Kakek Mini Sang Pengatur Lalu Lintas

Kakek mini, pengatur lalu lintas
Sumber :
  • U-Report
VIVA.co.id
Edu House Rayakan Harlah ke-8
- Bunyi peluit terdengar begitu nyaring, seseorang bertubuh mini yang tingginya tidak kurang dari 90 sentimeter berada di antara selipan kendaraan yang melintang di persimpangan jalan. Wajah yang sangat ceria terpampang dari kejauhan, mengatur kendaraan-kendaraan berlalu lintas yang besarnya hampir 20 kali lipat darinya.

Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq

Bapak Jumadi, Seorang kakek yang terlahir dengan keadaan yang kurang sempurna. Tubuhnya yang mini dengan wajah seperti anak-anak, berprofesi sebagai tukang mengatur lalu lintas di perempatan Jalan Raya Cijantung, Jakarta Timur, sejak zaman kepresidenan Soekarno-Hatta. Usianya yang tak lagi muda, hampir menginjak usia 65 tahun, membuat Pak Jumadi harus bekerja keras untuk menghidupi istri dan kedua anaknya.
Sensasi Keripik Rasa Paru dari Daun Singkong


Dengan giat Pak Jumadi berangkat mencari nafkah untuk sesuap nasi. Pukul 07.00 pagi pun ia sudah berada di tempat ia bekerja, mengatur lalu lintas yang semrawut meski kehadirannya tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi jalan yang begitu ramai. Penghasilan Pak Jumadi tidak menetap setiap harinya.
"
Ya kadang kecil, kadang lumayan bisa
sampe
dua ratuslah, buat makan sekeluarga cukup
,"
ujar Pak Jumadi sambil memainkan peluit lusuhnya.


Pakaian khas Pak Jumadi sudah sangat dikenal oleh masyarakat sekitar. Dengan celana jeans kecil dan rompi hijau neon seperti rompi aparat petugas kepolisian, dipakainya disaat mengatur jalan. Dari kejauhan sosok kecil itu terlihat sangat aktif mengatur jalan tanpa rasa lelah. Sesekali ia melipir untuk membeli sebotol air mineral untuk melepas dahaga yang sangat terasa saat berada di bawah teriknya matahari.


Meskipun memiliki kekurangan, kakek mini asal Demak, Jawa Tengah ini tetap gigih untuk mencari rezeki yang halal, karena ia tahu dengan tubuhnya yang kecil, ia tidak akan mendapat pekerjaan yang layak sebagaimana orang-orang pada umumnya. Tinggal di daerah Gebang, Pasar Rebo, bersama keluarga membuatnya harus kerja keras berada di kota Jakarta, karena Pak Jumadi merupakan satu-satunya tulang punggung keluarga.


Ketika lelah tak membuatnya putus semangat, karena mengatur jalan merupakan kesenangan tersendiri untuk Pak Jumadi. Sore hari adalah waktu di mana pekerjaannya telah selesai, dan akan digantikan oleh orang lain yang berprofesi sama dengan Pak Jumadi.


Lembar demi lembar dua ribuan dan recehan telah terkumpul untuk hari itu, dihitungnya hasil kerja keras ia mengatur jalan sedari pagi. Tanpa mengeluh berapapun hasilnya, Pak Jumadi tetap bersyukur bisa memperoleh rezeki yang halal dan membuat hatinya senang karena bisa membantu orang lain.


Berat rasanya bagi Pak Jumadi untuk meninggalkan persimpangan itu, menurutnya persimpangan itu sudah menjadi lahan tetap seperti rumah kedua, yang selalu memberikan semangat hidup. Banyak pelajaran yang didapatkan Pak Jumadi. Seringkali terdapat ocehan negatif, tetapi dari ocehan tersebut ia justru semakin kuat dan bersemangat menjalani hari-hari yang akan selalu menyenangkan.


Warga yang mengenal sosok Pak Jumadi pun merasa bahwa ia adalah sosok yang tegar, ia menikmati hidup yang diberikan Tuhan. Kekurangannya bukanlah hal yang selalu dilihat negatif, terbukti dari gigihnya ia bekerja meski tubuhnya sangat kecil. Keluarganya pun bangga memilki seorang tulang punggung seperti Pak Jumadi. Tidak dilihat dari kecilnya fisik, namum terlihat dari kebesaran hatinya.


Dari sosok Pak Jumadi semua dapat mengambil nilai kehidupan, bahwa manusia harus menerima apa yang telah Tuhan berikan, dan jadikan semua sebagai motivasi untuk kehidupan yang lebih baik lagi. Seorang yang menerima dirinya dengan baik, akan mendapatkan kebaikan pula untuk dirinya maupun orang lain yang berada disekitarnya.
(Cerita ini dikirim oleh Estrin Vanadianti Lestari, mahasiswa Universitas Pancasila, Jakarta).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya