SOROT 375

Melawan Keterbatasan

Dedi Afrianto, penyandang tunanetra
Sumber :
  • Istimewa

VIVA.co.id - Pria usia empat puluhan tahun itu tampak serius. Matanya menatap tajam dinding yang disulap menjadi layar proyektor.

Penyandang Disabilitas di Kulonprogo Dapat Pengobatan Gratis

Berkemeja lengan pendek dipadu celana jeans warna biru, ia duduk di deretan kursi paling depan. Sesekali, ia mengangkat tangan dan mengajukan pertanyaan.

Juga menimpali tanggapan dari pemateri yang ada di depan. Tas warna hitam tampak tersandar di bawah meja, dekat kaki pria ini. Sementara, tongkat warna perak yang terlipat, tergeletak di meja, tak jauh dari tangannya.

Beda Disabilitas Anak dengan Keterhambatan Psikologi

Nama pria ini adalah Dedi Afrianto. Ia merupakan salah satu peserta pelatihan Sekolah Muamalah yang pagi itu diselenggarakan di salah satu rumah toko (ruko) yang terletak di Jalan Padjajaran, Bogor, Jawa Barat. Pelatihan digelar di lantai tiga.

Selain Dedi, ada sejumlah peserta lain yang memadati ruangan separuh lapangan bulu tangkis ini. Peserta pelatihan seragam, yakni semuanya pria. Bedanya, yang lain bisa melihat, sementara Dedi tunanetra.

Joko Widodo Menjahit di Kantor Dinas Sosial

“Dedi merupakan angkatan kelima di sekolah ini,“ ujar Direktur Sekolah Muamalah, Tri Aditya Respati (30) kepada VIVA.co.id, 16 Desember 2015. Dia mengungkapkan, meski tunanetra, Dedi bisa mengikuti proses belajar mengajar di pelatihan yang mempelajari praktek berdagang sesuai syariah Islam tersebut.

Bahkan, Dedi tergolong aktif selama mengikuti proses pelatihan. Pria yang akrab disapa Adit ini menerangkan, Sekolah Muamalah tak pernah melarang penyandang disabilitas untuk mengikuti pelatihan.

Siapapun, bisa mengikuti pelatihan yang dilakukan tiap pekan ini, termasuk Dedi. “Syarat ikut pelatihan ini hanya kesediaan mereka untuk mengikuti proses belajar mengajar hingga selesai,” lanjut Adit.

Namun, ia mengaku tak menyediakan fasilitas khusus untuk Dedi. Tak ada alat peraga. Semua materi yang diberikan juga dicetak dalam bentuk buku biasa, bukan braile.

Meski demikian, Dedi bisa mengikuti semua materi yang diajarkan. Caranya, ia merekam semua materi yang diberikan.

Selain itu, Dedi meminta istrinya membacakan semua buku ajar yang diberikan. “Dedi selalu ikut pelatihan. Ia hanya absen sekali saat sakit,” ungkap Adit

Komentar senada disampaikan Adhi Nugroho (42). Teman Dedi dan salah satu siswa Sekolah Muamalah ini mengatakan, meski tunanetra, Dedi mampu mengikuti proses belajar mengajar di pelatihan.

Dedi Afrianto saat mengikuti pelatihan

Dedi Afrianto saat mengikuti pelatihan.

Bahkan, menurut Adhi, Dedi sangat aktif di kelas. “Dedi sering bertanya dan menanggapi lontaran pemateri,” ujar Adhi kepada VIVA.co.id, 17 Desember 2015.

Adhi mengaku sudah dua tahun mengenal Dedi. Ia pertama kali bertemu Dedi dalam forum pelatihan Pengusaha Tanpa Riba.

Menurut dia, dalam forum tersebut, Dedi juga cukup aktif dan dominan. Alih-alih membebani pemateri dan peserta yang lain, Dedi justru mampu menjadi cambuk untuk peserta lain yang notabene tak mengalami disabilitas.

“Saya salut dengan dia. Meski tunanetra tapi semangat belajarnya tinggi,”  pengusaha binatu ini menambahkan.

Karyawan Teladan

Suara adzan berkumandang dari masjid yang tak jauh dari lokasi pelatihan. Pemateri pun menutup sesi diskusi demi mendengar penanda salat dhuhur ini.

Dedi langsung meraih tongkatnya dan berdiri. Dengan sigap, salah seorang peserta pelatihan meraih tangan Dedi dan membimbingnya berjalan, menuruni tangga.

Ketukan tongkat Dedi terdengar, tiap kali ia menuruni anak tangga dari lantai tiga. Namun, ia tak tampak lelah atau terlihat payah. Sebaliknya, ia kerap tersenyum dan tertawa saat mendengar temannya bercanda.

Usai salat dan makan siang, Dedi kembali ke lantai tiga. Namun, ia tak masuk ruang pelatihan, melainkan menyelinap ke salah satu ruang di lantai yang sama.

Di sana sudah menunggu sejumlah orang yang duduk meriung di atas lantai. Raut wajah mereka terlihat serius.

Maklum, mereka sedang membicarakan rencana pengembangan bisnis PT Ummar. Dedi merupakan salah satu dewan pengawas syariah dan Human Resource Development (HRD) di perusahaan ini.

Chief Executive Officer (CEO) PT. Ummar, Putra Fajar (38), mengatakan, Dedi merupakan salah satu tulang punggung perusahaannya. Menurut dia, selain sebagai dewan pengawas syariah dan HRD, Dedi juga sering membantu lobi dan proses negosiasi, juga menyusun kontrak kerja sama.

“Dedi itu bagus kalau diminta berbicara dengan klien,” ujar Putra kepada VIVA.co.id, 16 Desember 2015.

Putra mengaku, ia sudah kenal lama dengan Dedi. Sebelum di PT Ummar, Dedi pernah membantunya di Pariwara, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang advertising dan periklanan.

Di perusahaan ini, Dedi pernah menduduki jabatan sebagai Manajer Divisi Bisnis yang membawahi HRD, Finance dan Bagian Umum. Putra mengatakan, posisi itu diberikan kepada Dedi karena ia menilai, kinerja bawahannya itu bagus dan di atas rata-rata.

“Saya pernah menaikkan gajinya dua kali lipat dalam waktu tiga bulan,” ujar ayah tiga anak ini.

Awalnya, Dedi diminta Putra untuk menjadi konselor HRD di Pariwara pada 2013. Karena kinerjanya dinilai bagus, Dedi naik jabatan menjadi  Asisten Manajer Divisi Bisnis pada 2014. Tak Berselang lama, Dedi pun ditunjuk menjadi Manajer Divisi Bisnis pada awal 2015. 

“Saya tidak pernah menganggap Dedi memiliki kekurangan. Bahkan, saya sering lupa kalau dia buta,” ujar Putra seraya tertawa.

Modal Nekat

Saat ditanya masa lalunya, mimik muka Dedi langsung berubah. Ia terdiam dan menghela nafas panjang. “Saya buta saat menginjak usia tiga puluh tahunan,” ujarnya mengawali perbincangan.

Dedi mengatakan, proses kebutaan yang ia alami terjadi secara perlahan. Awalnya, ia masih bisa melihat dengan bantuan kacamata.

Namun, lama kelamaan penglihatannya semakin menurun. Puncaknya, ia mengalami buta total di usia 35 tahun. “Menurut dokter, syaraf saya terganggu,” ujar Dedi.

Dedi langsung lunglai demi mengetahui vonis dokter. Saat itu, ia merasa hidupnya sudah berakhir. “Saya frustasi dan depresi. Saya merasa tak berguna,” ujar dia saat mengenang.

Kehidupan Dedi langsung berubah. Ia kehilangan pekerjaannya sebagai asisten dosen dan staf di kantor akuntan publik.

Tak hanya itu, perangai Dedi pun berubah. Ia menjadi sensitif, temperamental dan gampang marah.

Tak jarang, istrinya menjadi korban kemarahannya sehingga memicu pertengkaran. “Saya mengalami kondisi seperti itu hingga tiga tahun,” ujar suami Desmiati ini menambahkan.

Desmiati (41) pun membenarkan. Setelah mengalami kebutaan, suaminya memang berubah.

Menurut dia, Dedi menjadi pemarah dan temperamental. Tak hanya itu, Dedi juga jadi sensitif dan mudah tersinggung. Akibatnya, mereka sering terlibat cekcok dan pertengkaran.

“Padahal saya tidak pernah mempersoalkan kondisinya yang buta,” ujar Desmiati kepada VIVA.co.id, 17 Desember 2015.

Wanita yang akrab disapa Desi ini menambahkan, sejak buta Dedi memilih berdiam di rumah. Sementara, ia yang bekerja untuk menghidupi keluarga.

Kondisi itu membuat suaminya semakin merasa tak berguna. Hingga suatu ketika Dedi memutuskan pergi ke Jakarta, meninggalkan istri dan anaknya di Padang, Sumatera Barat.

Awalnya, Dedi ingin berobat di Jakarta. Ia pun menyambangi salah satu rumah sakit mata di Jakarta. Namun, ternyata hasilnya sama.

Dokter menyatakan, mata Dedi sudah tidak bisa disembuhkan. Putus asa, Dedi akhirnya bergabung ke pusat rehabilitasi tunanetra, Bina Netra.

Di tempat ini, Dedi menjadi warga binaan atau siswa. Ia menjalani status sebagai warga binaan di pusat rehabilitasi ini selama dua tahun.

Tahun ketiga, Dedi diangkat menjadi instruktur untuk pelajaran manajemen dan anatomi. Kemudian, pada tahun keempat ia diangkat menjadi karyawan honorer.

Selang enam bulan ia ditunjuk menjadi pramu sosial. Di tempat ini, semangat Dedi kembali bangkit.

Ia kemudian mencari beasiswa untuk melanjutkan studi ke jenjang S2. "Saya disupport kawan-kawan di Asia Work untuk mencari beasiswa," ujarnya.

Usaha dan kerja keras Dedi tak sia-sia. Salah satu kementerian akhirnya bersedia memberikan beasiswa untuk Dedi. Tak menunggu lama, ia langsung melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Widuri.

“Saya kuliah tahun 2012 dan selesai pada 2014,” ujar dia seraya bangga. Di tengah masa studinya itulah, Dedi bersua dengan Putra. Mereka bertemu di Asia Work, sebuah lembaga pelatihan. Putra kemudian mengajak Dedi bekerja di Pariwara.

Dedi mengatakan, ia hanya modal nekat saat memutuskan untuk kembali ke ‘dunia nyata’. Panti rehabilitasi menjadi cambuk buat dia untuk bangkit dan melawan keterbatasannya.

“Di panti banyak orang cacat yang harus diperjuangkan,” ujarnya. Ia mengatakan, ia tak mau penyandang disabilitas diperlakukan seperti ‘hewan ternak’ yang hanya diam di ‘kandang’ dan diberi makan.

Untuk itu, ia ingin membuktikan, bahwa penyandang disabilitas juga bisa berkarya dan berkontribusi seperti yang lain. Ia mengaku, tak mudah menjalani kehidupan sebagai tunanetra dengan fasilitas umum yang terbatas.

Aktifitasnya yang padat, membuat Dedi setiap hari harus mobile dan berpindah-pindah tempat. Pasalnya, selain mengurusi perusahaan dan ikut pelatihan, Dedi juga mengajar di salah satu perguruan tinggi swasta di Bogor. “Kesandung, kejedot, ketabrak orang mah sudah biasa,” ujarnya getir.

Dedi Afrianto, turun dari KRL

Dedi Afrianto saat turun dari KRL.

Dedi mengatakan, pemerintah memang belum memberikan fasilitas untuk penyandang disabilitas dengan baik. Namun menurut dia, difabel tak boleh menyerah.

Mereka harus terus berjuang. Selain itu, difabel juga jangan menutup diri dan harus berinteraksi dengan banyak orang. “Jangan malu berhubungan dengan orang,” ujarnya menyarankan.

Meski demikian, ia meminta, pemerintah segera menunaikan janjinya untuk memenuhi hak penyandang disabilitas, mulai dari soal pendidikan, transportasi publik hingga lapangan pekerjaan. Pemerintah harus berhenti menganggap difabel sebagai objek dalam mata anggaran. “Orang cacat memang punya hak atas APBN.”

Hari beranjak sore. Namun, gerimis yang turun sejak siang masih membasahi Kota Hujan ini.

Dedi dan Putra terlihat berkemas dan beranjak dari kursi mereka. Putra langsung meraih tangan Dedi dan membimbing rekan kerja sekaligus kawannya tersebut ke mobil. Sore itu, mereka akan bergeser ke Jakarta.

“Ada meeting dengan klien,” ujar Dedi sembari masuk ke mobil yang sudah menunggu dia. (ren)
 
  

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya