Prof. dr. Taruna Ikrar, M.Pharm., MD., Ph.D

Neurosains Bisa Diterapkan dalam Operasi Antiteror

Prof. dr. Taruna Ikrar, M.Pharm., MD., Ph.D
Sumber :
  • VIVA.co.id/Lazuardhi Utama

VIVA.co.id – Tidak diragukan lagi, jika ilmuwan Indonesia banyak yang lebih memilih menetap di luar negeri. Bukan hanya jaminan kehidupan yang memadai, namun mereka di sana lebih dihargai.

4 Alasan Berselingkuh Menurut Neurosains

Salah satunya, Prof. dr. Taruna Ikrar, M.Pharm., MD., Ph.D (48). Ia ahli Neurosains di National Health University, California, Amerika Serikat. Dia sedang mengembangkan penemuannya, yakni metode pengendali kecemasan dan stres.

Metode ini, menurutnya, mempelajari sistem saraf dan otak manusia. Termasuk, salah satunya penyebab seseorang menjadi teroris dan melakukan aksi terorisme.

Negara di Dunia Diminta Desak China Hentikan Deradikalisasi Uighur

Ilmuwan yang menjadi salah satu nominator Hadiah Nobel 2016 bidang Kedokteran ini mengaku kalau dirinya dan tim, meneliti penyebab seseorang menjadi radikal dan bertindak sebagai teroris, karena bukan hanya ancaman bagi Indonesia, tetapi juga dunia.

Selain itu, mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Makassar, Sulawesi Selatan ini memiliki banyak penemuan, dari sebelumnya 63, kini menjadi 67 penemuan, ditambah 27 proyek penelitian di bidang sains dan kedokteran.

Dua Serangan Teroris Beruntun, DPR Soroti Program Deradikalisasi

Ia menikah dengan Elfi Wardaningsih, dan telah dikaruniai dua anak, yaitu Agilla Safazia Ikrar dan Athallah Razandhia Ikrar.

Menurut Taruna, neurosains adalah ilmu masa depan (ultimate science), sebab memiliki tingkat kerumitan yang sangat menantang dan menarik.

"Otak pusat kehidupan dan permata dari tubuh manusia. Dengan kekuatan dan keajaiban otak, manusia dapat menemukan berbagai hal yang bisa dinikmati," katanya.

Berikut, wawancara khusus VIVA.co.id dengan Taruna Ikrar pada 22 Agustus 2017 di bilangan Jakarta Selatan.

Bisa dijelaskan penelitian yang Anda kerjakan?

Prinsip dari penelitian kami ini adalah ingin mempertajam neurocircuit connection, atau koneksi antara satu sel saraf dengan sel saraf lainnya.

Berdasarkan itu, ada tiga komponen utama yang kita lakukan riset, yakni neurogenerasi, yang artinya terjadi pembaruan sel-sel otak.

Kemudian, neurokompensasi, yaitu selnya sama tapi mampu berkompensasi untuk membuat fungsi yang lebih baik. Selanjutnya, neuroplasticity, adalah bagaimana keelastisan jaringan antara satu sel saraf dengan sel saraf yang lain.

Ketiganya sangat urgent, karena kita ketahui bahwa otak itu adalah organ yang mempunyai struktur yang sangat berbeda dengan struktur jaringan lain.

Contohnya, otak kita terdapat 100 miliar sel saraf dengan jenis bervariasi. Ada sel saraf penghambat, atau disebut inhibitory neuron, ada sel perangsang, atau exitatory neuron.

Keduanya saling berkoneksi, di mana satu sel berkoneksi dengan 10 ribu sinaps, atau jaringan penghubung. Karena itu, kalau ditotalkan 100 miliar x 10 ribu, maka total koneksi yang ada di otak kita adalah 1.000 triliun.

Inilah yang sangat rumit dan membuat otak itu sangat kompleks.

Kaitan penelitian otak dengan radikalisme?

Otak itu mampu menjalankan fungsi yang sangat berat, karena semua sistem tubuh kita. Mulai dari apa yang kita sebut dengan sistem limbik, sistem penglihatan, pengecap, sistem jantung, pankreas, hati, usus, termasuk ginjal, dan sebagainya, dikendalikan oleh otak.

Artinya, struktur 1.000 triliun menentukan fungsi organ tubuh. Berdasarkan tiga struktur yang saya sebutkan – neurogenesis, neurokompensasi dan neuroplasticity – kami mengembangkan cabang penelitian yang berhubungan dengan penyakit otak, misalnya parkinson dan mempelajari tingkah laku manusia (behavior).

Dalam konteks tingkah laku manusia, kami meneliti soal kecemasan, kebahagiaan, serta radikalisme, dan alasan orang memilih menjadi teroris.

Semua aspek neurosains itu bisa dimulai dari hal terkecil sampai terbesar. Inilah yang disebut dengan neurocommunity dan neuroleadership.

Penerapannya tak hanya bisa diterapkan dalam ilmu kedokteran di rumah sakit, tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk komunitas, termasuk juga dalam kepemimpinan.

Ada kurang lebih 20 cabang penelitian yang kami kembangkan sekarang ini.

Tim Densus 88 Antiteror

Densus 88 Antiteror Polri saat penggerebekan lokasi teroris.

Apa penyebab seseorang berubah menjadi radikal?

Tentu, bahasanya eror ya. Di dalam struktur otak yang kompleks, seseorang menjadi radikal sangat tergantung dari input (doktrin) yang masuk. Misalnya, input yang masuk bagaimana kita selalu melihat sesuatu yang jelas.

Contohnya merah. Maka otak akan membaca warna merah itu dengan sensitif. Demikian juga kalau otak kita terindoktrinasi terhadap masalah agama, keyakinan, dan pandangan hidup yang ektrem, lama-kelamaan otak akan menerima.

Pada saat otak mengalami kompensasi bahwa menerima sesuatu yang normal atau diyakini. Proses itulah yang menyebabkan seseorang menjadi ekstrem.

Sebenarnya, otak bisa berubah dengan neuroplasticity. Karena itu, pendekatan neurosains terhadap 'penyakit' ektremisme bisa disembuhkan melalui deradikalisasi.

Mekanismenya adalah menginput pandangan-pandangan yang salah dan memanipulasi neurotransmitter di otak. Neurotransmitter adalah kimia otak - yang bisa membuat bahagia, sengsara, dan ada kimia rasa nyeri.

Itu semua bisa dimodifikasi, sehingga fungsi otak, setelah dilakukan modifikasi, struktur kimianya membaik.

Maka output-nya adalah semua pandangan radikalisme tadi bisa dikeluarkan, dan ini terganti pada struktur otak baru di mana otak baru ini meyakini bahwa ektrem, atau radikal itu tidak benar. Ini radikalisme negatif yang saya maksud. Karena, ada juga radikal positif.

Contoh radikalisme positif?

Radikal terhadap Pancasila. Bahkan, kalau ada tokoh yang menyumbangkan seluruh hidup dan hartanya, itu juga disebut radikal. Sekarang radikal itu mengalami penyempitan arti.

Pada prinsipnya, filosofi radikal adalah dia keluar dari batasan normal alias tak normal. Terlalu baik, atau terlalu buruk.

Pancasila adalah sesuatu yang universal. Mutlak. Neurosains sangat aplikatif di kehidupan masyarakat. Ilmu ini tidak melulu berhubungan dengan penyakit otak, tapi ada aspek lain seperti sosial kemasyarakatan yang aplikasinya sangat luas.

Selanjutnya, dari neurosains sendiri adakah perbedaan antara patriotisme dan nasionalisme?

Dari neurosains sendiri adakah perbedaan antara patriotisme dan nasionalisme?

Itu (patriotisme dan nasionalisme) bagian dari radikalisme positif. Tetapi, patriotisme berbeda dengan nasionalisme. Patriotisme itu membela suatu kebenaran.

Contohnya, perang merebut kemerdekaan dan seorang polisi yang berusaha mempertahankan orang di jalan akibat perampokan.

Taruna Ikrar, peneliti Indonesia

Prof. dr. Taruna Ikrar, Ph.D.

Sedangkan nasionalisme adalah hubungannya dengan batas-batas kenegaraan. Ini luas, universal. Artinya, tidak ada suatu negara di dunia ini yang mampu berdiri sendiri.

Mereka bergantung dari negara lain, termasuk negara tetangga. Karena, kita saling mengisi. Jadi, nasionalisme itu dalam konteks kita (neurosains) mampu berbuat sesuatu untuk bangsa, meskipun saya maupun ilmuwan Indonesia lainnya tidak ada (bekerja) di Tanah Air.

Bagaimana 'membaca' otak orang radikal dan normal?

Dalam struktur otak itu terdapat otak besar, otak kecil, di bawah otak itu ada sub limbik dan di bawah sub limbik ada batang otak.

Di bawahnya lagi ada sumsum tulang belakang, dan dari sumsum tulang belakang mengalir ke semuanya, agar kita bisa bergerak.

Secara struktur makro antara orang normal dan orang ekstrem itu berbeda. Tetapi, dalam mikro, koneksi antara satu sel saraf dengan saraf lain tentu berbeda, tergantung pada pengalaman.

Perbedaan yang mencolok terletak pada sub limbik, di mana neurotransmitter yang bekerja di situ banyak yang bersifat glutaminergik, polinergik, dofaminergik.

Sementara itu, orang normal biasanya tingkat dia punya epinefrin, kemudian tingkat norepinefrin, endorfin. Itu semua berada pada batas yang lebih tinggi.

Jadi, buktinya bahwa pada saat orang menjadi ektrem menjadi radikal, neurotransmitter dalam otak mengalami peningkatan dan peningkatan ini berdampak pada gaya hidupnya.

Makanya, ada pelaku terorisme melakukan aksinya dengan cara bunuh diri. Karena, dia menganggap semua orang ancaman baginya, paranoid (ketakutan luar biasa) terhadap semua orang.

Umumnya, seseorang yang radikal, atau teroris karena dua hal. Depresi dan frustrasi. Dalam kondisi seperti ini dan doktrin yang masuk, maka jadilah ia ekstrem.

Depresi adalah aksi, di mana orang lain menekan dia. Sedangkan frustrasi, adalah keinginan diri sendiri yang tidak tersampaikan.

Pendapat Anda mengenai seseorang tiba-tiba mengklaim dirinya Nabi atau Tuhan?

Itu tandanya dia cenderung untuk berhalusinasi. Halusinasi adalah suatu proses, di mana sistem saraf mengalami eror, karena neurotransmitter-nya menjadi serial.

Ini menjadi sebuah pertanda schizophrenia, atau penyakit jiwa menahun. Tanda-tandanya ada empat, yakni halusinasi, waham paranoid, psikomotik berulang, dan ada hendaya dengan masyarakat (kalau berbicara nggak nyambung).

Di Indonesia sudah ada rencana menerapkan neurosains?

Belum, hehehe. Konsep neurosains sangat menarik untuk diterapkan dalam upaya antiteror, bukan hanya pendekatan berdasarkan prosedur tetap (protap), kaku, dan melalui kekuasaan. Tetapi, pendekatan lain juga harus dilakukan seperti pendekatan spiritual.

Kalau saya ingin, ada pendekatan neurosains untuk mengantisipasi terorisme. Saya berharap, konsep ini diambil pemerintah. Karena, pemberantasan terorisme bukan hanya tugas Polri, tetapi juga Badan Intelijen Negara dan Badan Intelijen Strategis TNI. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya