Wali Kota Bandung Ridwan Kamil

Tak Nyambung Saya Dihubungkan dengan Ahok

Ridwan Kamil.
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA - Pilkada Jawa Barat akan digelar pada tahun depan, 2018. Salah satu calon kuat dalam kontestasi demokrasi tersebut adalah Ridwan Kamil, yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Bandung.

Ridwan Kamil: Covid-19 Penyakit Orang Kota

Sejauh ini, Ridwan Kamil yang akrab disapa Kang Emil itu mendapat dukungan dari empat partai yaitu Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Golkar.

Meskipun, akhirnya Partai Berlambang Pohon Beringin ini memutuskan untuk menarik dukungannya. Baca lengkapnya di sini.

Ridwan Kamil Setop PSBB di Jawa Barat, Kecuali Bodebek

Menariknya, partai-partai itu adalah partai-partai yang dalam Pilkada DKI Jakarta mengusung Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok.

Apakah Emil tidak takut kekalahan Ahok akan terulang padanya di Jabar? Dalam kesempatan berkunjung ke kantor redaksi VIVA di Pulo Gadung, Jakarta, beberapa waktu lalu, Emil membahas persoalan tersebut.

Ridwan Kamil Tawarkan Proyek Investasi di Jabar Rp700 Triliun

Emil juga membicarakan isu-isu hangat terkait Pilkada Jabar lainnya. Misalnya saja, soal calon wakilnya yang hingga kini belum ketemu. Bagaimana kriteria yang dia inginkan, dan mekanisme apa yang bisa menjaring satu tokoh untuk mendampinginya.

Selain itu, masalah kependudukan di provinsinya tersebut. Dan tidak lupa, Emil juga memberikan pandangannya mengenai kondisi Persib yang pada musim kompetisi ini kurang berprestasi, serta konflik antara pendukung klub tersebut dengan Persija.

Pada Pilkada Jabar ini, Emil kemungkinan besar akan bersaing dengan nama-nama seperti Deddy Mizwar yang didukung Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, Mayjen Purn Sudrajat dari Partai Gerindra. Dibanding semua calon pesaingnya itu, elektabilitasnya hingga saat ini masih yang tertinggi.

Dengan kondisi seperti itu, apakah Emil yakin otomatis menang? Karen,a ada fakta bahwa calon yang memiliki elektabilitas rendah bisa memenangkan pilkada, misalnya Joko Widodo pada Pilkada DKI Jakarta 2012, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada Pilkada DKI 2017 lalu.

Berikut ini, wawancara lengkap kami dengan Ridwan Kamil:

Setiap daerah punya tantangan berbeda-beda. Berdasarkan pengamatan Anda, bagaimana dengan di Jawa Barat?

Saya ini ilmiah orangnya, saya dosen, jadi kalau mengambil keputusan saya pasti tanya, tanya juga disurvei, keluar, semuanya ekonomi. Jadi, di mata orang Jawa Barat mohon maaf, isu-isu di luar ekonomi dianggap masih oke. Tapi urusan lapangan kerja, hidup susah, daya beli, harga-harga mahal, kemudian masalah pengangguran dan infrastruktur yang membuat ekonomi jadi repot. Maka saya akan fokus ke empat ini.

Saya punya program satu desa satu produk. Setiap desa, saya titipkan desa tahu, desa tanam lele, desa tanam apa-apa, dan seterusnya yang dijamin di beli di pasar. Ini berhasil di Jepang, berhasil di Thailand, kenapa tidak di Jawa Barat.

Kedua, saya ingin membangun infrastruktur dengan partner swasta yang namanya KPBU, Kerja sama Pemerintah Badan Usaha. Jadi, yang ngaspal ini swasta sampai desa-desa. Nanti, saya bayar 15 tahun. Jadi, kayak Anda-anda kalau pengen punya rumah, masa nabung dulu 10-20 tahun baru beli rumah? Kan KPR (kredit pemilikan rumah) kan?

Nah, pinjem KPR, dapat rumah, rumahnya bermanfaat, bisa dipakai usaha, gaji bulanan tidak terganggu. Logika ini di Indonesia belum ada. Jadi, kalau mau bangun dicicil, 10 persen dulu, kan lama? Di luar negeri tidak begitu. Kenapa kita kalah, karena di sana dibangun sekaligus, nyicilnya yang dicicil bertahun-tahun. Bukan mencicil proyeknya bertahun-tahun, tetapi mencicil bayarnya bertahun-tahun tapi proyeknya dihadirkan untuk kepentingan masyarakat di depan.

Jadi, itu untuk infrastruktur, ekonomi, terus saya fokus pada human capital. Termasuk, yang ingin saya perjuangkan itu adalah pemekaran kabupaten.

Kan, ini enggak fair ya. Di sini ada orang Jawa Timur enggak? Kalau Anda KTP Jawa Timur, negara itu ngasih duit ke Anda itu satu juta rupiah dalam bentuk pelayanan kan, senilai satu juta. Voucher-lah. Tetap  ,KTP Jawa Barat mana? Akang itu karena KTP Jawa Barat, negara hanya ngasih voucher duit untuk kehidupan Anda itu cuman 600 ribu. Berarti kan, enggak adil kan? Karena di Jawa Timur, kepala daerahnya lebih banyak. 38 daerah. Di Jawa Barat hanya 27.

Uang negara itu berbanding lurus dengan jumlah daerah. Ngerti enggak. Karena jumlah daerah di Jawa Timur itu 38, maka uang APBN banyak ke Jawa Timur dibandingkan jumlah penduduk. Tadi, seorangnya dapat sejuta. Kita di Jawa Barat, karena jumlah daerahnya hanya 27, maka uang negara ke orang Jawa Barat hanya 600 ribu. Dari situ saja sudah tidak fair kan? Kualitas hidupnya, pendidikannya. Maka salah satu resolusi politik saya memperjuangkan jumlah daerah di Jawa Barat lebih banyak. Pergi ke Cianjur, hanya buat ke kantor pelayanan KTP delapan jam. Mending pas datang urusan beres kan, diping-pong, disuruh balik lagi besoknya, bayar.

Jumlah penduduk lebih banyak Jawa Barat bagian utara atau selatan?

Banyak selatan, kalau kita baca peta, semua yang selatan itu rata-rata bentuknya itu persegi panjang yang berjauhan. Jadi, Bogor Delatan, Sukabumi selatan, Cianjur selatan, Tasik selatan, Garut selatan, semua yang selatan itu kalau diliput oleh teman-teman, kayak dunia lain. Benar-benar peradabannya itu kayak tahun 60-an.

Pengembangannya berapa?

Kalau yang diaspirasikan ada enam, minimal ya. Jawa Timur itu penduduknya cuman 40 juta, Jawa Barat 45 juta. Jadi, aneh kan? Penduduk lebih banyak, yang melayani lebih sedikit, penduduk lebih sedikit, yang melayani lebih banyak. Inilah yang disebut ketidakadilan.

Tapi jangan atas nama emosi ya, sumber daya diperbesar, SDM-PNS-nya enggak ada. Itu tugas saya menyiapkan, menghimpun. Tapi matematikanya mengatakan, ada ketidakadilan pembangunan. Seluruh Jawa Barat keisi-keisi, padahal negaranya enggak adil. Kayak kita punya dua anak. Yang satu saya kasih duit lebih banyak, tetapi yang duit lebih sedikit suruh lebih berprestasi, dari yang duit banyak. Kan, logikanya sudah keliru. Jadi, betul enggak boleh sembarangan juga.

Berikutnya, sistem koneksi antardaerah>>>

Bagaimana dengan sistem koneksi antardaerah di Jawa Barat?

Pernah main ke Pantai Selatan, jarang kan? Pernah naik pesawat terbang, salah satu koneksi kan, bikin pelabuhan supaya orang masak harus nyeberang gunung, Tanjung Priok, tanpa infrastruktur koneksi jangan harap ada pertumbuhan. Jangan harap, manusia-manusia Jawa Barat Selatan ini naik. Dari mana saya tahu, pas ke Bandung. Tiga hari saya di selatan.

Kang Emil sejauh ini memiliki elektabilitas tertinggi di Pilkada Jabar. Tapi banyak calon yang elektabilitas rendah, ternyata memenangkan kontestasi pilkada. Misalnya Jokowi di Pilkada DKI 2012, dan Anies-Sandi di 2017. Bagaimana antisipasinya?

Jadi gini, kalau kita mau bicara jujur ya, orang yang menang pilkada karena surveinya memang tinggi lebih banyak daripada orang yang menang pilkada surveinya rendah. Jadi, jangan mematahkan teori itu, karena kenyataannya yang disurvei bagus, dan baik, dan menang itu jauh lebih banyak jumlahnya dibanding yang surveinya kecil, tiba-tiba menang kan. Kenapa kecil tiba-tiba menang? Saya pastikan pasti ada fenomena dalam perjalanannya.

Kita bicara Jokowi, dulu kecil tiba-tiba menang, karena Jokowi menjadi media darling dalam waktu singkat itu dan semua jadi magnet kan. Itu fenomena. Apakah itu terjadi di daerah lain? Enggak ada. Makanya bisa jadi Presiden sekarang. Kemudian Pak Anies. Ada fenomena. Pak Ahoknya problematik. Dari sisi ucapan atau apa. Coba Pak Ahoknya tidak problematik, tidak ada kasus Al-Maidah, menang Pak Ahok.

Jadi poin saya, betul ada fenomena. Saya juga sama. Dulu saya mulai enam persen, incumbent saya 30, saya menang 45. Incumbent turun kan. Kenapa? Ada fenomena. Rezim itu ketangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Saya takdir ya. Gimana saya? Ya, saya jangan bikin blunder, saya jaga. Makanya doakan selama lima bulan, tidak banyak hal-hal yang merugikan yang jadi sumber tergerusnya elektabilitas. Kalau saya bisa jaga atitude, etika, saya harusnya secara akal sehat insya Allah.

Soal wakil Kang Emil dalam Pilkada Jabar, sejauh ini partai-partai yang mendukung memiliki pilihan yang berbeda-beda, bagaimana solusinya?

Jadi, gini dari empat partai ini tidak ada yang genap. Golkar 17 betul paling besar, tetapi butuh approve tambahan, apalagi yang tiga tadi, kami sedang mengupayakan musyawarah mufakat. Masing-masing ngasih calon, PKB ada dua calon, PPP Pak Uu, Golkar Daniel. Kita melempar ke floor dulu. Kalau di floor musyawarah ini mufakat, ya sudah nama-nama itulah yang akan kita finalisasi.

Pada dasarnya, saya seorang yang mudah ber-chemistry dengan siapa pun. Asal ada nilai-nilai dasar yang kita sepakati, integritas, kerja keras. Jadi itu. Kalau ternyata tidak sepakat kita akan tanya saja kepada rakyat, dalam bentuk apa, dalam bentuk survei, dalam bentuk opini tokoh. Jadi, nama-nama ini diopinikan oleh si tokoh-tokoh. Kemudian, nama-nama ini kita tanya ke rakyat dalam bentuk survei khusus. Nanti, siapa yang nilainya paling optimal, ya kita harus legowo. Jadi, individu inilah yang paling (layak menjadi wakil gubernur).

Survei sudah berjalan?

Belum, kan kita belum bersepakat, musyawarah mufakatnya belum. Nanti, survei di akhir Desember. Kami kasih waktu sebulan, nama-nama itu untuk berlomba-lomba merebut hati rakyat, memperlihatkan kredibilitasnya kepada para tokoh Jawa Barat. Siapa yang nilai akumulasinya paling baik, potensi menjadi pasangan saya makin tinggi.

Syarat tokoh yang bisa menjadi wakil Kang Emil?

Syarat-syarat itu sebenarnya ada tiga. Satu dia punya nilai kepemimpinan, punya histori memimpin, karena nanti akan jadi pemimpin masyarakat. Dua harus populer, tidak nol-nol banget. Pintar, cerdas tetapi enggak populer susah. Ini kompetisi pilkada, kan menang-menangan voting. Ketiganya, dia harus melengkapi yang saya kurang. Contoh ada yang menyarankan saya cari figur ulama untuk melengkapi saya. Jadi, saya lebih cenderung siapa yang bisa melengkapi saya, punya nilai kepemimpinan, dan punya popularitas, prestasi, itu yang (akan menjadi wakil saya). Jadi, saya enggak sebut nama karena jumlahnya banyak sekali.

Beberapa waktu lalu Pilkada DKI Jakarta digelar. Apakah kekalahan Ahok akan berpengaruh di Jabar?

Jadi gini, pilkada itu tentang figur, itu harus diyakini teori itu. Kalau figurnya tidak bermasalah jangan harap pada teori-teori pengulangan kecuali figur di Jawa Barat-nya sama kayak Pak Ahok bikin masalah dari ucapannya, tindakannya, bisa terjadi. Tapi selama figur tidak bermasalah, orang mau dihubung-hubungkan enggak nyambung juga. Satu itu ya.

Kedua, saya sudah survei. Kenapa saya berani bicara begitu. Di survei, saya tanya jika partai-partai pendukung Pak Ahok mengusung seseorang di Jawa Barat untuk cagub, apakah Anda terpengaruh, tidak? Yang bilang tidak terpengaruh 70 persen, yang bilang terpengaruh hanya 20 persen.

Jadi, artinya mayoritas tidak masalah partai pendukung Pak Ahok tiba-tiba mendukung saya. Kan partai saya pendukung Pak Ahok semua. Nasdem, PKB, PPP, Golkar. Survei saya bulan lalu, Indobarometer saya itu 40 persen, Deddy Mizwar 16, Dedi Mulyadi 19. Kalau betul itu berpengaruh, sejak saya dideklarasikan Nasdem, harusnya elektabilitas saya turun kan, karena masyarakat menghukum dengan ketidaksukaan. Buktinya naik. Jadi, jawabannya itu.

Antisipasinya, ya saya jangan bikin blunder. Saya bela Islam di Bandung dengan berjemaah, Magrib mengaji, lima kali lipat bayar zakat, baca Alquran, saya melatih MTQ, juara satu terus. Jadi, kalau orang nanya, oke Anda tidak bermasalah, tetapi apa bela Islamnya? Saya sudah siapkan itu. Tadi, kecuali figurnya bikin masalah.

Selanjutnya, orang Jawa Barat adem-adem>>>

Orang di Jawa Barat adem-adem?

Kami orang Sunda, orang Sunda itu ada satu filsafat herang cai na, beunang lauk na, ini penting. Bahasa Indonesianya adalah ikannya dapat kolamnya jernih. Paham enggak maksudnya? Jadi, kalau kita mau mengambil ikan, jangan sampai memperkeruh kolamnya. Orang Sunda itu filosofinya begitu. Bisa enggak ikannya dapat, tetapi kolamnya bersih.

Saya tiga tahun, saya bikin e-budjeting, saya mecatin orang lebih dari 20 pejabat-pejabat yang tidak bener. Sekarang rangking kinerja Pemkot Bandung rangking 1, dulunya rangking 200. Jadi poin saya, saya berhasil membuktikan ujungnya, tetapi tanpa menimbulkan keributan. Itu saya praktikkan di semua urusan. Istilah gaulnya rileks, tetapi narget.

Kang Emil kabarnya punya cyber army, sebuah tim yang siap perang di sosial media? Ini apa alasannya?

Jadi, kalau orang dengar cyber army itu kesannya itu. Pertama gini, kalimat itu bikin tegang. Hidupnya setiap hari (tegang). Enggak ada, yang ada itu yang simpati-simpati ke saya itu berkumpul "Kang saya relawan, yang enggak punya duit, yang enggak punya apa, tapi boleh kang ngendorse-ngendorse, kadang kita klarifikasi fitnah-fitnah."

Saya punya relawan, harta saya itu relawan. Saya punya, relawan saya ada 12 kelompok. Ada satu relawan berkumpul di sosial media. Tetapi, jangan pakai istilah cyber army. Relawan yang dia menyumbangkan dukungan ke sayanya dalam interaksi media sosial.

Berapa orang?

Kalau jumlah relawan saya enggak ikutan ngatur, saya terima hasilnya aja. Berkumpul dalam satu tim.

Anda dahulu diusung Partai Gerindra dalam Pilkada Bandung. Saat ini, dalam Pilkada Jabar, sepertinya akan berseberangan. Bagaimana hubungan Anda dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto?

Jadi pertama, politik itu dinamis ya. Setiap titik waktu, perhitungannya berbeda, dinamikanya berbeda. Gerindra Jawa Barat, khususnya kan belum memutuskan. Kan menarik dukungan juga dari Deddy Mizwar. Dengan saya, masih komunikasi sampai kemarin, masih kita upayakan agar ada sinkronisasi kepentingan ya, yang bisa disinkronisasi.

Kenapa dulu di awal tahun saya tidak didukung Gerindra, karena memang Gerindra Jawa Baratnya dalam komunikasinya dulu memberi syarat yang saya tidak bisa penuhi bukan saya tidak mau, yaitu saya harus menjadi anggota dulu kalau mau ingin diusung calonnya. Karena saya sudah berkomitmen atas nasihat ibu saya, supaya tidak masuk partai dulu dalam prosesi Pilgub. Tetapi, kalau setelah Pilgub boleh. Nah, kalau ini tidak ketemu susah ya. Namanya politik.

Jadi, bukan saya meninggalkan Gerindra, tetapi karena syarat tadi di awal tahun ini memberatkan, sehingga akhirnya saya harus bersafari ke partai-partai lain. Tapi bukan tidak mungkin, karena janur kuningnya kan belum melengkung (saat wawancara Partai Gerindra belum resmi mencalonkan Mayjen Purn Sudrajat), hari pendaftaran kan belum berakhir. Kita lihat breaking news-breaking news, mungkin, siapa tahu Gerindra dengan saya bisa bersinergi. Ya, termasuk mau ketemu Pak Prabowo juga salah satunya. Tadi pagi ada masukan, undangan ya.

Sejauh ini sudah pernah bertemu dengan Prabowo?

Kalau dengan Pak Prabowonya belum. Tetapi, kalau dengan pihak-pihak di bawahnya saya kira sudah ada intensitas untuk bicara. Politik ini kan berjenjang ya. Di atas clear. Kalau di bawahnya belum, itu kadang-kadang tidak nyambung. Tapi intinya komunikasi politik tetep, rasa hormat saya terus saya upayakan.

Kalau yang definisi bakal calon itu yang sudah terlihat suratnya. Jadi kalau ada, maaf ya, mereka-mereka yang mengklaim sudah didukung atau apa sebelum terlihat suratnya itu masih asumsi, masih perbincangan yang belum clear. Kalau saya di lemari saya ada empat surat. Sudah otentik. Surat Nasdem, surat PKB, surat PPP, surat Golkar. Itu saya. Jadi itu clear. Di luar yang menyatakan itu silakan saja kan, tapi sebelum memperlihatkan surat saya kira legitimasinya masih perlu dipertanyakan.

Mengenai Persib yang tidak bisa bersaing tahun ini. Harapan Kang Emil bagaimana?

Saya Wali Kota Bandung, saya juga Bobotoh. Enggak jadi wali kota, kan juga tetap Bobotoh. Tapi gini, Persib itu seperti istri. Kalau lagi baik perilakunya kita hepi, makin cinta, betul? Tapi kalau istri kita perilakunya kurang, tidak berkenan, tetap kita cintai, diperbaiki dengan cara baik. Jangan dihujat-hujat. Pas lagi bagus dipuji-puji, pas jelek dimaki-maki. Saya kira enggak begitu relasi antara Bobotoh dengan Persib. Jadi, hari ini terpuruk saya kecewa, bagi Bobotoh.

Kenapa? Saya punya analisa, dulu 2014 sudah winning team, ada Ferdinan Sinaga, ada Konate. Jadi, kekecewaan saya itu kenapa dibubarkan si winning team itu. Susah. Winning team itu tidak ada hubungannya dengan pemain mahal. Emang kumpulin pemain-pemain mahal jadi juara, belum tentu, karena sepakbola itu team work, beda ama bulu tangkis atau single yang gimana. Jadi, kekecewaan saya itu. Jadi, enggak usahlah terlalu menjual seolah-olah beli pemain mahal seolah-olah menjamin. Buktinya kan enggak juga, rangking 13. Yang penting itu bagaimana meramu chemistry, dan itu yang saya sesali. Cuman saya sebagai wali kota, minimal punya catatan sejarah di zaman saya Persib lagi.

Soal konflik antara pendukung Persija dan Persib yang masih berlangsung hingga kini, bagaimana pandangannya?

Sepakbola itu mengajarkan pada kita untuk fairplay, sepakbola itu untuk mengajarkan kita tentang hidup harus kerja keras, berkeringat, terus kompak. Jadi, pemain Persib-Persijanya aman-aman saja, kenapa pendukungnya malah ribut ya. Banyak orang mati gara-gara logika yang keliru ini, yang mati The Vikingnya kan, Bobotohnya ada yang mati, The Jaknya juga dan sebagainya. Mau sampai kapan? Nah, problemnya adalah hari ini pemerintah itu tidak bisa turun langsung.

Jadi kalau turun, kapasitas saya Ridwan Kamil, bukan sebagai wali kota karena aturan tim profesional itu mau saya wali kota, atau saya gubernur itu saya tidak bisa ikut campur. Tetapi, saya punya daya pengaruh. Jadi, kuncinya adalah sekarang sudah lebih baik. Saya lihat langsung kan ketua The Jak yang baru datang ke Bandung, nginep di Bandung, makan bareng ama ketua Viking. Nah, kalau ketua-ketuanya sudah mau, ya harusnya secara kultural ikutilah, karena enggak akan beres. Sampai kapan?

Jadi, intinya kita upayakan terus, justru saya balikin, VIVA sebagai media bantulah kalimat-kalimat, ajakan-ajakan yang mendorong perdamaian itu. Jangan kita terkenal karena berantemnya, terkenal lah karena prestasi. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya