Membungkam Sejarah Korban (I)

VIVAnews - Hadirnya perubahan politik tahun 1998 belum cukup memberi ruang dan kesempatan yang luas bagi korban. Cita-cita pelurusan sejarah untuk mengingat kembali masa lalu dalam rangka membangun dan meletakkan sejarah bangsa ini secara benar masih jauh dari kenyataan. Tidak sedikit kebijakan negara justru tidak mengambil posisi berbeda dengan sikap politik terdahulu.

Meski Negaranya Tengah Dilanda Aksi Terorisme, Rusia Tetap Kirim 29 Ton Bantuan ke Gaza

Keinginan untuk melakukan pelurusan sejarah dan rekonsiliasi nasional terpaksa harus melewati jalan terjal dan tantangan luar biasa. Dibandingkan dengan Afrika Selatan atau pun Argentina, Indonesia terbukti gagal membentuk Komisi Kebenaran untuk pelurusan sejarah. Phobia atas ancaman kembali komunisme justru terus menguat. Narasi sejarah resmi bangsa belum nampak berpihak kepada korban. Perkembangannya tidak semakin membaik. Sejarah masih sarat dengan berbagai bias kekuasaan. 

Tragedi 1965-1966 salah satu kisah dan polemik sejarah Indonesia yang sangat menegangkan. Beberapa sejarawan bahkan secara eksplisit menyebutnya sebagai sejarah yang penuh dengan ketidakpastian. Ia melahirkan beragam klaim penafsiran pandangan mengenai kebenaran fakta sejarah. Tentang siapa saja pihak-pihak yang harus bertanggung jawab menjadi pelaku dan siapa yang menjadi korban masih ada dalam rangking teratas tema kontroversi.

Betapa rumitnya kisah ini untuk dituturkan dan menempatkan episode ini sebagai catatan bangsa yang tidak mudah dilampaui. Bukan saja karena banyaknya versi sejarah yang muncul, tetapi juga karena perdebatannya belum berujung pada tercapainya keadilan bagi korban. 

Terlepas dari segala polemik dan kontroversi, fakta peristiwa itu telah menggelar dan menyuguhkan cerita penderitaan korban yang sungguh luar biasa. Terlepas dari perbedaan penghitungan jumlah orang yang dibunuh, dipenjara dan diasingkan, jumlah korban terbilang sangat fantastis. Beberapa ahli dan peneliti sejarah bahkan menafsir angka melebihi jutaan korban. Sebagian besar dari mereka telah didakwa dan diadili tanpa proses hukum yang semestinya. Sebagian mereka yang tersisa, kini masih hidup dalam napas diskriminasi dan peminggiran politik luar biasa. 

Meskipun waktu terus bergerak dan generasi mulai berganti, stigmatisasi dan diskriminasi masih bertahan dengan berbagai pola. Kalaupun secara fisik para korban tidak mengalami represi langsung, mereka tetap saja masih berhadapan dengan kecenderungan dan pola tekanan politik yang lain. Dominasi dan represi atas ingatan masa lalu secara psikologis justru menjadi modus pemenjaraan non fisik paling diskriminatif. Korban dibiarkan hidup tetapi tetap saja terbungkam; dibiarkan bernapas tetapi tidak merdeka bersuara. Atas alasan 'bahaya laten' mereka harus diawasi karena kemungkinan bisa bangkit dan bertumbuh kembali. 

Dalam praktik sejarah kekuasaan, korban selalu ada dalam posisi rentan. Ia kerap menjadi korban kedua kalinya. Dominasi kekuasaan jarang memberikan ruang untuk dia mencatat sendiri kisah sejarah dengan merdeka. Narasi tentang korban selalu diposisikan di ruang-ruang pinggiran, jauh dari perhatian dan penghormatan negara. Definisinya sering dikaburkan dan didistorsi sehingga sering mengandung rumusan yang abstrak sekaligus absurd. Siapa yang korban dan siapa yang menjadi penyebab korban terus direlatifkan sedemikian rupa sehingga semakin tidak jelas di mana batasannya. Secara realitas korban kemudian ditiadakan dan sedemikian rupa.

Legislator Soroti Daya Beli Gen Z di Jakarta, Bisa Berkontribusi Besar Kendalikan Inflasi

Penghilangan pengertian korban adalah cara untuk melarikan diri dari tanggung jawab. Di saat-saat yang lain korban diangkat dan diadakan sekadar sebagai jargon dan komoditas politik. Praktik semacam ini mudah ditemukan di saat-saat para elit kekuasaan membangun legitimasi dalam pertarungan-pertarungan politik semacam perhelatan pemilihan umum. Sedemikian leluasanya bahasa kekuasaan sehingga mampu mendefinisikan korban menjadi pengertian-pengertian yang mengapung dan lepas dari hakikat keberadaannya yang mendasar.

Namun demikian, sejarah korban bukanlah perjalanan mati dan berhenti dalam ruang kosong yang stabil. Berhadapan dengan dialektika sejarah, korban sebenarnya mempunyai beragam kreatifitas hidup, pandangan, interpretasi dan nilai hidup yang unik. Berhadapan dengan belenggu-belenggu kekuasaan yang dihadapinya, kreatifitas ini sering muncul, seketat apapun pengawasan itu. Pada posisi tertentu menyerupai tradisi subaltern. Korban mempunyai cara tersendiri untuk bertahan hidup dan keluar dari dominasi stigma itu.

Kontingensi persinggungan antara kekuasaan yang memanifestasikan dirinya dan sikap kreatifitas korban berhadapan dengan represi ingatan adalah satu hal yang saat ini terus bergulir dengan segala dinamikanya.

Tri Guntur Narwaya, koordinator Kelompok Studi Rumah Merah Solo, kontributor Mediabersama.com

Cekcok Hebat dan Bergumul di Kamar, Suami Sadis Ini Tega Bunuh Istri Pakai Obeng

Logo Media Bersama

Mak Vera.

Mak Vera Tepati Janji, Datang ke Makam Olga Syahputra Tengah Malam

Bahkan setiap tahun, Mak Vera selalu datang ke makam Olga Syahputra untuk kirim doa tepat di hari lahirnya yakni 8 Fabruari dan hari meninggalnya.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024