Syahrul Hidayat

Mesir Baru dan Ikhwanul Muslimin

Bentrokan demonstran dan polisi Mesir di Kairo
Sumber :
  • AP Photo/Ben Curtis

VIVAnews-Hosni Mubarak mundur, dan gelora menuju era baru di Mesir membuncah. Ruang politik diprediksikan kian terbuka. Setelah tiga dekade, suara rakyat akan menjadi faktor signifikan di negeri piramid itu. Para kandidat pengganti Mubarak akan muncul, termasuk dari mereka yang tersisihkan di masa rezim diktator berkuasa.

Dikira Tewas oleh Israel, Komandan Al Quds Abu Shujaa Tiba-tiba Muncul di Pemakaman

Ikhwanul Muslimin, gerakan politik Islam yang kerap dicurigai oleh Barat, disebut-sebut berpeluang besar tampil di panggung politik Mesir baru. Tapi, ironisnya, di tengah ramainya perbincangan kandidat presiden, belum satu pun kandidat dari Ikhwanul Muslimin tampil. Padahal organisasi itu dianggap paling memiliki kekuatan, dan jaringan solid di Mesir. Mudah bagi mereka menjelma sebagai mesin politik calon, atau partai tertentu.

Perwakilan Ikhwan, seperti dikutip Reuters, dengan tegas menyatakan tak akan mencalonkan diri, dan merebut kekuasaan dalam demokrasi. Mereka juga tak mau menjadi kekuatan mayoritas. ‘Tugas kami adalah melayani masyarakat,’ demikian alasan yang diajukan.

KPK Ungkap Background Pejabat Pemilik Aset Kripto Miliaran

Sikap ini tentu menjadi tanda tanya, mengingat potensi politik Ikhwan telah lama menjadi perbincangan para pengamat dan negara asing. Kenyataan Ikhwan tak mau maju di pentas demokrasi itu agak kontradiktif. Apalagi ketika oposisi pada pemilihan anggota parlemen November 2010 lalu memboikot sejak putaran pertama, sementara para calon independen Ikhwan justru tetap maju. Baru pada saat terbukti rejim curang, mereka mengikuti jejak oposisi lainnya memboikot pemilu itu.

Politik partisipasi

Kejuaraan Golf Internasional, Pj Gubernur Sumut Optimis Jadi Ajang Pembinaan Atlet

Ikhwan sudah sering berpartisipasi dalam politik Mesir sejak pertengahan 1980an. Mereka kerap bermain aman, bahkan tanpa memobilisasi demonstrasi ketika dicurangi dalam pemilu. Politik aman dari Ikhwan ini diyakini sebagai strategi mengurangi represifitas rejim. Selain itu Ikhwan tampaknya lebih memikirkan target jangka panjang, memenangkan pemilu ketika keterbukaan politik sudah tercapai.

Itu sebabnya Ikhwan tak menjadi kekuatan utama dalam revolusi. Peran Ikhwan lebih pada mendukung revolusi, dan ikut dalam koalisi oposisi, serta menyerahkan proses negosiasi diwakili para tokoh sekuler peraih nobel, El Baradei. Ini menegaskan Ikhwan telah memiliki tradisi koalisi cukup panjang dengan partai atau kelompok oposisi lainnya seperti Wafd di tahun 1984, partai sosialis di tahun 1987, dan terakhir NAC (asosiasi nasional untuk perubahan) setahun belakangan.

Politik partisipasi itu dilakukan setelah Ikhwan melepas sayap militer pada 1970an.  Mereka mencatat sejarah panjang represi brutal dari Nasser dan Sadat terhadap para tokoh dan anggota-anggotanya.

Kecenderungan Ikhwan yang partisipatif terhadap demokrasi ini sekaligus menepis dugaan revolusi di Mesir ini akan mengarah kepada dominasi ideologi tertentu. dan meminggirkan kelompok-kelompok lain seperti halnya yang terjadi di Iran, karena Ikhwan memang tidak memiliki karakter dan prasyarat yang cukup untuk melakukan itu.

Partisipasi politik yang relatif konstan, dan politik non-kekerasan menghadapi rejim yang represif menghasilkan citra positif bagi Ikhwan di mata diplomat dan pengamat asing. Prestasi tertinggi Ikhwan diraih pada pemilu 2005, ketika calon independen mereka menyabet 88 kursi. Ikhwan  pun menjadi kekuatan oposisi terbesar di parlemen. Kerja para anggota parlemen Ikhwan yang terpilih itu memang luar biasa, dengan tingkat kehadiran tinggi. Mereka juga berupaya keras memainkan fungsi legislasi yang handal, dalam upaya membendung dominasi anggota-anggota NDP di parlemen.

Tapi ada bahaya lain dari “politik kehati-hatian” itu. Sikap itu bisa membuat Ikhwan dituding tak sepenuh hati melakukan reformasi politik, terutama di kalangan oposisi. Sementara kader muda Ikhwan tak sabar dengan strategi politik  itu, dan membangun partai sendiri, Wasath, walau akhirnya relatif mati suri karena sulitnya mendapat ijin dari rejim.

Berhati-hati

Meski punya daya tahan tinggi atas tekanan brutal rejim, Ikhwan sadar penggunaan kekerasan adalah langkah mundur bagi masa depan mereka. Peristiwa pembantaian gerakan Ikhwan di Hama, Syria pada 1982 punya pengaruh betapa sulitnya membangun kembali kepercayaan, tidak hanya elit politik tetapi juga masyarakat kebanyakan.

Di tengah perubahan demokratis saat ini, yang dibutuhkan adalah pembuktian lain bahwa mereka juga bukan ancaman terhadap Barat. Posisi ini tak berarti Ikhwan takut akan tekanan Barat, tapi mereka merasa keterlibatan politik pada phase awal demokratisasi bisa kontra produktif, karena resistensi banyak pihak.

Pilihan politik itu sebenarnya sudah bisa diduga, melihat pemilihan pimpinan Ikhwan baru lalu. Setelah melalui proses lebih sulit dari biasanya, pilihan dijatuhkan kepada Muhammad Badie, tokoh yang dinilai lebih konservatif, dalam arti lebih suka mendorong penataan internal.

Salah satu praktik “politik hati-hati” itu, Ikhwan tidak menunjukkan peran terlalu kelihatan dalam revolusi yang baru usai. Mereka hanya membantu mengamankan demonstrasi dengan mengorganisir pemeriksaan demonstran yang akan datang ke Tahrir Square. Mereka kerap beretorika soal ketidakmauan memanfaatkan momen revolusi untuk kepentingan gerakan.

Logika politik ini membuat Ikhwan tidak serta merta menerapkan gagasan politik mereka tanpa memperhitungkan kecenderungan rakyat. Termasuk cara mereka memperlakukan perjanjian damai dengan Israel. Walaupun secara prinsip Ikhwan menentang Israel di wilayah Palestina, ‘perlawanan’ Ikhwan itu akan dilakukan lewat mekanisme prosedural.

Ikhwan menyatakan referendum menjadi pilihan terbaik menguji gagasan mereka jika rakyat mendukung mereka masuk dalam politik. Dengan itu, logika demokrasi menjadi basis bagi titik temu antara gagasan dasar, dengan kewaspadaan atas tekanan dari kekuatan anti-Ikhwan.

Posisi politik Ikhwan itu tentulah bukan sikap statis. Ikhwan punya fleksibilitas atas situasi politik. Tak tertutup kemungkinan jika situasi lebih memungkinkan, dan resistensi terhadap mereka sudah berkurang, mereka akan maju sebagai kandidat presiden atau berupaya meraih suara mayoritas di parlemen.

Jika kaum elit politisi sipil gagal memimpin pemerintahan di masa transisi, Ikhwan bisa menjadi alternatif, dan mendapatkan momentum lebih besar mendapat dukungan rakyat.

Syahrul Hidayat, adalah pengajar Ilmu Politik FISIP UI, dan kandidat Doktor di Institute of Arab and Islamic Studies, Universitas Exeter, Inggris.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya