DPR Tolak Perpu JPSK

Kekuasaan Menkeu Tak Terbatas

VIVAnews – Anggota Komisi Bidang Keuangan Parlemen, Drajad Wibowo, mengatakan secara politik ketatanegaraan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) memiliki banyak kelemahan.

KPK Ungkap Masih Ada 6 Menteri dan 3 Wakil Menteri Jokowi Belum Lapor LHKPN

“Pertama mengabaikan check and balance, kedua terjadi penumpukan kekuasaan, ketiga tidak mengatur konflik kepentingan, dan keempat tidak ada mekanisme pengawasan aliran uang di dalamnya,” kata Drajad, Wakil Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional itu, usai diskusi tentang Perpu JPSK di parlemen Senayan, Rabu 24 Desember 2008.

Sebelumnya sebagian fraksi menolak Perpu itu disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Mereka takut bila disahkan, kekuasaan Menteri Keuangan (Menkeu) menjadi superbody. Bahkan melampaui otoritas kepala negara. Bahkan, peraturan itu mencantumkan Menkeu dan Gubernur Bank Indonesia (BI) kebal hukum dalam setiap kebijakan di masa krisis.

Saham Berdividen, Pilihan Terbaik untuk Investor Konservatif

Bahkan, Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) yang ikut duduk di pemerintahan juga menolak. Partai beringin yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla itu meminta pemerintah  merevisi usulan yang diajukan Menkeu itu.

Fraksi lain yang menolak pengesahan itu juga meminta pemerintah memperbaiki beberapa  pasal, misalnya dalam struktur Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK), kedudukan Presiden harus lebih tinggi dari Menkeu dan Gubernur BI. Dengan demikian, kepala negara tetap dapat mengendalikan kedua pejabat itu.

Generasi Muda Harus Cerdas Finansial Dalam Menabung dan Kelola Keuangan

“Pada titik tertentu Perpu JPSK bisa merubah bisnis politik di Indonesia secara luar biasa, kekuasaan merubah itu menumpuk di satu pihak yaitu Menkeu yang notabene tidak dipilih oleh rakyat,” kata Drajad.

Drajad mengatakan dalam Perpu itu, Menkeu tetap bertanggung jawab kepada Presiden. Namun, kata Drajad, Menkeu tidak wajib bertanggung jawab kepada Wakil Presiden. Bahkan, dapat menolak melapor ke Wakil Presiden. “Jadi kekuasaan Menkeu bisa diibaratkan seperti malaikat pencabut nyawa. Dia bisa menentukan mana bank yang perlu atau tidak,” kata Drajad.

Drajad mengatakan, Perpu JPSK juga memiliki koneksitas dengan pemegang kekuasaan. Sebab, kata Drajad, hampir semua pemilik bank terkait dengan kekuasaan politik, termasuk bank yang dimiliki asing yang justru lebih tinggi koneksitasnya dengan kekuasaan itu.

Drajad mencontohkan bila terdapat dua bank yang sama-sama memiliki koneksitas faksi politik yang berbeda. Menkeu, kata Drajad, dapat memilih hanya menyelamatkan salah satu bank yang koneksitasnya kuat.

“Kalau praktek ini dijalankan, Wakil Presiden yang terpilih di pemilihan umum 2009, tidak bisa berbuat apa-apa, karena kekuasaan ditumpuk di Departemen Keuangan. Juga menumpuk di KSSK, padahal mereka tidak dipilih rakyat dan tidak mengikuti fit and proper test di DPR,” kata Drajad.

Itu sebabnya, kata Drajad, DPR menolak Perpu JPSK disahkan menjadi UU. Perpu itu, kata dia, tidak seimbang di sektor keuangan. Sektor itu, kata Drajad, nanti tidak dapat dikoreksi DPR. “Bahkan penumpukan kekuasaan yang sangat besar di Depkeu tidak bisa diimbangi partai terbesar di DPR,” katanya.

DPR menyontohkan, bila KSSK yang diketuai Sri Mulyani itu mengalirkan uang untuk mendanai salah satu bank, nanti DPR tidak memiliki otoritas mengecek aliran uang itu. “Bahkan, KPK pun tidak bisa mengeceknya,” kata Drajad.

Bahkan, dalam Perpu itu, anggota KSSK tidak dilarang merangkap jabatan pada posisi jabatan lain, misalnya  menjadi komisaris salah satu bank. Padahal, kata Drajad, pejabat publik lainnya dilarang merangkap jabatan.

Itu sebabnya, DPR meminta pemerintah segera memperbaiki Perpu JPSK dan diajukan kembali ke parlemen untuk dibahas kembali.

Drajad juga melihat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak berambisi mendorong Perpu JPSK ini gol menjadi UU.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya