Robot Pembunuh Ancam Peradaban Manusia

Ilustrasi drone yang dilengkapi senjata rudal.
Sumber :
  • LinkedIn

VIVA – Pengembangan senjata, atau robot otonom pembunuh (lethal autonomous weapons) tanpa terkendali akan memiliki dampak besar terhadap strategi perang di masa depan.

6 Laptop Bertenaga AI Siap Ramaikan Pasar Indonesia

Hal ini mendorong sebagian negara dengan anggaran militer kecil untuk menyerukan dikeluarkannya peraturan pelarangan pengembangan senjata berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) oleh Perserikatan Bangsa Bangsa.

Robot pembunuh mampu memilih dan menyerang target tanpa campur tangan manusia. Senjata yang masuk ke dalam kategori ini antara lain pesawat nirawak (drone) dan kendaraan robot bersenjata, senapan mesin kawal otomatis, serta sistem sniper otonom.

ASEAN, Medan Perang Uni Eropa Vs AI

Sementara itu, negara-negara yang sudah mengembangkan teknologi ini adalah China, Israel, Korea Selatan, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat.

Namun, pada September 2017, Inggris memutuskan untuk melarang pengembangan senjata otonom sepenuhnya. Sebuah pengumuman dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan negeri Ratu Elizabeth II tersebut. 

Selamat Datang Gemini

Keinginan negara-negara di atas mengembangkan senjata otonom ini justru menimbulkan pertanyaan, sekaligus kekhawatiran yang mendalam soal pengembangan robot pembunuh yang kebablasan, sehingga mengancam peradaban manusia.

Bahkan, pakar AI dari Universitas New South Wales, Australia, Toby Walsh menegaskan, robot pembunuh jelas merupakan senjata pemusnah massal.

"Ini senjata pemusnah massal. Karena itu, saya benar-benar yakinkan kepada Anda bahwa kita harus melarang pengembangan senjata ini," kata Walsh, dikutip Futurism, Senin 20 November 2017.

US Marine-Robot-Mutt.

Robot Mutt milik Militer AS.

Masalah utama dari kehadiran senjata otonom ini, menurut Walsh, adalah terkait kewenangan manusia dalam mengambil keputusan melepas serangan dari senjata.

Sebab, sistem persenjataan 'robot pembunuh' tersebut menggunakan AI dan sensor, sehingga dianggap dapat mengubah cara berperang, dan bukanlah hal positif bagi manusia.

Direktur The Center for a New American Security, Paul Scharre, menyebutkan ada perbedaan antara senjata semi-otonom dan sepenuhnya otonom.

"Senjata semi-otonom, manusia yang mengendalikan akan berada dalam putaran (loop), memantau aktivitas senjata, atau sistem senjata tersebut. Apabila gagal, sang pengendali hanya perlu menekan tombol untuk mematikannya," ungkapnya, dikutip situs Gizmodo.

Selanjutnya, PBB bersuara>>>

PBB bersuara

Tetapi, kalau senjata otonom, kerusakan yang ditimbulkan secara signifikan akan jauh lebih besar sebelum manusia mampu melakukan intervensi.

Ia mengaku khawatir bahwa sistem ini sangat rentan mengalami kegagalan, hacking, spoofing, dan manipulasi oleh musuh.

Scharre juga menuturkan, yang bisa dilakukan sekarang adalah mengeluarkan moratorium, bukan larangan langsung.

Namun, bagi mereka yang menentang pengembangan dan penggunaan robot pembunuh mutlak dilarang. "Ibaratnya, kita seperti membuka kotak Pandora maka akan sulit ditutup lagi," paparnya.

China Military-Robot-Norinco.

Robot Norinco.

Pada 18 November 2017 lalu, pendiri Apple Steve Wozniak serta CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk, bersama 115 ahli kecerdasan buatan dan robotika, melakukan pertemuan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa membahas Senjata Konvensional (United Nations Convention on Conventional Weapons/UNCCW).

Pertemuan ini sedianya dilaksanakan pada 21 Agustus lalu, namun diundur. Mereka meminta apa yang dianggap sebagai teknologi 'yang salah secara moral' itu untuk dicantumkan ke dalam daftar senjata yang dilarang berdasarkan UNCCW.

Ilmuwan Stephen Hawking bergabung dengan Musk, Wozniak dan ratusan ahli lainnya ke dalam Future of Life Institute.

Ketua UNCCW, Amandeep Gill menegaskan, robot tidak akan mengganti peran manusia di masa depan.

"Saya ingin tegaskan di sini bahwa robot tidak akan mengambilalih dunia. Manusia masih bertugas. Kita harus berhati-hati, agar tidak emosional atau mendramatisir masalah ini," ungkapnya.

Tak pelak, dalam pertemuan tersebut, menghasilkan dua poin kesepakatan.

Pertama, sebagian besar negara setuju dikeluarkannya instrumen yang mengikat secara hukum untuk mengendalikan penggunaan teknologi ini.

Kedua, mayoritas negara menerima beberapa bentuk pengendalian atas sistem persenjataan oleh manusia. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya