perlambatan. Namun, pemerintah pun mengaku mampu mengantisipasi hal tersebut dengan beberapa kebijakan strategis. 

Salah satunya, menurut Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki adalah pengembangan ekonomi maritim. Langkah itu merupakan strategis pemerintah dalam menyelesaikan ketimpangan ekonomi yang sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Ekonomi Indonesia pun bisa mengurangi ketergantungan global.

"Kami punya beberapa sektor yang bisa untuk menghadapi ekonomi lesu, yakni perikanan dan pariwisata. Kenapa dia bisa? Karena mereka tidak perlu bahan impor," kata Teten di kantornya Jakarta, Rabu 18 Oktober 2017.

Program tol laut dan moda transportasi logistik misalnya, diklaim Teten sudah mulai bisa mengendalikan harga bahan-bahan pokok di pulau kecil dan wilayah timur Indonesia. Kondisi itu memicu pemerataan ekonomi sudah mulai dirasakan pada tahun ketiga pemerintahan Jokowi. 

"Jadi apa yang dibangun di ekonomi maritim berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Kami bisa melakukan stabilisasi pertumbuhan lima persen dan itu saya kira lebih banyak pada faktor dalam negeri, seperti konsumsi masyarakat yang terjaga, harga pangan yang dijaga, lalu juga investasi," ujarnya.

Selanjutnya, Primadona Baru

Primadona Baru

Tim ekonomi di Kabinet Kerja sepertinya tidak bisa berleha-leha di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Utak-utik kebijakan dan pelaksanaan program-program pemerintah terus digenjot selama tiga tahun Jokowi menjabat. 

Sebanyak 16 paket kebijakan ekonomi pun telah ditelurkan. Paket itu mencakup deregulasi atau perampingan aturan bisnis dan kemudahan investasi di berbagai sektor ekonomi. 

Hasilnya, Kepala Badan Koordinasi Penanaman modal, Thomas  T Lembong menjabarkan, dalam tiga tahun era kepemimpinan Jokowi-JK, realisasi investasi tumbuh cukup menggembirakan. Pada 2015, realisasi investasi yang masuk ke Indonesia mencapai Rp545 triliun.

Kemudian pada tahun lalu, jumlahnya semakin meningkat menjadi Rp613 triliun. Adapun pada semester pertama 2017, otoritas investasi mencatat, realisasi penanaman modal mencapai Rp336,7 triliun atau tumbuh 12,9 persen dibandingkan semester pertama tahun lalu.

Di sisi infrastruktur tak perlu diragukan, selama tiga tahun ini otoritas terkait tidak henti-hentinya dalam menggenjot pembangunan. Tiang-tiang pemancang pembangunan baru terlihat hampir merata di semua daerah. Hasilnya, peresmian infrastruktur baru pun secara maraton terus dilakukan beberapa bulan ini 

Kemudian mengenai pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), pemerintah pun mengklaim telah berhasil membuka akses keuangan seluas-luasnya. Untuk tahun ini saja dianggarkan Rp106,2 triliun Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan rencananya disalurkan kepada sekitar tiga juta debitur. Hingga September ini, penyalurannya sudah 65 persen atau sekitar Rp69 triliun. 

Di tahun ketiga Jokowi-JK, sektor-sektor ekonomi baru juga terus tumbuh. Salah satu yang menjadi primadona baru motor ekonomi Indonesia adalah sektor pariwisata. 

Jumlah wisatawan mancanegara dalam tiga tahun terakhir, tercatat naik dari 10 juta orang pada 2015, menjadi 12 juta tahun lalu. Hasil ini menambah pemasukan devisa negara dari US$12,33 miliar menjadi US$12,44 miliar.

“Diperkirakan pada 2019, sektor pariwisata menjadi penyumbang devisa utama Indonesia,” ujar Menteri Pariwisata, Arief Yahya, Selasa lalu. 

Sementara itu, industri kreatif juga terus berkembang menjadi sumber ekonomi baru di masa depan. Berdasarkan data Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), kontribusi sektor ekonomi kreatif terhadap total produk domestik bruto RI sudah mencapai 7,38 persen atau sekitar Rp852,2 triliun. 

Fakta tersebut memberikan angin segar bagi perekonomian Indonesia yang memiliki motor-motor pendorong baru di masa depan. Namun, ditegaskan, motor itu tidak akan berjalan jika tidak didukung semua pihak. 

Selanjutnya, Masih Banyak PR

Masih Banyak PR

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, kondisi perekonomian domestik selama tiga tahun terakhir masih jauh dari harapan. Hal tersebut, tercermin dari realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang saat ini masih berada di angka lima persen.

“Padahal target awalnya tujuh persen dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional),” kata ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara kepada VIVA.co.id, Kamis 19 oktober 2017.

Menurut Bhima, ada beberapa persoalan struktural yang menyebabkan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan. Selain dari kinerja ekspor yang masih bergantung pada komoditas mentah, hampir 56 persen penopang ekonomi masih mengandalkan konsumsi rumah tangga.

Belum lagi, percepatan pembangunan infrastruktur yang diharapkan menyerap ribuan tenaga kerja dalam meningkatkan daya beli, serta mendorong industri turunan seperti semen dan besi baja nyatanya belum optimal. Padahal, pembangunan infrastruktur seharusnya menciptakan efek berganda.

Bhima pun mengkritisi pergerakan inflasi nasional yang dalam tiga tahun terakhir relatif rendah. Namun, menurutnya, rendahnya inflasi bukan semata-mata karena pengendalian harga yang dilakukan pemerintah berjalan dengan baik, melainkan ada indikasi lemahnya permintaan.

“Inflasi intinya turun, mencerminkan daya dorong dari sisi permintaan lemah,” katanya.

Dari sisi nilai tukar, Indef menilai, rupiah masih cukup rapuh terhadap tekanan eksternal yang bersumber dari ketidakpastian global, terutama terkait kondisi perekonomian Amerika Serikat. Meskipun cadangan devisa tercatat tertinggi dalam sejarah, rupiah bisa melemah di level Rp13.500 per dolar AS.

Sementara itu, dari indikator ketimpangan dan kemiskinan, menurut Bhima, juga disebut belum mengalami perbaikan berarti, tercermin dari rasio gini saat ini masih berada di angka 0,39. Sementara itu, angka kemiskinan justru naik 6.900 orang per Maret 2017. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini bisa terjadi.

Yakni, menurut Indef, mulai dari program bantuan sosial yang terlambat, sampai dengan percepatan pembangunan infrastruktur yang belum berkolerasi positif terhadap kenaikan kesejahteraan di daerah. Hal ini ditambah dengan optimalisasi dana desa yang belum efektif dalam mengatasi persoalan kemiskinan di desa.

Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) berharap, pemerintah bisa lebih menjaga kondusivitas iklim bisnis di Tanah Air. Kegiatan usaha di dalam negeri diharapkan bisa berjalan dengan lancar dan investasi terus masuk. 

"Antarmenteri koordinasinya harus lebih baik. Termasuk dalam mengeluarkan wacana tidak perlu. Misalkan ada wacara pemindahan ibu kota, menurut kami tidak mendesak. Jangan sampai orang akhirnya fokus perhatian jadi berubah," ujar Sekretaris Jenderal Apindo, Sanny Iskandar kepada VIVA.co.id, Kamis 19 Oktober 2017. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya