Berobat ke Singapura, Kebutuhan atau Pilihan

SURABAYA POST -- Keluarga Vonny Sari Dewi, misalnya, sudah biasa berobat ke Singapura. Bagi keluarga yang tinggal di kawasan Kenjeran ini, upaya medis ke Singapura ditempuh bila upaya di Surabaya dirasa tidak membuahkan hasil.

Ibunya pernah menjalani perawatan di Singapura untuk mengobati sakit lever serta operasi kandungan dan hernia. Dia sendiri harus berkonsultasi dengan dokter di Singapura setelah mengalami keguguran hingga dua kali.

Oleh dokter-dokter di Surabaya, dia hanya mendapat diagnosa bahwa sel telurnya kurang bagus sehingga kurang matang untuk dibuahi oleh sperma. Jawaban itu yang selalu diterimanya dari beberapa dokter kandungan yang didatanginya. Dia akhirnya mencari second opinion ke Singapura.

”Sempat putus asa juga, tapi kemudian disarankan oleh saudara untuk konsultasi ke dokter di National University Hospital (NUH) Singapura,” ujar perempuan berambut sebahu tersebut ditemui Surabaya Post di Surabaya, Jumat (3/3).

Akhirnya 13 Mei 2009, Vonny berangkat ke National University Hospital di Singapura. Vonny menjalani pemeriksaan lengkap mulai tes darah, kencing, hingga di-USG. Setelah pemeriksaan dijalani, Vonny diberi obat minum yang sebenarnya merupakan suplemen.

”Saya lupa nama obatnya,” ujar warga Kenjeran ini. Akhirnya, setelah satu bulan, Vonny pun mengandung kembali hingga akhirnya melahirkan putra pertamanya, Joshua Valentinus Ongkowijaya.

Bagi Vonny yang sudah beberapa kali berobat ke Singapura, pelayanan RS-RS di Singapura sangat jauh berbeda dengan pelayanan RS-RS di Surabaya. Misalnya saja soal perhatian dan keramahan, mulai tingkat administrasi hingga dokter yang menangani.

Dokter-dokternya pun sangat tepat waktu dengan jadwal yang sudah ditentukan. Cara kerjanya sangat sistematis. Untuk mendapatkan transfusi darah, misalnya, pasien atau keluarganya tak perlu lari-lari mencari darah ke PMI. Pihak RS telah menyediakannya. ”Entah nantinya dipakai atau tidak, tapi darah selalu tersedia. Jadi pasien dan keluarganya tidak perlu repot lagi,” ujarnya.

Cara kerja dokternya pun cepat. Semua sudah tersistem dengan baik. Untuk keseluruhan pemeriksaan yang harus dijalaninya, Vonny hanya menghabiskan waktu satu hari sekaligus mendapatkan hasilnya.

”Mereka juga tahu kalau kita yang berobat ke sana pasti meninggalkan pekerjaan dan membutuhkan biaya untuk tinggal. Karena itu, mereka tidak berlama-lama pemeriksaannya,” tutur perempuan asli Surabaya ini.

Mengenai biaya, untuk beberapa jenis perawatan sebenarnya tidak berbeda terlalu jauh. Biaya kamar mamanya di Singapura saat rawat inap, per malam sekitar Rp 600 ribu. Hampir setara dengan harga kamar di kelas VIP di rumah sakit ternama di Surabaya.

Sedangkan untuk biaya lain, misalnya saja untuk operasi yang harus dilakukan ibunda Vonny ketika harus melakukan pengangkatan kandungan. Jika di Surabaya saat itu, tarif yang dikenakan di beberapa rumah sakit ternama di Surabaya berkisar Rp 78-80 jutaan, di Singapura mencapai Rp 18 juta. Yang terasa berat olehnya adalah biaya sewa apartemen serta perjalanan.

Namun soal teknologi dan alat yang digunakan, pengusaha spare part sepeda motor ini menyatakan tidak jauh berbeda.

Bahkan untuk putranya yang saat ini harus menjalani perawatan pasca melahirkan, Vonny tak langsung membawanya ke Singapura. Begitu mendapat informasi ada dokter anak yang sudah berpengalaman di Surabaya, dia lebih memilih mempercayakan perawatan kesehatan putranya ke dokter tersebut.

Perlakuan Sistematis
Pengalaman senada juga dirasakan Abdurahman Djunaid Bawazier. Pada tahun 2007,  pria keturunan Arab yang akrab dipanggil Amang ini harus menjalani operasi jantung di Singapura General Hospital. Amang mengatakan, keputusan menempuh pengobatan di Singapura itu alternative terakhir dan merupakan saran tim dokter.

Graha Amerta, layanan medis berkelas di RSU dr. Soetomo, yang merawatnya tak sanggup melakukan operasi jantungnya karena keterbatasan pealatan medis. Amang disarankan ke luar negeri. Pilihannya Jepang, Australia, atau Singapura. Dia memilih Singapura.

Penyakit Amang itu adalah serangan jantung kambuhan gara-gara merokok. Pada 2001 dia bisa pulih setelah menjalani perawatan di RSU dr Soetomo. Namun, enam tahun kemudian, tepatnya 4 April 2007, dia harus kembali masuk RS.

’’Kebandelan saya juga penyebabnya. Dokter saat itu, yaitu dr Iswanto, menyarankan saya berhenti merokok, tapi saya langgar. Jadilah saya kembali harus masuk rumah sakit,” ujar pria yang baru saja merayakan ulang tahunnya ke 54 pada 31 Maret lalu itu.

Serangan jantung kedua itu terjadi di jalan saat Amang sedang mengemudi mobilnya sepulang dari Kantor Surabaya Post ke rumahnya di Jl. KH Mas Mansyur. Amang adalah pemilik Surabaya Post sebelum diakuisisi Grup Bakrie. Ia memutuskan menepi sejenak, sambil menunggu kawan yang bakal melintas.

Beruntung petugas Patroli Jalan Raya (PJR) menghampiri mobilnya. Ia lantas dirujuk ke RS dr Soetomo yang kemudian dilimpahkan ke Graha Amerta yang mempunyai peralatan lebih lengkap. Namun kali ini sakitnya mengharuskan dia menjalani operasi jantung.

Hanya dua hari di Graha Amerta, Amang kemudian terbang ke Singapura General Hospital. Betapa kagetnya Amang, begitu dirawat dua minggu di sana. Ia banyak menjumpai hal-hal yang tak ia rasakan di rumah sakit di Indonesia. Mulai tenaga medis, fasilitas, peralatan, serta perilaku dan tindakan orang-orang yang ada di sana.

’’Para perawat di sana sangat terampil dan terlatih dalam setiap menggunakan alat dan dalam memperlakukan pasien. Begitu juga sarana dan peralatan yang modern, meski untuk sarana, di Indonesia juga sudah ada beberapa yang sudah bertaraf internasional,” beber Amang.

Selama menjalani proses penyembuhan di Singapura General Hospital, Amang mendapat perlakuan yang sistematis. Pihak rumah sakit, dokter, dan perawat disiplin pada prosedur pengobatan dan waktu. Dia sempat beradu argumen dengan dokter yang menanganinya.

’’Namanya dr Chong. Interval tiga jam setelah operasi, saya disuruh berjalan, tapi saya menolak karena saya merasa masih sakit. Tapi ia bilang bahwa saya harus tetap mencobanya. Dengan bantuan para perawat, ternyata saya bisa,” tutur Amang yang kini kembali menekuni profesinya di bidang pertekstilan itu.

Kata Amang, dr Chong mempunyai alasan kuat kenapa ia harus berjalan. Sebab, dr Chong sudah melihat progress dirinya dan ketetapan waktu prosedur. ’’Perawat di sana sangat terampil dan telaten dalam membimbing pasien,” tutur Amang yang juga bendahara RS Al Irsyad ini.

Dua minggu dirawat di Singapura General Hospital, Amang harus merogoh kocek Rp 300 jutaan. Jika dia dirawat RS berkelas di Surabaya dalam waktu yang sama, mungkin saja ongkosnya Rp 100 jutaan. Namun, Amang mengaku lebih puas dirawat di Singapura General Hospital.

Selain tenaga medis yang terampil, cekatan, dan mumpuni, Amang juga merasakan keistimewaan Singapura General Hospital. Sebuah rumah sakit yang bersih dan nyaman. Semua elemen yang ada juga mendukung kebersihan dan kenyamanan RS itu. Kondisi itu tutut membantu dari sisi psikologis penyembuhan pasien.

Laporan: Anggraenny Prajayanti/Hamzah Arfah

KPU: Putusan MK atas Sengketa Pemilu 2024 Bersifat Erga Omnes
Volunteer latihan sambut obor Olimpiade Paris 2024.

Estafet Obor Olimpiade Paris 2024 Dimulai! Dinyalakan dari Tempat Kelahiran di Yunani

Hampir 100 hari menjelang upacara pembukaan Olimpiade Paris 2024, api Olimpiade akan dinyalakan di Olympia Yunani pada Selasa untuk estafet obor dari Acropolis.

img_title
VIVA.co.id
16 April 2024