SOROT 464

Menangguk Untung dari Kebohongan

Jurnalis deklarasi ANTI-HOAX di Bengkulu
Sumber :
  • ANTARA FOTO/David Muharmansyah

VIVA.co.id – Perempuan itu berdiri tegak. Mengenakan kerudung putih bermotif hitam dan masker menutup setengah wajah, ia berdiri sejajar dengan dua lelaki dengan penutup wajah yang sama. Ketiganya menggunakan baju oranye, seragam khas tahanan di Bareskrim Mabes Polri.

Andi Gani Dorong Markas Brigade KSPSI Jadi Garda Terdepan Perjuangkan Hak Buruh

Perempuan itu adalah Sri Rahayu. Sementara nama dua pria di sebelahnya adalah Jasriadi dan Faisal. Sri Rahayu menggunakan seragam tahanan nomor 05. Sementara Jasriadi nomor 10 dan Faisal nomor 18. Mereka menjadi tersangka ujaran kebencian lewat pengelolaan jasa penciptaan konten di dunia maya, dengan nama organisasi Saracen. Polisi menuding, organisasi ini mengelola lebih dari 800 ribu akun media sosial

Sri, Faisal maupun Jasriadi merasa tidak bersalah dalam kasus ini. Alasannya, mereka hanya menuangkan pikiran dan pendapat di media sosial. Sri mengaku tahu Saracen. Namun, ia tidak pernah bergabung dengan kelompok tersebut, apalagi menjabat sebagai Koordinator Saracen Wilayah Jawa Barat. Sementara, Jasriadi, sang ketua membantah dirinya menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian.

Kemenkominfo Menggelar Nobar Webinar "Mengenal Literasi Digital Sejak Dini"

“Saya justru memerangi hoaks. Tahun 2015 banyak postingan hoaks atau porno, saya yang menggagalkan. Tidak benar juga dikatakan saya menyebarkan dengan menggunakan 800.000 akun. Itu saya dapatkan dari akun Vietnam yang pernah menyebarkan hoaks. Saya juga tidak terima orderan untuk menyebarkan hoaks dan dibayar. Itu sama sekali tidak benar,” ujar Jasriadi dalam acara Indonesia Lawyers Club di stasiun televisi tvOne, 29 Agustus 2017.

Ruang komputer hacker

Ketua DPD PSI Jakbar Mundur, DPW PSI Jakarta: Kami Tidak Mentolerir Kekerasan Seksual

Buzzer menjadi partner kelompok Saracen. (REUTERS/Siegfried Modola)

Tidak ada penjahat yang mau mengaku dirinya penjahat, demikian kata orang. Buzzer-buzzer di media sosial, yang kerap dibayar untuk menulis status memuji atau menjatuhkan sebuah produk, juga menolak dianggap sebagai penjahat yang melakukan berbagai cara untuk menggiring opini publik. Jonru Ginting, yang selama ini dianggap sebagai ‘raja hoaks’ pun tak mau dianggap seperti itu, apalagi dikaitkan dengan jaringan Saracen. [Baca juga: Saracen, dari Perang Salib ke Bisnis]

“Ya, kalau mereka nuduh, tunjukan buktinya, gitu saja... mau dibilang sindikat yaa tunjukin saja buktinya, kalau saya tidak melakukan itu apa yang saya takutkan, udah itu aja. Saya tidak mengerti (Saracen). Informasi yang saya terima simpang siur. Ada yang bilang memang ini penebar kebencian, ada yang bilang mereka ini memang membela kebenaran. Jadi macam - macam info yang saya terima. Jadi saya juga bingung. Kalau menurut saya itu, (kerja Saracen) kampungan sih. Kan dosa juga menyebarkan kebohongan, memfitnah. Kampungan lah menurut saya,” ujar Jonru kepada VIVA.co.id. [Lihat infografik: Alur Bisnis Hoax]

Selanjutnya, sisi gelap content marketing..

Sisi Gelap Content Marketing

Baik Jonru, Sri Rahayu maupun Jasriadi boleh saja membantah dirinya terlibat dalam bisnis pembuatan konten hoaks. Namun sejatinya buzzer semacam Sri Rahayu dan Jasriadi, maupun Jonru marak dan dipercaya mampu menghasilkan banyak uang. Ini terjadi sejak media sosial mulai dipercaya sebagai jalur promosi yang efisien dan mengena ketimbang iklan banner. Dunia menyebutnya sebagai bagian dari content marketing (pemasaran konten).

“Iya, tidak dipungkiri itu (bisnis fakenews) memang bagian dari bisnis content marketing. Itu merupakan sisi gelapnya. Semua hal di dunia ini punya dua sisi, kadang hal yang baik bisa juga digunakan untuk sesuatu yang buruk. Tapi sesuatu yang ilegal harusnya dianggap sebagai ilegal. Content marketing itu segalanya tentang mengubah pandangan kita, mengubah kebiasaan, bermain dengan psikologi seseorang. Jika kita terpengaruh pada sebuah pesan dari konten tersebut, maka diharapkan kita akan berubah,” ujar ahli digital marketing, John Kerr kepada VIVA.co.id.

Menurut dia, di Indonesia, rata-rata orang sangat terbuka dan menerima konten apa saja. Bahkan terkadang mereka memperkuat konten tersebut dengan apa yang sudah mereka yakini. “Jadi tidak selamanya salah konten tapi justru karena terkadang kita ingin mempercayai konten itu. Terkadang, berita hoaks dianggap bukan hoaks bagi sebagian orang,” ujarnya menambahkan.

Pria yang menjabat sebagai Global Chief Digital Officer, Managing Director of Asia-Pacific Zeno Group, yang merupakan salah satu agensi PR terbesar di dunia itu, mengaku pernah berupaya untuk masuk ke dalam sebuah komunitas untuk mengklarifikasi berita hoaks. Namun ia gagal. Pasalnya, komunitas itu tetap kukuh mempercayai berita hoaks tersebut.

Ia mengatakan, hal ini menjadi bukti jika hoaks digunakan oleh banyak orang untuk bisa mendukung pemikiran atau kepercayaan mereka yang sebenarnya tak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Sayangnya, Kerr tidak memberikan data valuasi bisnis hoaks di Indonesia maupun dunia.

Sebagai pegiat media sosial, Jonru mengakui jika dirinya pernah dibayar sekitar Rp2 juta untuk satu status di medsos, baik untuk akun Facebooknya yang berjumlah 1,4 juta followers maupun Twitter-nya yang berjumlah 90 ribu followers. Untuk jaringan produsen hoaks besar seperti Saracen, pihak Kepolisian menyebut satu proposal kampanye bisa bernilai ratusan juta. Sekitar Rp15 juta untuk sang ketua, dan 15 buzzer dibayar satu juta masing-masing untuk satu kampanye. Belum lagi pembuatan website dan lainnya.

statistik komputer - bahasa pemprograma

Bisnis menyebar kebencian sangat rapi laiknya sebuah perusahaan. (Courtesy of the Flatiron School/Handout via REUTERS)

Seperti halnya prinsip ekonomi, sebuah bisnis dianggap potensial dan menjanjikan jika ada pasar, ada demand dan suplai. Mengubah paradigma atau pandangan seseorang terhadap suatu hal tidak hanya mencakup produk jualan tapi juga pada pilihan politik dan kepercayaan seseorang. Pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, Ade Armando mengatakan, produsen hoaks seperti Saracen memiliki banyak agenda, tidak hanya politik tapi ekonomi.

“Agenda ekonominya adalah mendapatkan uang, itu jelas. Mereka (Saracen) ini adalah pabrik. Produk yang dihasilkan adalah berita hoaks, ujaran kebencian dan fitnah. Sarana jualannya, ya media sosial. Dalam hal politik, tujuan mereka adalah menjatuhkan lawan, bermain di isu SARA, agama. Media sosial ini efektif sekali untuk propaganda, ISIS aja mendapatkan simpati dari medsos,” ujarnya.

Namun bagi Jonru, bisnis seperti ini tidak hanya bertema politik. Pengalaman pertamanya membuktikan jika perusahaan juga ada yang membutuhkan jasa buzzer atau blogger untuk melakukan review produk, memuji produk mereka agar membuat pembaca tertarik membeli.

Selanjutnya, lemahnya penegakan hukum..

Penegakan Hukum Lemah

Faisal, salah satu tersangka mengatakan, Saracen berdiri sejak 2015. Menurut dia, organisasi itu berdiri guna menangkal isu yang disebar Jokowi Advanced Social Media Volunteers (Jasmev). Jasmev adalah pasukan buzzer di dunia maya yang terkenal membela Ahok dan Jokowi saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa tahun lalu. Mereka berhasil menggiring opini publik dan berhasil membuat pasangan itu memenangkan pemilihan gubernur DKI Jakarta. 

“Yang jadi masalah bukan soal ekonomi saja tapi juga sosial. Bagi mereka (Saracen) ini kerjaan mereka. Tapi kok kerjaan bikin rusuh, membuat informasi palsu, mengambil alih akun orang, di-blast ke masyarakat dan membuat mereka percaya. Ini yang harus diusut adalah, siapa pemesannya,” ujar Communication & Information System Security Research Centre (CISSReC), Pratama Persada kepada VIVA.co.id.

Pratama yakin, selain Saracen masih banyak produsen hoaks yang lebih besar. Pasalnya, konsep kejahatan siber itu selalu berbentuk gunung es. Jika satu sudah ketahuan maka di masih ada ribuan sampai ratusan ribu yang sebenarnya masih aktif dan merajalela.

Menurut Pratama, maraknya hoaks membuktikan jika Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tak mampu menangkal hoaks dan ujaran kebencian. Buktinya masih saja ada kejahatan yang berujung pada pencemaran nama baik orang lain. Hal ini karena masih ‘lembek’ dan tumpulnya penegakan hukum dan implementasi UU ITE bagi penjahat siber.

“Ketika orang berpikir melakukan kejahatan di dunia maya itu bukan merupakan pelanggaran hukum yang berat, akhirnya orang akan merasa santai berbuat negatif di dunia maya, paling nanti dibebaskan. Lihat Ahmad Dhani. Awalnya mau polisikan haters. Tahunya damai, atas nama pencitraan. Lalu ada Haikal, curi uang miliaran malah mau direkrut polisi. 130 pengguna internet, 10 persennya saja yang enggak peduli, apa nggak penuh konten internet ini dengan hal negatif. Ini harus dipikirkan,” ujarnya menambahkan.

Kementerian Informasi dan Informatika mengakui, jika hoaks dan ujaran kebencian belum bisa ditekan secara signifikan. "Kita mengapresiasi bahwa polisi sudah bisa mengungkap salah satu kelompok pelaku industri ujaran kebencian. Kenapa saya katakan industri? Karena memang sudah mulai masif, yang pasti saat ini ditengarai karena motif ekonomi. Kelompok ini, dalam melakukan motifnya, mereka tidak peduli terhadap dampaknya yang bisa menghancurkan keutuhan bangsa, yang bisa mengadu domba di antara komponen bangsa," ujar Dirjen Aptika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan.

Pria yang akrab disapa Semmy ini menjelaskan, total laporan masyarakat yang masuk di website aduan Kominfo dari bulan Januari sampai Juli 2017 yaitu 32.465, sebagian besar sudah ditindak lanjuti. Khusus untuk konten SARA, ujaran kebencian dan hoaks, pada bulan Januari ada 10.212. Lalu ada penurunan di bulan Februari, jumlahnya 2.308. Di Maret turun lagi, hanya ada 6.702 tapi Mei dan Juni naik lagi. 

"Mei itu mencapai 1.600-an. Kalau kita lihat laporan masyarakat yang begitu antusias, berarti masyarakat sudah jenuh dan muak, mereka ingin berpartisipasi memberantas konten hoaks di internet.”

Selanjutnya, cara mencegah hoaks..

Literasi dan Blockchain

Meski tak semua angka itu berasal dari kerja Saracen, namun Semmy menganggap jumlah itu sudah cukup mewakili Kominfo untuk bisa melakukan langkah guna memberantas saracen-saracen yang lain.

"Nanti kalau polisi sudah selesai, untuk menangkal hoaks, ada dua hal yang kita lakukan. Pertama, kita melakukan literasi di masyarakat. Kedua, kita melakukan penapisan. Apa aja sih yang kita lakukan penapisan? Salah satunya konten bersifat radikal, hoaks yang meresahkan masyarakat dan juga merusak ketertiban umum. Satu lagi, konten terorisme, ujaran-ujaran kebencian yang mengadu domba, itu kita lakukan penapisan di sisi hulu," katanya.

Bagi Pratama, salah satu cara untuk bisa mencegah Saracen lainnya muncul adalah dengan mengedukasi pengguna internet (literasi digital). Apalagi tidak adanya pendidikan khusus di Indonesia untuk mengajarkan warga bagaimana berperilaku di dunia maya. Padahal, pendidikan teknologi informasi yang pernah diterapkan dulu sudah dianggap cukup memberikan pendidikan tersebut. Sayangnya, Mendiknas mencabutnya dan tak lagi diimplementasikan di sekolah. Selain itu, sudah saatnya pemerintah menggunakan produk lokal. Misalnya mulai membangun aplikasi lokal untuk bisa menjadi alternatif aplikasi luar.

Kerr mengusulkan hal yang sama, literasi digital, agar selalu mengecek kebenaran berita, tidak asal memforward berita yang tidak jelas. Apalagi yang beredar di Facebook dan platform pesan instan.

Tidak dipungkiri jika media sosial merupakan lahan yang cukup berpotensi besar untuk menggiring opini publik. Saracen pun menggunakan media sosial seperti Facebook dan pesan instant untuk bisa memviralkan konten hoaks buatan mereka. Facebook dan pesan instan memang platform favorit yang digunakan oleh para pegiat content marketing. Facebook dianggap memiliki semua alat promosi yang dibutuhkan untuk membuat sebuah produk terkenal. Di Facebook ada ‘pasar’ yang bisa diraih, punya data analitik, dan tentunya ada respons real time yang diberikan oleh pengguna.

“Facebook memang punya segalanya yang dibutuhkan oleh seorang pemasar/pengiklan. Sedangkan platform pesan instan punya sistem yang tidak bisa dilacak. Bagi dunia marketing ada yang namanya dark social account dan itu ada di hampir semua pesan instan. Meski mampu memberikan trafik yang cukup besar untuk kampanye promosi tapi kita tidak bisa melacaknya,” ujar Kerr.

aplikasi WhatsApp.

Aplikasi pesan Whatsapp menjadi platform penyumbang sebaran ujaran kebencian. (U-Report)

Menurut Kerr, sekitar 75 persen trafik sebuah kampanye promosi tidak bisa dilacak karena berasal dari dark social account. Padahal angka itu berpotensi untuk bisa dimonetisasi, baik karena dibagikan maupun menghasilkan klik. Untuk share, 12 persen trafik share berasal dari Facebook dan hanya 4 persen dari Twitter. Sisanya, 77 persen tidak bisa dipantau alias dark social account. Sedangkan konten yang diklik dari Facebook hanya 16 persen dan 4 persen dari Twitter. 75 Persen adalah dark social. Platform paling banyak penyumbang dark social account adalah WhatsApp sekitar 81 persen, BBM 67 persen, Line 57 persen dan Facebook Messenger sekitar 27 persen.

Kerr juga membocorkan adanya teknologi yang bisa digunakan di masa depan untuk bisa menghalau hoaks di dunia maya. Namanya teknologi Blockchain yang kerap digunakan untuk memantau transaksi bitcoin.

CEO of Bitcoin Indonesia, Oscar Darmawan mengatakan, di blockchain, setiap orang dapat menjadi bagian dari server. Dari setiap server tersebut saling interkoneksi dan memiliki database yang saling mereplikasi. Kemudian, user menjadi bagian dari jaringan protokol tersebut dengan memiliki satu akun yang terdiri dari sepasang public key - private key. Public key terdata di blockchain dan private key menjadi bukti kepemilikan account tersebut.

Setiap transaksi atau data akan berjalan antar kedua public key dengan otorisasi dari private key si pengirim dan terekam ke dalam jaringan blockchain, sehingga setiap pemilik server akan memiliki datanya dan tidak bisa dihapus oleh siapapun. Dengan ini, transaksi menjadi tidak bisa dipalsukan, hanya pemilik akun yang bisa menandatangani dan transparan. 

“Perwujudan blockchain luas, selain perbankan atau finansial teknologi, bisa juga di kesehatan, logistik, maupun sertifikasi. Kalau berhubungan dengan menangkal berita hoaks, ya, secara konseptual sebenarnya memungkinkan tapi mungkin pengaplikasiannya akan  cukup kompleks.

Menurut Oscar, salah satu kelebihan blockchain adalah memungkinkan beberapa lembaga saling berkerjasama tanpa salah satu menjadi pemilik tunggal  atau pengontrol data. Dengan begitu, apabila setiap perusahaan media terhubung dalam satu jaringan protokol blockchain yang sama dan user, saat meninggalkan komentar maupun menerbitkan artikel, akan ditandatangani oleh private key, maka setiap konten yang diterbitkan akan dapat diverifikasi siapa yang bertanggung jawab atas konten tersebut sehingga tidak bisa dibantah yang bersangkutan, dan tidak bisa dihapus.

“Intinya sebenarnya diterapkan untuk transparansi dan audit siapa yang bertanggung jawab atas konten di publik tersebut,” ujar Oscar.

Di luar negeri, blockchain telah banyak digunakan untuk perbankan. Di Indonesia belum ada yang memakainya meski kabarnya ada beberapa bank nasional yang tinggal menunggu regulasi dari Bank Indonesia.

Sayangnya, untuk Indonesia, menurut Oscar, memang belum ada niat untuk menggunakan blockchain dalam mengidentifikasi hoaks. Namun Oscar yakin, pemerintahan sekarang sangat terbuka dengan teknologi sehingga kemungkinan untuk mengimplementasikan blockchain cukup besar. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya