Mencari Naga di Kampung Naga

Kampung Naga
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id - Jangan berharap bisa menemukan fosil naga di sini. Bahkan patung naga juga tidak ada sama sekali. Apalagi kalau ada yang berharap bisa melihat atau bahkan bertemu naga di desa ini. Buang jauh-jauh keinginan itu karena Kampung Naga tidak ada hubungannya sama sekali dengan cerita mitologi tentang ular besar yang bisa terbang itu.

Kampung Naga ini berada di lembah yang ada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Karena wilayah Tasikmalaya dan Garut itu berdekatan, ada juga lho yang mengira Kampung Naga ini masuk ke wilayahnya Kabupaten Garut. Kampung Naga ini sendiri memang berada di perbatasan antara Kabupaten Tasikmalaya dan Garut. Kalau dihitung jarak dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga itu jaraknya 30 km, sedangkan kalau dari Kota Garut ke Kampung Naga jaraknya hanya 26 km.

Jadi bagi yang ingin ke Kampung Naga naik kendaraan pribadi dari Jakarta bisa langsung masuk tol Jakarta dan keluar gerbang tol Cileunyi. Setelah sampai Nagreg kita bisa mengambil arah Garut Kota kemudian ke Cilawu dan sampailah di Kampung Naga. Bagi yang suka naik kendaraan umum dari Jakarta bisa naik bis di Terminal Kampung Rambutan jurusan Garut - Singaparna. Nah, kita tinggal turun di Kampung Naga. Kalau dari Bandung bisa naik bis dari terminal Cicaheum jurusan Garut - Tasikmalaya (Singaparna) dan turun di Kampung Naga.

Mudah dan gak pakai ribet, bukan? Perjalanan dari Garut menuju Kampung Naga memakan waktu kurang lebih satu jam. Kampung Naga ini letaknya di sebelah kiri jalan kalau dari arah Garut Kota. Oh, ya, sebagai tamu yang baik, ketika akan memasuki desa ini, maka kita harus melapor dulu ya.

Kampung Naga berada di lembah yang subur dan berbatasan dengan hutan keramat yang terdapat makam leluhur. Batas sebelah selatan Kampung Naga adalah sawah-sawah penduduk. Sedangkan batas bagian utara dan timur adalah Sungai Ci Wulan. Ci itu artinya sungai ya, jadi sebenarnya cukup dengan menyebut Ci Wulan saja tidak perlu pakai nama sungai lagi. Tapi berhubung Ci itu bahasa Sunda jadi kalau hanya menyebut Ci Wulan saja orang jarang yang paham kalau ini adalah Sungai Wulan.

Air Ci Wulan ini bersumber dari Gunung Cikuray yang menjulang tinggi di wilayah Garut. Karena berada di lembah, maka untuk mencapai Kampung Naga ini kita harus berjalan menuruni tangga dengan kemiringan sekitar 45 derajat sejauh kurang lebih 500 meter.

Uniknya, hingga saat ini tidak ada satupun orang yang berhasil menghitung berapa jumlah yang tepat anak tangga ini. Jumlah hitungan setiap orang selalu berbeda-beda, tidak ada satu pun yang sama. Setelah itu perjalanan masih dilanjutkan dengan menyusuri Ci Wulan hingga masuk ke dalam Kampung Naga.

Walaupun sering dikunjungi oleh wisatawan, tapi nyatanya Kampung Naga ini bukan desa wisata lho. Bahkan konon kabarnya dulu Kampung Naga ini akan ditutup bagi orang luar karena masyarakat setempat tidak mau daerahnya juga kehidupan mereka ditonton oleh turis dan dijadikan objek wisata. Jadi apa yang menarik dari Kampung Naga ini sehingga banyak orang yang berkunjung ke sini?

Masyarakat Kampung Naga sangat kuat memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya. Kampung Naga juga dijadikan sebagai objek kajian antropologi tentang kehidupan masyarakat Sunda. Ini karena kehidupan masyarakat pedesaan Sunda pada masa peralihan pengaruh Hindu dan Islam di Jawa Barat masih terjaga dengan baik di sini.

Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq

Kelestarian alam dan tradisi nenek moyang masih terjaga di sini. Di dekat Kampung Naga ada hutan keramat yang dikenal sebagai hutan larangan. Tapi tidak ada satu pun penduduk yang berani menebang batang pohon dari hutan tersebut. Padahal mereka masih menggunakan kayu bakar untuk memasak.

Untuk keperluan kayu bakar ini masyarakat Kampung Naga hanya mengumpulkan ranting-ranting yang jatuh. Dengan demikian kelestarian hutan bisa terjaga dengan baik. Kalau kita bersahabat dengan alam, maka alam juga akan menjaga manusia. Dan ini sudah dibuktikan oleh masyarakat Kampung Naga.

Tapi sejak kapan ya Kampung Naga ini ada? Dan mengapa kampung ini diberi nama Naga? Lagi-lagi ini tidak ada hubungannya dengan Naga pastinya, karena memang tidak ada jejak naga bahkan kuburan Naga di sini. Kalau ditanya soal sejarah kampungnya, masyarakat Kampung Naga akan bilang, "Pareum Obor".

Obor itu adalah alat penerangan yang terbuat dari batang bambu. Di dalamnya akan diisi minyak dan diberi sumbu. Nantinya sumbu ini akan dinyalakan dengan api. Sedangkan Pareum adalah bahasa Sunda yang artinya mati. Jadi Pareum Obor artinya "Matinya penerangan".

Lalu apa hubungannya antara matinya penerangan dan sejarah Kampung Naga? Apakah pendiri kampung Naga ini dulunya sering mematikan obor? Tentu saja tidak begitu.

Pareum obor jika dihubungkan dengan sejarah Kampung Naga artinya sudah mati. Jadi tidak ada satupun dari masyarakat Kampung Naga ini yang tahu tentang sejarah asal mula kampung ini. Tidak ada kejelasan kapan kampung ini mulai didirikan dan juga siapa pendirinya. Bahkan tidak juga diketahui apa yang melatarbelakangi budaya yang masih terjaga dengan kuat di Kampung Naga ini.

Matinya sejarah Kampung Naga juga ada hubungannya dengan terbakarnya arsip sejarah di kampung ini. Dulu pada saat pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Katosoewiryo, Kampung Naga ini dibakar dengan sengaja oleh pemberontak yang menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia tersebut. Peristiwa pembakaran Kampung Naga ini terjadi pada tahun 1956.

Tapi konon kabarnya ada beberapa sumber yang menceritakan sejarah asal mula Kampung Naga ini. Tapi sayangnya karena sudah terlanjur adanya "Pareum Obor" tadi maka cerita sejarah ini tidak diyakini kebenarannya, bahkan oleh masyarakat Kampung Naga sendiri.

Pada zaman dahulu ada abdi Sunan Gunung Jati yang bernama Singaparna. Sunan Gunung Jati yang juga dikenal sebagai Syeh Syarif Hidayatullah memberi tugas pada Singaparna, "pergilah ke sebelah barat. Sebarkanlah agama Islam di sana!".

Singaparna pun meninggalkan kesultanan Cirebon dan berjalan ke arah barat. Hingga sampailah Singaparna di daerah yang bernama Neglasari. Kini tempat tersebut masih ada dan menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

Di desa inilah Singaparna mendapat petunjuk untuk bersemedi. Dalam semedinya ada suara yang mengatakan, "pergilah dan berdiamlah di Kampung Naga." Setelah mendiami Kampung Naga, Singaparna dikenal sebagai Sembah Dalem.

Sejak saat itu hingga sekarang masyarakat Kampung Naga beragama Islam. Setiap malam Senin dan malam Kamis anak-anak belajar mengaji. Sedangkan pengajian bagi orang tua diadakan setiap malam Jum'at. Masyarakat Kampung Naga beranggapan bahwa untuk menunaikan ibadah haji cukup dengan menjalankan upacara "Hajat Sasih".

Upacara Hajat Sasih ini dilakukan bersamaan dengan Hari Raya Idul Adha setiap tanggal 10 Raya Agung (Dzulhijjah).  Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, upacara Hajat Sasih ini sama dengan Hari Raya agama Islam yaitu Hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri. Masyarakat Kampung Naga sangat menghormati ajaran karuhun (leluhur) dengan cara menjalankan adat istiadat warisan karuhun.

Dalam kehidupan mayarakat Kampung Naga, segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun dianggap tabu. Begitu juga dengan segala sesuatu yang tidak dilakukan oleh karuhun juga dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Sesuatu yang dianggap tabu ini jika dilanggar oleh masyarakat Kampung Naga dianggap melanggar adat dan tidak menghormati karuhun. Hal ini bisa menimbulkan malapetaka bagi orang yang melanggar adat tersebut.

Tabu atau biasa dikenal sebagai pamali ini hingga saat ini masih dilaksanakan dengan patuh dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kampung Naga. Pamali ini jadi hukum tidak tertulis yang dijunjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang di Kampung Naga.

Di Kampung Naga ini setiap Selasa, Rabu, dan Sabtu semua masyarakatnya dilarang membicarakan masalah adat-istiadat dan asal usul Kampung Naga. Di sini juga ada leluhur yang sangat dihormati bernama Eyang Sembah atau yang dikenal sebagai Singaparna.

Ada lagi nih pantangan di Kampung Naga ini. Masyarakat Kampung Naga hanya boleh mementaskan kesenian warisan leluhur seperti terbangan, angklung, beluk dan rengkong. Kesenian dari luar seperti wayang golek, pencak silat apalagi musik dangdut tidak boleh dipentaskan di Kampung Naga ini.

Tapi kalau masyarakat Kampung Naga ingin menonton kesenian lain seperti wayang golek di luar kampung akan diperbolehkan. Sayangnya kesenian rengkong yang merupakan kesenian warisan Karuhun sudah tidak dikenal lagi oleh para generasi muda di Kampung Naga ini.

Sensasi Keripik Rasa Paru dari Daun Singkong

Sebuah pendidikan karakter yang bagus bukan? Seharusnya pendidikan karakter yang ditanamkan sejak dini seperti di Kampung Naga ini juga diterapkan bagi kehidupan masyarakat Indonesia, supaya kehidupan di negeri ini sedamai kehidupan di Kampung Naga.

Bahkan tata cara orang membangun rumah di Kampung Naga mulai dari letak, arah rumah,  hingga bentuk rumah pun selalu mengikuti ajaran karuhun. Rumah-rumah yang ada di Kampung Naga adalah rumah panggung yang terbuat dari bambu dan kayu. Atap rumah dari daun nipah, ijuk atau alang-alang. Lantai rumah terbuat dari bambu atau papan kayu.

Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dan tidak boleh dicat dengan cat buatan pabrik. Untuk melindungi dinding agar awet digunakan cat dari kapur. Di Kampung Naga ini semua serba alami, jadi tidak boleh membangun  rumah tembok di sini.

Kalau berkunjung di Kampung Naga ini jangan berharap bisa melihat perabotan rumah seperti meja, kursi maupun tempat tidur. Karena setiap rumah tidak diperbolehkan diisi dengan perabotan. Tapi kalau dipikir-pikir ya, perabotan memang akan menambah beban rumah panggung sehingga nanti lantainya akan cepat roboh.

Semua rumah di Kampung Naga ini harus menghadap ke utara atau ke selatan. Jadi dibuat memanjang ke arah Barat - Timur. Di sini rumah juga tidak boleh memiliki dua pintu yang arahnya berlawanan seperti di depan dan di belakang dalam satu garis lurus. Larangan ini dibuat supaya rezeki yang masuk dari pintu depan tidak akan keluar dari pintu belakang. Benar juga ya.

Kalau dilihat dari keadaan alamnya, Kampung Naga ini berada di daerah perbukitan dengan hamparan sawah yang ditanami padi. Luas Kampung Naga ini hanya satu setengah hektare dan digunakan untuk rumah, pekarangan, juga sawah. Sawah yang ada di Kampung Naga ini sangat subur sehingga bisa menghasilkan dua kali panen padi dalam satu tahun.

Kampung Naga ini terletak di tepian sungai, jadi masyarakat di sini percaya bahwa ada makhluk halus yang tinggal di dalam sungai. Makhluk halus ini mereka kenal sebagai jurig cai. Serem juga ya. Tapi tidak cuma itu saja lho, ternyata ada lagi makhluk halus yang lainnya. Namanya Ririwa.

Apa lagi itu Ririwa? Ini adalah makhluk halus yang wajahnya menyeramkan dan suka mengganggu manusia di malam hari. Nah, di malam hari juga sering ada kuntilanak yaitu makhluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia. Biasanya kuntilanak ini akan mengganggu wanita yang sedang hamil atau akan melahirkan.

Iiihhh serem ya. Tapi tenang dulu, makhluk halus ini sudah ada tempatnya sendiri-sendiri kok. Masyarakat Kampung Naga menyebut tempat para makhluk halus ini sebagai tempat angker atau sanget. Yang termasuk tempat sanget ini juga salah satunya makam Sembah Eyang Singaparna yang ada di hutan larangan. Masyarakat Kampung Naga sering menyimpan sesaji (sesajen) di tempat-tempat sanget  ini.

Tapi yang namanya Kampung Naga tetap sebuah kampung yang indah untuk dikunjungi. Jika ingin datang ke Kampung Naga sebaiknya kita meminta bantuan penduduk lokal sebagai penunjuk jalan untuk berkeliling kampung. Kalau kita memaksa untuk berkeliling kampung sendiri bisa-bisa kita tersesat dan salah masuk ke daerah larangan.

Kalau ingin merasakan kehidupan masyarakat Kampung Naga ini juga bisa lho. Tapi tentu saja kita tidak bisa mendadak menginap. Jadi harus memberitahukan Kuncen di Kampung Naga ini terlebih dahulu jika kita memang berniat ingin menginap di sini. Karena di Kampung Naga ini tidak ada listrik, jadi jangan berharap bisa mengisi batere HP apalagi menonton TV ya.

Di Kampung Naga ini kita bisa melihat orang-orang menumbuk padi hingga  memasak nasi dengan peralatan tradisional. Hanya saja kita tidak akan pernah melihat penampakan naga di sini. Jadi, jangan pernah berharap menemukan naga di Kampung Naga ini ya. (Cerita ini dikirim oleh Astri Damayanti, Jakarta)

KKN 136 UMM Adakan Penyuluhan Pemanfaatan Serbuk Kayu
Hadiah lomba

Edu House Rayakan Harlah ke-8

Acara kali ini bertajuk “Discover the Magic on You”.

img_title
VIVA.co.id
10 Agustus 2016