Wawancara Ketua KPU DKI Jakarta, Sumarno

Jangan Tiru Model Kampanye di Amerika

Ketua KPU DKI Jakarta Soemarno
Sumber :
  • VIVA.co.id / Irwandi

VIVA.co.id – Proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 terus bergulir. Berbagai tahapan telah dilalui. Di antaranya sosialisasi, pendaftaran bakal calon hingga penetapan calon. Terdapat tiga pasangan calon yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta.

KPUD DKI Tetapkan Hasil Pileg 2019, PDIP Raih Kursi Terbanyak

Tiga pasangan tersebut yaitu pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) -Djarot Saiful Hidayat,  Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Pada 25 Oktober 2016, dalam pengundian nomor urut, pasangan Agus-Sylviana mendapat nomor urut 1, Ahok-Djarot nomor urut 2, Anies-Sandiaga nomor urut 3. 

Kini, tiga pasangan tengah menjalani kampanye. KPU Provinsi DKI sebagai penyelenggara pemilihan bertugas untuk menyiapkan berbagai alat peraga kampanye, dalam jumlah tertentu, bagi para calon. 

KPU DKI Jawab Laporan BPN-DPD Gerindra soal DPT, Berikut Lengkapnya

Tugas KPU DKI tak berhenti di sana. Masih ada sejumlah tahapan lainnya yang mesti dijalani, seperti penetapan daftar pemilih tetap (DPT), menggelar pemungutan suara, merekapitulasi perolehan suara. Dalam pelaksanaan berbagai tahapan itu dikhawatirkan muncul berbagai persoalan. Lantas bagaimana antisipasi KPU terhadap masalah yang kemungkinan menghadang?

Ketua KPU Provinsi DKI Jakarta, Sumarno, menjelaskan langkah-langkahnya kepada Aries Setiawan, Lis Yuliawati dan Rifki Arsilan dari VIVA.co.id di ruang kerjanya akhir Oktober 2016. Berikut ini petikan wawancaranya:

SBY Sebut Kultur Politik Tanah Air Berubah Sejak Pilkada DKI 2017

Saat ini sudah memasuki masa kampanye Pilkada DKI, bagaimana Anda melihat kampanye yang dilakukan masing-masing pasangan calon sejauh ini?

Sejauh ini, alhamdulillah belum ada kampanye  di luar ketentuan yang sudah digariskan oleh KPU. Jadi mereka masih sesuai dengan koridor yang ada . Jauh-jauh hari sebelum kampanye dimulai, KPU sudah berkordinasi dengan tim kampanye dari masing-masing pasangan calon.

Masyarakat juga harus memahami kalau ada hal seperti saling sindir dan lainnya, memang ini adalah tahun-tahun politik. Jadi kami ingin membiasakan kepada masyarakat juga ojo gumunan, jangan cepat kaget dengan informasi-informasi yang terkait dengan itu. 

Di sisi lain, calon-calon juga harus menunjukan bahwa kampanye itu adalah pendidikan politik untuk masyarakat. Jadi yang namanya pendidikan itu harus menampilkan apa yang ada untuk mengajak masyarakat tidak mengkampanyekan hal-hal yang negatif seperti isu SARA dan fitnah.

Kita jangan mencontoh model-model kampanye di Amerika. Mungkin kita mencontoh demokrasi di Amerika, tapi tidak model kampanyenya. Menurut saya, kita lebih bagus dari Amerika. Jadi keunggulan-keunggulan program yang harus dikampanyekan.

Bagaimana dengan pemasangan alat peraga kampanye. Seperti apa  yang dibolehkan?

Tentang alat peraga kampanye memang sudah diatur. Pengadaan alat peraga seperti baliho difasilitasi KPU. Setiap kota lima buah per calon. Jadi kalau calonnya ada tiga berarti 15 buah baliho yang difasilitasi KPU.
Kalau umbul-umbul, setiap kecamatan 20 buah per pasangan calon. Kemudian, spanduk itu dua buah per kelurahan. Ada 3 calon berarti ada 6 spanduk per kelurahan, dikalikan total kelurahan di Jakarta 267 kelurahan. Mereka juga bisa menambah kekurangan alat peraga sebanyak 150 persen dari yang diadakan KPU. 

KPU juga memfasilitasi biaya iklan pasangan calon melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Kami hanya membuat rambu-rambu saja. Kami beri durasinya sekian detik itu sama tapi isinya mereka yang menentukannya.

KPU juga memfasilitasi debat terbuka, ada tiga kali di putaran pertama. Nanti kalau ada putaran kedua, ada satu kali debat terbuka lagi. 

Berapa budget untuk iklan di media massa?

Kalau budget saya tidak hafal. Memang biayanya cukup besar. Anggaran kami kan Rp478 miliar dan sebagian besar itu digunakan untuk meng-cover biaya kampanye itu. 

Dulu 2012, anggaran kami hanya sekitar Rp258 miliar dengan 6 pasang calon, sekarang lebih besar lagi anggaran Rp478 miliar untuk meng-cover 3 pasang calon. Anggaran yang besar itu diiklan dan alat peraga kampanye. Kalau dulu kan mereka sendiri, sekarang kami atur untuk iklan di media massa dan alat peraga kampanye. 

Bagaimana mengontrol agar alat peraga kampanye calon tidak melebihi ketentuan KPU?

Mereka harus mendaftarkan berapa banyak alat peraga yang mau ditambahkan. Titik-titik lokasi yang mau mereka pasang juga harus dilaporkan ke KPU sehingga tidak ada pemasangan alat peraga kampanye secara liar. 

Memang sudah pasti 1001 akal tim sukses akan melakukan pemasangan di luar yang mereka laporkan ke kami. Kalau memang ditemukan hal seperti itu, nanti Bawaslu akan menyurati calon untuk menertibkan. Kalau tidak ditertibkan juga nanti Bawaslu akan melakukan kordinasi dengan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) untuk mencabut alat peraga yang dipasang tidak sesuai ketentuan. 

Bagaimana KPU menyikapi jika ada pasangan calon yang tak melaporkan tim relawannya?

Kalau memang ada relawan yang tidak atau belum didaftarkan, kami membuat ketentuan agar dilaporkan ke KPU minimal satu hari sebelum pelaksanaan kegiatan kampanye.  Kalau nanti ada yang di luar itu melakukan kegiatan di luar yang dilaporkan, kami  akan meminta pertanggungjawaban kepada tim kampanye atau tim relawan itu. 

Apalagi kalau terjadi bagi-bagi uang dalam kegiatan kampanye karena politik uang ini kan pelanggaran yang sangat serius sekali. Kalau nanti benar-benar terbukti dan pengadilan sudah menyatakan benar bahwa calon itu melakukan politik uang kan itu juga bisa menganulir pencalonan mereka. Jadi itu berat sebenarnya buat mereka.

Kampanye Hitam

Bagaimana sikap KPU untuk mengantisipasi kampanye hitam?
Gunanya calon mendaftarkan tim pemenang, relawan, akun media sosial ke KPU itu kan sebenarnya salah satu cara untuk mengantisipasi terhadap aktivitas kampanye yang dikatakan haram tadi, termasuk black campaign.
Kalau itu masih dilakukan di luar mereka yang sudah didaftarkan, itu tentu Bawaslu bersama aparat kepolisian akan bekerja sama untuk menindak itu. Misalnya, ada yang melakukan kampanye hitam melalui medsos (media sosial), kepolisian akan menyelidiki itu dengan unit cybercrime–nya. 

Kadang-kadang, calonnya sudah sepakat akan menjalankan peraturan KPU. Timnya juga sudah sepakat tapi para simpatisan habis-habisan mem-bully calon-calon tertentu. Jadi memang harus kesadaran banyak pihak untuk menjaga situasi kampanye dengan baik. 

Jika relawan-relawan tersebut melanggar, apakah pasangan calon bisa dikenakan sanksi?

Kalau yang melakukan bukan tim yang resmi atau terdaftar di KPU memang tidak bisa kami berikan sanksi. Kami minta tim resmi untuk mendaftar itu kan untuk mengontrol juga sebenarnya. Mereka (di luar tim pemenangan resmi) melakukan hal seperti itu, yang bersangkutan bisa kena sama kepolisian. Jadi memang itu bukan menjadi ranah penyelenggara pemilu tapi sudah masuk sebagai tindak pidana umum dan menjadi ranah kepolisian. 

KPU sempat dipersoalkan dengan masalah komputer hibah dari salah satu perusahaan. Bagaimana Anda menanggapi hal itu?

Kasus itu memang sempat ramai. Kami dibilang menerima 400 unit komputer dari Sampoerna. Saya benar-benar merasa menjadi korban. Padahal seluruh komisioner dan staf di KPU saja hanya 180 orang, kalau dibilang kami menerima 400 komputer itu berarti satu orang dapat dua komputer dong. Itu kan aneh juga, mentang-mentang kami dekat kampus, emang kami mau bikin rental. (Sumarno mengatakan hal itu seraya tertawa).

Fasilitas tersebut saat ini sudah dikembalikan, apakah sudah ada penggantinya?

Masing-masing teman komisioner sebenarnya punya laptop. Saya misalnya, kemarin-kemarin juga pakai laptop pribadi, tidak menggunakan yang dihibahkan itu. 

Jadi sebenarnya kami punya laptop pribadi. Cuma memang kemarin kami minta tambahan dan diberikan. Jadi memang begitu lah, selama kampanye pasti akan ada saja isu-isu seperti itu. 

Ketua KPUD DKI Jakarta Sumarno (kiri) dan maskot Pilkada DKI 2017.

Sejauh ini apakah Anda mendapatkan teror atau ancaman ?

Kalau sekarang sih belum ya. Kalau dulu waktu zaman Pileg (pemilihan legislatif) saya itu pernah mengalami difitnah. Waktu itu, ada yang menelepon saya salah satu caleg (calon legislatif). Caleg itu  bilang kalau dia ditelepon oleh seseorang yang mengatasnamakan ajudan saya. Orang itu minta uang kepada caleg itu dengan alasan untuk mengawal suara di pileg dan memastikan akan jadi anggota legislatif.  

Pas ketemu sama saya, orang itu menanyakan. Saya tidak pernah seperti itu. Akhirnya ketahuan kan ada orang yang menipu menggunakan nama saya. Kalau yang sekarang ini, alhamdulillah belum ada kasus-kasus seperti itu.

Setiap pemilu muncul masalah Daftar Pemilihan Tetap (DPT). Sejauh ini bagaimana persiapan DPT untuk Pilkada DKI Jakarta?

Salah satu yang menjadi perhatian dari kami adalah masalah DPT. Karena memang, dari pemilu ke pemilu DPT selalu menjadi persoalan. DPT ini memang terkait erat dengan masalah kependudukan. Masalah kependudukan di DKI Jakarta itu sangat kompleks sekali. Migrasi dari satu tempat ke tempat yang lain di Jakarta ini sangat tinggi sekali oleh karena itu kami terus melakukan koordinasi dengan banyak pihak. 

Misalnya, para penghuni apartemen. Di Jakarta ini ada ratusan apartemen dan ada puluhan bahkan ratusan orang yang tinggal di apartemen di Jakarta itu. Tidak semua apartemen bisa diakses oleh petugas kami untuk pendataan pemilih tapi pas giliran pemilihan mereka minta didata untuk menggunakan hak pilihnya. 

Sementara surat suara kan terbatas karena KPU tidak bisa menyediakan surat suara di luar jumlah pemilih yang sudah terdata karena itu berbahaya. Ini menjadi kesulitan tersendiri.

Untuk di daerah lokasi bekas penggusuran menjadi persoalan juga karena mereka yang digusur itu tidak semuanya pindah ke satu titik. Contoh kasus di Bukit Duri itu, kami sudah melakukan pendataan. Beberapa rumahnya juga sudah ditempeli stiker tapi beberapa hari setelah itu digusur semuanya. 

Bagi mereka yang pindah dan terdata, misalnya pindah ke Rusun Rawa Bebek, Cakung, itu tinggal didata ulang agar mendapatkan hak suara di daerah itu. Data mereka yang sebelumnya tercatat di Bukit Duri, kami coret agar tidak ada pemilih ganda. Tapi bagi mereka yang tidak terdata atau melapor pindahnya ke mana setelah digusur, itu yang sulit kami mencarinya. 

Mengatasi seperti itu, kami nanti akan membuat TPS di dekat lokasi penggusuran. Hal itu agar mereka yang pindah dan tinggal tak jauh dari lokasi penggusuran itu tetap bisa menggunakan hak pilihnya di sana.

Bagaimana dengan pendataan penghuni-penghuni apartemen itu? 

Untuk penghuni apartemen kami memang masih kesulitan. Umumnya banyak yang tinggal di apartemen mempunyai alamat KTP tidak sesuai dengan alamat apartemennya. Dia harus menggunakan hak pilihnya sesuai dengan alamat KTP.

Jadi memang terus dikoordinasikan. Tetapi nanti kan pemungutan suara itu sampai jam 12.00 WIB. Nanti mulai dari jam 12.00 – 13.00 itu mereka bisa menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan KTP elektroniknya di TPS sesuai alamat di KTP-nya. 

Kecuali wartawan yang sedang bertugas, misalnya dia bawa form A5 (surat keterangan pindah memilih), dia boleh memilih di mana pun yang tidak sesuai alamat KTP-nya.

Bagaimana antisipasi satu jam terakhir saat pemilihan yang  dikhawatirkan rawan mobilisasi massa?

Itu sebenarnya juga yang membuat tidur saya tidak nyenyak. Sebenarnya untuk antisipasi mobilisasi massa dengan membawa KTP palsu, kami bisa menggunakan card reader. Ada alatnya tapi masih sangat terbatas. 
Dulu ada orang BPPT datang dan menawarkan alat e-verifikasi (verifikasi elektronik). Itu verifikasi elektronik untuk membuktikan KTP itu asli atau tidak. Masalahnya harganya itu Rp15 juta per unit. Bisa kita bayangkan kalau satu alat Rp15 juta, kali 13.000 TPS (tempat pemungutan suara) di Jakarta.

Dukcapil bisa membantu memfasilitasi dengan card reader tapi bisanya hanya tiap kelurahan satu card reader. Satu kelurahan itu ada ratusan TPS. Bisa kita bayangkan kalau ada masalah harus ke kelurahan dulu, kan tidak mungkin juga.

Sebenarnya itu bisa diantisipasi oleh PPS (panitia pemungutan suara) di tiap-tiap TPS. PPS dan saksi-saksi di TPS kan umumnya juga tokoh atau orang situ sebenarnya. Jadi kalau ada orang tidak dikenal atau orang yang tidak biasa di TPS itu harus dicurigai petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) kita di lapangan.

Bagaimana hasil pendataan DPT sejauh ini?

Tanggal 1 November di semua kota kami lakukan rapat pleno untuk penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS). Kemudian, tanggal 2 November itu kami gelar rapat pleno di tingkat provinsi untuk penetapan DPS. 

DPS itu sebagai bahan penetapan DPT.  Nanti DPS itu akan dipublikasikan. Publik diberikan sosialisasi untuk mendaftarkan nama-nama mereka yang belum masuk dalam DPS. KPU akan beriklan ke sejumlah media cetak dan elektronik untuk mendorong agar masyarakat mengecek DPS. Jangan sampai nama masyarakat belum ada tapi masyarakat diam saja.

Setelah ada perbaikan-perbaikan, nanti kami juga menyerahkan DPS kepada tim pasangan calon untuk mereka cek. Insya Allah 6 Desember kami sudah memiliki jumlah DPT yang definitif. 

Lalu berapa perkiraan jumlah total DPT?

Kalau Pilkada 2012 itu kan sekitar 6,9 juta. Pileg (pemilihan legislatif) dan Pilpres (pemilihan presiden) DPT kita ada 7.096.000. Sekarang DP4 (Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu) kita itu 7,4 juta orang. Jadi diperkirakan DPT kita sekitar 7,5 sampai 7,6 juta orang. 

Bagaimana dengan mereka yang hanya memiliki surat keterangan KTP elektronik, apakah tetap bisa memilih?

Iya, istilahnya itu suket (surat keterangan). Ketentuannya memang memilih itu harus memiliki KTP elektronik. Kami membolehkan (pemilih tanpa pakai e-KTP), dengan catatan mereka harus membawa surat keterangan dari Dinas Kependudukan. Karena masalah KTP elektronik itu kan masalah administrasi, sementara memilih itu hak asasi. Jadi tetap boleh karena hak asasi itu tidak bisa dikalahkan oleh hak administrasi. 

Nama-nama yang belum memiliki KTP elektronik itu akan kami mintakan surat keterangan dari Dinas Kependudukan, agar mereka yang belum memiliki KTP elektronik dapat memilih. Surat keterangan digunakan hanya pada satu jam terakhir itu tadi. 

Apakah tidak ada cara lain selain verifikasi manual oleh KPPS?

Memang belum ada cara lain untuk antisipasi kemungkinan KTP bodong. Kami ingin pastikan KPPS itu mengenali warga yang terdaftar dalam daftar pemilih itu. 

Jadi kalau ada warga yang cukup asing bagi mereka itu harus hati-hati dan harus benar-benar melakukan verifikasinya. Kami juga masih terus berkordinasi dengan Dinas Kependudukan, siapa tahu nanti card reader yang dimiliki itu bisa bertambah, agar alat card reader itu tidak satu di satu kelurahan.

 Ketua KPUD DKI, Sumarno.

Harus Sportif

Bagaimana antisipasi mobilisasi masyarakat dari wilayah perbatasan?

Kalau lintas memang terus kami antisipasi. Salah satunya, nomor induk kependudukan (NIK) yang tercatat di DKI itu nomor Banten misalnya, DKI itu kan kodenya 31, Banten itu 36. 

NIK itu kan hanya dikeluarkan satu kali seumur hidup. Meskipun kita pindah rumah tapi memang ada kode atau angka yang membedakan khusus orang yang pindah. Jadi Dinas Kependudukan akan melakukan pengecekan itu. 

Bagaimana persiapan hari pencoblosan, seperti logistik?

Penyiapan kertas suara itu mengacu pada penetapan jumlah DPT. Jadi begitu DPT ditetapkan, baru semua proses pengadaan logistik bisa kami lakukan karena surat suara itu dicetak harus sesuai dengan jumlah DPT plus surat cadangan 2,5 persen. Jadi sepanjang belum ada DPT kami enggak bisa mencetak itu, bisa pelanggaran pidana itu nanti.

Pengadaan formulir juga demikian. Begitu juga dengan penentuan jumlah TPS itu harus berdasarkan jumlah DPT. Berapa kebutuhan bilik suara, berapa kebutuhan kotak suara juga setelah DPT ditetapkan. Prosesnya sudah disiapkan. 

Apakah ada perubahan jumlah TPS Pilkada 2017 dengan Pilkada lalu?

Pada 2012 itu, TPS kami 15.000, sekarang perkiraan kami sekitar 13.000. Artinya ada pengurangan di jumlah TPS tapi bukan berarti jumlah pemiliihnya berkurang. TPS berkurang karena jumlah maksimal di TPS-TPS itu bertambah. Sekarang itu 800 suara, dulu itu 600 surat suara. Jadi dulu itu 15.000 TPS dengan pemilih 6,9 juta, sekarang itu dengan pemilih sekitar 7,5 juta menggunakan 13.000 TPS dengan per-TPS itu 800 pemilih atau suara, itu estimasinya.

Bagaimana antisipasi pengamanan surat suara usai pemilihan?

Kami antisipasi itu bekerja sama dengan kepolisian. Jadi kepolisian yang menyiapkan pengamanan dan teknisnya. Insya Allah kalau di Jakarta tidak ada itu karena dari sisi geografis kan juga sangat mudah di Jakarta itu.

Jakarta itu seperti rumah kaca. Mau ngapain di Jakarta, mau ngumpet di Jakarta, mau lirik kanan-kiri di Jakarta itu semua akan ketahuan. Jadi saya kira tidak ada tempat bagi siapa pun melakukan kecurangan di Jakarta.
Meskipun demikian, kerawanan-kerawanan tetap saja harus diantisipasi karena itu KPU DKI selalu melakukan kordinasi dengan Panwas, Kepolisian.

Berapa total jumlah penyelenggara pemilu keseluruhan?

Total jumlah penyelenggara pemilu di Jakarta itu dari tingkat KPPS sampai tingkat provinsi itu sekitar 145 ribu petugas. Jadi memang cukup besar petugas kami. Jadi per TPS itu 7 orang KPPS plus 2 orang pengawas (Panwaslu), kalikan saja dengan 13.000 TPS, banyak sekali. Kemudian PPSnya ada 3 orang, terdiri dari ketua, wakil dan sekretarisnya.

Bagaimana imbauan untuk masyarakat agar Pilkada Jakarta  berjalan dengan baik?

Ini kan momentum yang sangat penting bagi seluruh masyarakat dalam menentukan siapa gubernurnya untuk masyarakat Jakarta. Hanya dengan momen Pilkada ini rakyat bisa ikut berpartisipasi secara politik langsung. Kalau ini tidak dimanfaatkan tentu sangat disayangkan sekali. Momentum ini akan hilang begitu saja karena harus menunggu lima tahun mendatang.

Jangan kemudian berpikiran bahwa tidak penting memilih calon gubernur itu. Semua sangat menentukan siapa gubernur DKI Jakarta lima tahun ke depan.

Lalu apa imbauan Anda untuk para calon?

Untuk calon, mereka kan tokoh masyarakat, mereka orang-orang yang dihormati, dan terdidik. Jadi tidak ada pilihan bagi mereka selain memberikan keteladanan kepada masyarakat. Jangan asal ngomong yang bisa memancing masyarakat dan membuat suasana pilkada jadi semakin panas.

Pada 2012, baru berdasarkan hitung cepat, Pak Fauzi Bowo (gubernur DKI petahana ketika itu) melakukan konferensi pers dan mengatakan selamat untuk Pak Jokowi (saat itu terpilih menjadi gubernur DKI ). Rakyat yang waktu itu memanas juga tenang. Pak Jokowi menyambut dengan meminta para pendukungnya untuk tidak merayakan kemenangan di jalan-jalan raya. Itu indah sekali.

Kami ingin mengulang itu kembali. Siapa pun nanti yang terpilih, yang lain-lain harus mengucapkan selamat kepada pemenang. Sementara yang menang juga tidak perlu terlalu euforia kemenangan.

(ren)
 
 
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya