Menaklukkan Puncak Tertinggi Gunung Sindoro

Gunung Sindoro
Sumber :
  • @sindoro_sumbing

VIVA.co.id - Tak mudah membawa diri membaur dengan alam. Itulah yang aku rasakan ketika mencoba mendaki Gunung Sindoro. Dilihat secara kasat mata, jalan setapak begitu mudah dilalui. Dalam suasana gelap berhias bintang-bintang di angkasa, perjalanan pun dimulai. Berdoa dan briefing sebelum pendakian merupakan hal yang wajib untuk dilakukan. Aku tidak sendiri, karena kami melakukan pendakian berlima. Kami saling support dalam segala hal.

Pos demi pos pendakian kami lalui, di tengah perjalan pun sesekali berhenti sejenak untuk meregangkan otot-otot kaki yang sudah mulai lelah. Tampaknya cuaca pun mendukung perjalanan kami, hanya sesekali gerimis turun. Gerimis membuat kami semakin semangat melakukan pendakian. Rintik-rintik hujan yang mengguyur seluruh badan kami seolah mengobarkan semangat yang berlipat ganda. Kami pun semakin cepat melangkahkan kaki. Sudah tidak sabar mencapai puncak Sindoro.

Malam berganti menjadi dini hari, tapi kami masih melangkahkan kaki dalam suasana hutan yang begitu rimbun dan gelap. Hingga akhirnya sekitar pukul tiga dini hari  kami pun sampai di pos ketiga yaitu pos terakhir sebelum mencapai puncak. Suasana malam yang hangat kini berubah menjadi dingin.  Kami pun merebahkan badan untuk sejenak beristirahat. Dua lapis baju serta satu jaket tak membuat kami merasa hangat. Seolah kami tak memakai pakaian.

Tak berapa lama istirahat, kami pun memutuskan untuk melanjutkan pendakian, berharap mendapatkan sunrise ketika di puncak. Dalam suasana gelap yang berbalut dingin, kami melanjutkan perjalanan. Langkah awal kami kembali disambut gerimis, yang setiap tetesnya kini seolah menembus tulang karena begitu dinginya. Hujan semakin deras, tapi kami tetap saling support untuk dapat mencapai puncak tertinggi. Puncak sindoro pun semakin jelas terlihat.

Kami pun mempercepat langkah. Hujan semakin lebat ditambah badai mulai datang dari arah utara. Kedua temanku yang berjalan di depan sudah terlampau jauh dari kami. Kabut yang begitu tebal membuat kami susah melihat ke arah kedua temanku. Kami bertiga ada dalam suasana yang sangat mencekam. Hujan dan badai seolah menghalangi kami untuk naik ke puncak gunung. Kami pun memutuskan untuk  berhenti sejenak karena cuaca yang tidak memungkinkan.

Dalam keadaan letih, kedinginan dan kondisi tubuh yang semakin memburuk, kami mencoba menghubungi kedua teman kami yang terpisah. Tapi signal begitu buruk dalam keadaan seperti itu. Dalam terpaan angin dan hujan yang begitu deras, badan kami tidak kuat untuk menahannya. Kami bertiga pun berpelukan dan berpegangan erat satu sama lain. Selain agar tidak tersapu badai tapi juga supaya tubuh kami sedikit hangat agar metabolisme tubuh tetap lancar.

Pada saat itu badan kami sudah semakin susah untuk digerakkan. Untuk berbicara pun kami semakin susah. Kami seperti dimasukkan ke dalam freezer yang begitu besar dan dingin. Suasana semakin mencekam, badai pun seolah tak mau berhenti. Kami berpelukkan sangat erat. Hanya lantunan doa demi doa yang bisa kami lakukan.

Aku semakin lemah kondisinya dibandingkan kedua temanku. Dalam kondisi lemah seperti itu kami saling memompa secuil harap untuk tetap hidup. Semangat untuk hidup dan mencapai puncak kami kobarkan. Lantunan doa semakin keras kami ucapkan. Dan akhirnya Tuhan tidak tinggal diam. Badai pun reda dikala kondisi kami semakin terpuruk.

Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq

Kami mengucapkan syukur berkali-kali, tangis pun pecah dalam keadaan lemah serta masih berpelukkan erat. Sejenak kami mulai menggerakkan sendi-sendi tubuh yang mulai kaku. Tubuhku yang paling lemah kala itu. Hingga akhirnya kedua temanku memutuskan agar aku 'menetap'. Aku dibuatkan tenda untuk beristirahat. Hanya sebuah parang yang mereka titipkan kepadaku untuk berjaga-jaga. Kini puncak Sindoro hanya dalam anganku. Hanya tinggal sedikit lagi. Tapi kondisi tubuhku sudah tidak memungkinkan karena demam yang menyerang tubuhku semakin parah.

Kedua temanku meninggalkanku dalam sebuah tenda, dan mereka pun melanjutkan perjalanan menuju puncak Sindoro. Sementara kedua temanku yang lain, mereka sudah sampai di puncak saat kami mengalami badai. Mereka tidak tahu kalau kami sedang mengalami kondisi kritis. Karena kondisi di puncak ternyata begitu cerah.

Di dalam tenda, aku hanya termenung dan sedih karena tidak mencapai puncak tertinggi. Semangat untuk mendaki pun, aku kobarkan dalam hati. Dalam jiwaku, kutanamkan tujuanku mendaki untuk sampai di puncak Sindoro, bukan di tenda ini. Dan semua ini kulakukan agar aku semakin mensyukuri setiap ciptaan Tuhan dan melihat kebesaran ciptaan-Nya.

Kondisiku pun semakin membaik. Aku pun memutuskan untuk melanjutkan menuju puncak Sindoro. Langkah kakiku semakin ringan. Setiap langkah selalu kutanamkan dalam hati bahwa di depanku adalah Puncak Sindoro. Entah kenapa langkah semakin cepat dan ringan. Hingga kedua temanku pun lama kelamaan semakin kelihatan jelas.

Tak berapa lama, aku pun sudah bersama mereka berdua. Mereka terkejut dengan kedatanganku. Kami pun membaur dalam suasana yang semakin semangat untuk mencapai puncak. Meskipun rencana awal, kami tiba di puncak ketika sunrise tapi karena kondisi alam tidak memungkinkan. Meskipun begitu kami tetap melanjutkan menuju puncak tertinggi Sindoro.

Pohon-pohon tinggi kini sudah berubah menjadi padang rumput dan tumbuh-tumbuhan kecil dan sesekali nampak tanaman edelweis. Pagi yang dingin berubah menjadi panas yang menyengat karena mentari sudah mulai muncul di balik gunung. Keringat pun semakin mengucur deras membasahi baju dan tas ransel.

Setiap ada yang patah semangat, kami silih berganti memompa semangat dengan menunjukkan bahwa puncak ada di balik bukit. Sebenarnya puncak masih begitu jauh. Kembali kondisi badanku di uji. Demam yang sudah hilang kini hinggap lagi, hingga akhirnya tas ranselku pun dibawakan oleh temanku. Dan kini, aku hanya membawa tubuhku sendiri, tapi sangat berat sekali.

Berkali-kali temanku memberi semangat. Aku pun sesekali digendong oleh temanku, padahal kondisi dia juga sangat lelah. Tapi itulah yang membuatku semakin semangat. Dia menggendongku saja kuat, masak aku membawa tubuhku sendiri saja tidak kuat, sedangkan temanku yang satu lagi membawa dua tas ransel berukuran besar. “Ayo semangat Fin, malu dong sama temanmu,” kataku dalam hati. Aku pun mencari tongkat untuk menopang tubuhku yang begitu lemah.

Letih, panas, dan kehausan. Semua berbaur menjadi satu. Tapi itu semua hilang kala kami sampai di puncak tertinggi Sindoro. Semua berubah menjadi bahagia dan tangis haru. Disana sudah disambut kedua temanku yang sudah sampai terlebih dahulu. Aku pun langsung merebahkan badan sambil menatap langit yang begitu terang. Rasa syukur tak henti-hentinya kami panjatkan dan pemandangan alam pun tak mampu kami lukiskan dengan kata-kata. Dan kata yang terucap hanyalah “Subhanallah....”

Demikian kisahku bersama teman-temanku yang begitu luar biasa. Terima kasih Tuhan dan teman-temanku, Rusdian Dwi Utomo, Andi Ariyanto, Afim, Sarmadi dan Beny Saputra H, serta teman–teman pecinta alam yang lain. Messaya Groupies. (Cerita ini dikirim oleh Arifin)

Sensasi Keripik Rasa Paru dari Daun Singkong
Hadiah lomba

Edu House Rayakan Harlah ke-8

Acara kali ini bertajuk “Discover the Magic on You”.

img_title
VIVA.co.id
10 Agustus 2016