Semua Berakhir di Hari Ulang Tahunku

Ilustrasi.
Sumber :
  • wikimedia.org

VIVA.co.id - Angin berhembus terasa lebih dingin dari malam-malam biasanya, cuaca juga terlihat lebih muram karena awan gelap yang berhasil menutupi hampir seluruh cahaya rembulan. Wajarlah, suasana malam ketika habis diterpa hujan seharian memang seperti ini. Lembab, gelap, sunyi, dan sangat dingin.

Waktu masih menunjukkan pukul 09.00 malam, tapi entah kenapa suasana malam ini lebih seperti dini hari. Aku berjalan sambil sesekali berhenti menatap jalanan yang mulai sepi. Suara gemericik air terus terdengar seiring dengan kakiku yang terus melangkah menginjak tanah merah becek yang penuh genangan air. Tampak lampu-lampu rumah yang berkilauan dari kejauhan. "Ohh,,,sepertinya di depan sana ada pemukiman warga," pikirku dalam hati.

Aku masih melangkah, sampai tiba-tiba seorang kakek tua yang tidak tahu darimana datangnya memanggilku, "Neng,,neng,,, mau ke mana?". Awalnya aku tidak mengira kalau yang dia panggil adalah diriku. Aku mencoba menoleh mencari tahu, dan tersadar kalau tidak ada orang lain di sini selain aku dan kakek tua bertopi caping itu. Aku menatapnya, wajahnya tidak terlihat jelas karena cahaya yang redup ditambah topi capingnya yang hampir menutupi sebagian wajahnya. Aku tidak menjawab, namun kulihat dia berjalan tertatih menghampiriku.

Bajunya tampak lusuh, kakinya tidak beralas dan dipenuhi oleh bercak tanah merah yang menempel. Aku masih terdiam sampai akhirnya dia berada tepat sangat dekat dihadapanku. Yaa ampun, wajahnya sebagian rusak seperti terkena luka bakar. Aku sedikit mengernyit, tapi tetap berusaha tidak ingin menunjukkan rasa takutku, karena aku tidak ingin membuatnya tersinggung.

"Kamu mau kemana? sedang apa di sini?" dia bertanya dengan suara khas kakek-kakek. "Tidak tahu kek, sepertinya saya tiba-tiba berada di tempat ini". Tunggu, aku jadi tersadar kenapa aku bisa berada disini yaa? pikiranku terus bekerja, aku mencoba mengingat-ingat kejadian apa yang sudah membawa aku ke tempat aneh ini. Aku melihat-lihat berkeliling dan sangat yakin kalau aku belum pernah kesini sebelumnya. Pohon-pohon besar, tanah merah yang basah, sepi, hanya terlihat lampu-lampu dari rumah penduduk dikejauhan.

Aku kembali fokus kepada kakek tua di depanku ini. "Ini di mana ya kek?" tanyaku kepadanya. Kakek itu tampak muram, sepertinya dia sedih melihatku yang mulai kebingungan. Dia terlihat terpaksa untuk tersenyum kepadaku, aku tahu kalau sebenarnya dia ingin menangis. Tapi kenapa? kenapa dia ingin menangis melihatku? Pasti dia takut aku tersesat dan terjadi hal buruk kepadaku.

Aku terus melihat kakek itu, satu-satunya orang yang ada di tempat ini selain diriku pastinya. "Kakek kenapa sedih? Saya tidak apa-apa kek. Saya sudah biasa kok pergi sendirian. Tuh, di ujung jalan sana juga ada rumah penduduk. Kalau tersesat, saya bisa menumpang bermalam di rumah mereka." ujarku berusaha membuat si kakek tenang. "Kamu masih muda." ucap kakek itu. "Iya, saya masih dua puluh dua tahun kek.  Malah belum lama ini saya baru ulang tahun." jawabku sambil tersenyum.

Tiba-tiba otakku merasa berputar. Ulang tahun. Dua puluh satu. Ada sesuatu yang mulai kuingat. Restoran. Teman-teman. Iyaa benar, baru saja aku dan teman-temanku makan bersama untuk merayakan hari ulang tahunku, bahkan kekasihku Hiro pun hadir bersamaku. Muncul kembali diingatanku bagaimana aku dan Hiro pulang bersama setelah acara makan malam itu. Mobil besar. Iyaa, sebuah truk besar bermuatan penuh tergambar jelas difikiranku. Truk itu menabrak mobil yang kami tumpangi. Iyaa, aku ingat. Darah...darah segar menetes dari kepalaku dan aku tidak ingat lagi.

Aku membuka mataku yang sedari tadi terpejam mengingat peristiwa itu. Kakek, di mana kakek tua itu. Aku terus mencari-cari sosoknya, tapi ternyata dia memang sudah pergi. Aku mencoba membuka mataku lebar-lebar agar dapat melihat dengan jelas keadaan di sekitarku. Aku harus pulang, itu adalah fikiran utama yang terbersit di kepalaku. Aku melihat kakiku yang tampak pucat. Warna putihnya terlihat lebih suram dan membiru, mungkin karena kedinginan, pikirku. Aku menatap telapak tanganku, yang juga tampak membiru. Aku menggosok-gosokkannya agar sedikit merasa hangat.

Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq

Aku berlari mempercepat langkahku menuju rumah-rumah penduduk di depan sana. Tanah merah yang basah oleh air hujan ini benar-benar memberatkan langkah kakiku. Sesekali aku terhuyung, tapi untungnya tidak sampai membuatku terjatuh. Semakin jauh aku berlari, rumah-rumah itu tampak semakin dekat. Cahaya dari lampu-lampu itu semakin menerangi sekitarku. Nah, sekarang paling tidak aku sudah bisa melihat bayangan diriku.

Aku mencoba melihat tubuhku sendiri dan menyadari kalau aku masih mengenakan baju yang sama ketika aku pergi merayakan ulang tahunku. Tapi warna birunya telah bernoda. Ini pasti kotor karena langkah-langkahku di tanah merah tadi. Celana jeans yang kukenakan juga tampak lusuh, ada robek-robek di beberapa bagiannya. Ada bercak-bercak juga, entahlah ini tanah atau darah. Aku juga tidak tahu pasti.

Rumah-rumah itu sudah dekat, aku melihat sebuah rumah berpagar hitam yang tampak ramai. Ada tenda, dan orang-orang yang lalu lalang di dalamnya. Sepertinya penghuni rumah itu sedang mengadakan sebuah acara. Senyum mengembang lebar di bibirku, tiba-tiba aku merasa senang. Rumah berpagar hitam itu adalah rumahku. Ternyata aku tidak berada jauh dari rumahku sendiri. Tapi, sepertinya tidak ada tanah merah di dekat sini sebelumnya. Aku menoleh kebelakang tempatku tersesat tadi. Tampak gelap, aku tidak bisa melihatnya.

Aku semakin mempercepat langkahku. Aku tidak sabar ingin bertemu keluargaku. Aku harus segera menghubungi Hiro, dia pasti panik karena aku tidak memberikan kabar padanya.

Aku memasuki rumahku yang pintunya tampak terbuka lebar. Sedikit aneh karena beberapa kerabatku yang berada di teras sepertinya tidak menyadari keberadaanku. Aku berjalan perlahan, entah kenapa aku merasa asing dengan rumahku ini. Aku masuk dan terlihat mama sedang menangis dipelukkan kakakku. Aku melihat berkeliling, dan melihat ayah yang tampak duduk di samping tubuh seseorang yang tampak terbujur tak berdaya. Raut wajah ayahku tampak pucat. Sepertinya dia habis lelah menangis.

Aku tidak berani untuk mendekat, aku mencoba mengeluarkan suaraku dengan terbata memanggil mamaku. "Maa...maaa...." diaam,,suasana hening dan tidak ada yang menghiraukan panggilanku. Aku mencoba memanggilnya sekali lagi, kali ini lebih keras, "Maaa....maaaa...". Semua masih tidak ada yang menghiraukanku. Hanya isak tangis dan sedikit perbincangan orang-orang saja yang terdengar. Mungkin aku harus berteriak, pikirku. "MAAA......MAAAA.........!!"

Semua masih sibuk dengan urusan masing-masing, sama sekali tidak ada yang memperhatikan aku. Aku mulai menangis. Aku tidak tahu apa yang membuatku menangis, yang aku tahu aku hanya ingin menangis. Aku terus menangis sambil menatap satu persatu anggota keluargaku. Tidak ada satupun dari mereka yang bisa merasakan kehadiranku.

Tangisku semakin menjadi sampai tiba-tiba aku merasakan seseorang menarikku kepelukannya. Pandanganku buram oleh air mata, tapi aku merasa sedikit lega karena akhirnya ada yang bisa melihatku. Aku melepaskan pelukan orang ini, dari bentuk tubuhnya aku tahu dia seorang laki-laki. "Hi..roooo" ucapku lirih. Tangisku semakin keras melihat wajah kekasihku yang penuh dengan darah segar yang mengucur deras dari kepalanya. Dia hanya tersenyum sambil menarik tanganku menuju keluar rumah.

Aku masih menangis dan menurut mengikuti langkah Hiro. Sampai akhirnya aku berhenti, dan Hiro membalikkan badannya menatapku. "Kenapa berhenti?" tanyanya. Aku terus menatap tubuhnya yang penuh luka. Aku menangis semakin kencang, dan perlahan berjalan kembali mengikutinya. Terus berjalan ke satu tempat yang aku tidak tahu. (Cerita ini dikirim oleh Nazma Alnaira-Jakarta)

Hadiah lomba

Edu House Rayakan Harlah ke-8

Acara kali ini bertajuk “Discover the Magic on You”.

img_title
VIVA.co.id
10 Agustus 2016