Lawan Korupsi Sejak Dini

Ilustrasi mengajar anak soal uang
Sumber :
  • http://i1.mirror.co.uk
VIVA.co.id
KPK Siap Dampingi Program Makan Siang Gratis Prabowo-Gibran dari Potensi Korupsi
- Apa itu korupsi? "Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan sesuatu untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain." (Black's Law Dictionary)

Hakim Geram ke Saksi di Sidang Korupsi Tol MBZ: Proyek Triliunan Gini kok Main-main
Merebut hak orang lain, mengambil sesuatu yang bukan haknya demi keuntungan pribadi sehingga merugikan banyak orang, ya, itulah korupsi. Sungguh ironis melihat maraknya fenomena korupsi ini, terutama di negeri kita, Indonesia. Perbuatan tak terpuji itu tampaknya kini telah mengakar menjadi budaya. Mengapa disebut budaya? Karena sudah begitu banyak pihak tanpa urat malu yang melakukan tindak korupsi. Betul-betul budaya yang sama sekali tak perlu dijaga dan dilestarikan. 

Alasan Kejaksaan Agung Izinkan 5 Smelter Timah Tetap Beroperasi Meski Disita
Mulai dari pejabat, politisi, hingga pedagang di pasar sekalipun bisa melakukan tindak korupsi. Pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk meraup lebih banyak uang demi memperkaya dirinya sendiri, itu korupsi. Calon gubernur yang memberi uang suap demi mendapatkan dukungan suara, itu juga tindak korupsi. Bahkan pedagang daging di pasar yang menjual daging sapi glonggongan juga termasuk melakukan korupsi. Tak terhitung berapa banyak warga yang dirugikan dari segala macam tindakan korupsi tersebut. 

Kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang pernah marak beberapa tahun silam adalah salah satu contoh konkret yang ada. Gayus dijadikan tersangka atas kasus penerimaan suap dan bertindak sebagai makelar pajak. Dalam hal ini, yang dirugikan tentu adalah negara. Dana yang seharusnya menjadi pemasukan anggaran negara guna meningkatkan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, harus masuk ke saku orang-orang tamak. Betapa mengerikan dampak dari korupsi ini dan membahayakan masa depan bangsa tentunya.

Lantas apa yang mendasari adanya budaya korupsi ini? Menurut Bibit Samad Riyanto, ada lima hal yang bisa memicu terjadinya korupsi, antara lain:

1. Sistem Politik
Ditandai dengan munculnya aturan perundang-undangan, seperti perda dan peraturan lain, 'mereka' atau pelaku tindakan korupsi dapat berlindung dengan aturan tersebut.

2. Intensitas moral seseorang atau kelompok
Pengetahuan akan moral yang baik diperlukan demi mencegah terjadinya korupsi.

3. Remunisasi atau penghasilan minim
Hal ini juga menjadi pemicu seseorang untuk melakukan korupsi. Namun, tidak lantas yang memiliki pendapatan tinggi tidak melakukan korupsi, jadi kembali ke masalah moral tadi.

4. Pengawasan bersifat internal - eksternal
Adanya pengawasan yang ketat tentu akan mampu meminimalisasi segala macam tindak korupsi.

5. Budaya taat aturan
Ini yang paling penting, yakni budaya sadar akan aturan hukum. Dengan sadar hukum, makan masyarakat akan mengerti konsekuensi dari apa yang ia lakukan.

Selain kelima faktor di atas, ada satu hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan, yaitu pendidikan sejak dini terhadap anak akan pentingnya kejujuran karena korupsi itu berawal dari sikap ketidakjujuran yang akhirnya menimbulkan kecurangan.

Pendidikan ini perlu diberikan oleh orang tua selaku panutan bagi anak. Tak dapat dipungkiri bahwa keluarga adalah lingkungan primer, tempat anak akan mendapatkan ilmu terutama mengenai nilai moral dari orangtuanya sendiri sehingga nantinya diharapkan mampu melahirkan generasi penerus yang antikorupsi.

Bicara mengenai pentingnya peran keluarga dalam membentuk generasi penerus antikorupsi, saya jadi teringat pada film Kita Vs Korupsi. Film ini simple, berisi empat cerita pendek mengenai bagaimana kita membangkitkan keberanian untuk tidak melakukan tindak korupsi, sekecil apapun itu.

Yang paling menarik perhatian saya dari film ini adalah cerita kedua berjudul "Aku Padamu" yang mengisahkan sepasang kekasih yang ingin menikah tanpa restu orangtua. Lupa membawa Kartu Keluarga (KK), maka pilihannya menyogok atau menjalani kembali secara benar. Keputusan yang bisa menghancurkan hubungan mereka. Laras, tokoh perempuan dalam cerita tersebut menolak keinginan pasangannya yang ingin menyewa calo di Kantor Urusan Agama (KUA) untuk mempermudah urusan mereka. 

"Kamu, cerminan rumah kamu," ucap Laras yang membuat pasangannya terhenyak seketika. Situasi tersebut mengingatkan Laras pada gurunya di sekolah dasar dahulu, yang pernah mengucapkan kalimat serupa kepadanya. Guru tersebut mengatakan jika di rumah sudah suka berbohong, pasti di luar nanti juga terbiasa seperti itu. Oleh sebab itu, ia melarang murid-muridnya untuk berbohong. Guru ini amat baik dan jujur. 

Ia tak rela membayar uang sogokan hanya agar ia dijadikan guru permanen di sekolah tersebut. Karena penghasilan yang tidak mencukupi kehidupannya, akhirnya sang guru meninggal. Kemuliaan sang guru sangat membekas dalam pikiran Laras sehingga ia tak mau melakukan hal yang dianggapnya menyimpang dari nilai kebenaran. Dan pada akhirnya, sepasang kekasih ini pun mencapai suatu kesepakatan untuk memulai dari awal dengan cara yang benar.

Selain kisah tentang Laras, ada lagi satu cerita yang membuat saya mengangguk-angguk setuju setelah menyaksikannya. Kisah ini berjudul "Selamat Siang, Rissa". Rissa yang berprofesi sebagai Kepala Bagian Perizinan dihadapkan pada situasi yang sama seperti orang tuanya dahulu. Apakah ia harus menerima sogokan demi keuntungan pribadi ataukah harus menjaga integrasinya? Namun pada akhirnya, Rissa menolak sogokan tersebut.

Ia melakukan hal yang sama seperti ayahnya dahulu, yang rela menolak uang sogokan dari seorang penimbun beras. Walaupun saat itu kondisi keluarganya sangat kesulitan, tapi ayah Rissa tetap berpegang teguh pada prinsipnya. Pada akhirnya keluarga Rissa bisa tetap hidup bahagia. Rissa pun merasa sangat lega setelah akhirnya menolak uang sogokan yang ditawarkan padanya. 

Dari kedua cerita di atas, terlihat bahwa sebetulnya hanya butuh satu cara sederhana untuk memberantas budaya korupsi, yaitu memulai segalanya dari keluarga kecil. Didik anak agar tak terbiasa berbohong. Saat kecil, anak berbohong mengenai hal-hal sepele, misalnya tak mengaku jika memecahkan vas bunga kesayangan mama, meminta uang untuk buku pelajaran lebih dari yang diperlukan, dan lain-lain.

Perilaku tersebut tak selamanya bisa dianggap sepele. Jika sedari kecil anak sudah terbiasa berbohong, semakin beranjak dewasa ia akan mampu melakukan kebohongan-kebohongan lain yang lebih besar dan berakhir pada korupsi yang merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.

Orang tua ialah panutan dan sumber utama segala ilmu bagi anak. Jika anak sudah dididik untuk berperilaku jujur sejak dini, yakinlah bahwa ia tak akan melupakan nilai tersebut. Selain itu, orang tua juga sudah sepatutnya memberikan contoh bagaimana berperilaku baik dan jujur untuk ditiru oleh anak-anaknya kelak.

Tidak ada kata terlambat. Kita bisa cegah budaya korupsi ini semakin menjalar, bahkan kita bisa hentikan jika kita generasi muda sadar akan pentingnya sikap antikorupsi dan meneruskannya kepada generasi penerus kita kelak. 

Tak perlu ada yang ditakutkan untuk melawan korupsi. Berani karena benar, takut karena salah. Lawan korupsi! mulai sejak dini, demi generasi penerus kita nanti. (Cerita ini dikirim oleh Santi Lisnawati)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya