Pengais Tuhan

Ilustrasi pengais sampah.
Sumber :
  • ANTARA/Aditya Pradana Putra

VIVA.co.id –  Aku cemas dengan wajah kotaku yang lusuh dan layu. Aku malu dengan wajah kotaku yang muram, tak bergairah, tak punya hasrat hidup; bahkan untuk hidup satu hari saja. Aku gundah dengan wajah kotaku yang bau amis di mana-mana.

Rizky Nazar Diisukan Selingkuh, Syifa Hadju Pernah Diperingatkan oleh Raffi Ahmad

Dan aku lebih muak lagi dengan tingkah kotaku yang selalu melumuri tubuhnya dengan darah; ya darah anak tanahnya sendiri. Hancur sudah kotaku yang dulu jaya dan bersahaja. Apa sebab kotaku jadi begini? Mungkinkah Tuhan sudah meninggalkan kotaku? Mungkin Tuhan sudah berpaling dan tak mungkin menampakkan batang hidung-Nya lagi di kotaku? Ataukah Tuhan ingin menghukum kotaku, memusnahkannya, seperti kota kuno Sodom dan Gomora?

Aku tak tahu lagi. Yang aku tahu, kalaupun Tuhan ada, maka darimana datangnya semua kejahatan ini? Sebab dulu, orang-orang kotaku dengan bangga berseru, “kalau Tuhan tidak ada, darimana datangnya semua kebaikan?”

Kembali Mencuat, Golkar Tak Ingin Berandai-andai Soal Kabar Jokowi Gabung

Tetapi sekarang kebaikan itu sirna ditelan keangkuhan, ambisi, dendam, dan amarah. Bahkan bila kebaikan itu hanya sekadar konsep, tak ditemukan lagi konsep itu di kotaku lagi.

Di ujung jalan, persisnya di depan gedung apotek, ada pertigaan yang semuanya mengarah ke pusat kota. Dahulu kawasan itu padat. Sekarang, ada seorang bocah dengan wajah pucat, bibir kering, dan tubuh kurus kering, sedang mengais sampah sambil sesekali memasukkan apa saja yang bisa dia masukkan ke dalam mulutnya yang kering.

Prediksi Pertandingan Premier League: West Ham United vs Liverpool

Setiap orang yang melintas harusnya langsung sadar; “bocah itu lapar.” Namun, entah kenapa tak ada yang membantunya. Hingga malam merayapi kota, bocah itu belum jua beranjak dari tempat itu. Ia seperti tak kenal waktu lagi, tak kenal hukum alam. Oleh karena lapar yang menyengat sangat, ia sudah tak sanggup menyadari kalau yang menemaninya mengais sampah setiap hari hanya matahari dan bulan.

Sebuah mobil tua, Kijang keluaran tahun 90-an, pelan-pelan memperlambat lajunya saat melintas di depan gedung apotek itu. Mobil itu berhenti di dekat sang bocah yang tak peduli. Seorang pria separuh baya turun dari mobil. Dengan jas hitam panjang menutupi sampai mata kaki dan setelan celana jins pudar berpadu dengan kaos bergambar Soekarno, pria itu tampak cukup elegan. Beberapa menit ia memandangi bocah pengais itu.

“Nak, di mana kamu tinggal?” pria tua itu mencoba memecah kesunyian malam. Bocah itu tak menjawab. Baginya, pertanyaan-pertanyaan itu sudah sering ia dengar. Suara-suara seperti itu adalah suara-suara hampa tanpa makna yang ia dengar setiap hari dan setelah ia menoleh suara itu menjauh dan menjauh dan pergi tanpa peduli. Yang paling penting baginya sekarang adalah makanan.

“Di mana kamu tinggal, Nak?” Bocah itu tak merespons. Pria itu berbeda. Ia tidak hilang akal. Ia membuka pintu mobilnya dan mengambil sebongkah roti cokelat dari dalamnya. Aroma roti cokelat itu dengan cepat mencemari udara hingga hinggap di hidung sang bocah.

Ia menoleh, menatap wajah sang pria yang semenjak memegang roti itu sudah mengumbar senyum. Bocah itu mendekat dengan belas kasihan yang sungguh, mengharapkan dengan sangat dapat meraih roti cokelat itu. Pria tua itu segera tahu apa yang bocah itu mau.

Dia menyodorkan roti itu kepada sang bocah yang langsung menyambar pemberian itu. Dengan rongga mulut yang kering akibat rasa lapar yang akut, bocah itu melahap roti cokelat itu tanpa sisa.

“Di mana kamu tinggal, Nak? tanya pria berjas itu sekali lagi.
“Di Pasar Oebobo,” jawab bocah itu dengan mulut yang penuh roti.
Pria itu menggeleng seperti timbul simpati di dalam hatinya.
“Kamu sendiri?”
Bocah itu mengangguk.
“Orang tua?”
Bocah itu menggeleng”
“Keluarga?”
Ia menggeleng. Roti di mulutnya hampir selesai dikunyah.
“Teman?”
Ia mengangguk. Bocah itu mulai bercerita.

Teman-teman saya ada di tempat-tempat kotor di kota ini. Mereka mengais seperti saya. Mereka mencari makanan sisa siang-malam. Mereka pun tak dapat tidur nyenyak sebelum mendapat secuil makanan. Roti yang seperti saya dapat ini sudah terlalu banyak.

Mereka pasti akan iri melihat roti ini ada di dalam mulut saya. Ya, mereka semua tersebar di semua penjuru kota seperti tikus-tikus kota yang lapar sedang mencari makanan di pembuangan-pembuangan.

Pria itu menatapnya. Ia dapat merasakan kerasnya hidup di kota ini melalui mata bocah yang kini ada beberapa centi di hadapannya.
“Kita cari mereka yang lain!” Sejurus kemudian keduanya meninggalkan tempat kumuh itu. Mobil kijang tua itu melesat di jalanan kota yang sepi, menembusi malam yang dingin, mencari bocah-bocah kelaparan itu. Hasilnya;

Seorang bocah sendirian, tengah mengais dengan serius sekali di antara gedung-gedung pertokoan Lai-Lai Besi Kopan yang menjulang mengangkasa, sebuah simbol kapitalisme yang mustahil lenyap dari sejarah peradaban manusia. Wajah bocah itu kotor, pakaiannya compang-camping. Satu kesan yang muncul; lapar mengalahkan dinginnya malam. Malam itu sungguh menjadi miliknya sendiri. Di benaknya mungkin hanya ada dia dan bumi yang dipijak.

Mobil itu berhenti beberapa meter saja dari si bocah kumal. Sang pria tua turun dari mobil meninggalkan bocah pertama yang ditemukan tadi di dalam mobil. Pria itu menatap si bocah dengan kasihan.
“Nak, apa yang kamu cari?”

Dia terus mengais, seolah tak mendengar apa-apa. Baginya, menjawab sama saja dengan menanggung malu yang ke sekian kalinya sebab yang akan ia dapat hanya cemoohan konyol yang sangat tidak perlu sebenarnya.

Pria itu tahu apa yang dia butuhkan. Ia mengeluarkan sebungkus roti cokelat dari dalam saku jasnya. Segera, aroma roti itu menyengat di udara dan sampai di hidung bocah pemulung itu. Ia sejenak menyibak, menoleh sebentar ke arah datangnya aroma roti. Pria itu tersenyum, menunjukkan giginya yang putih kekuning-kuningan. Bocah itu tak membalas senyum. Ia kembali mengais, mengais, mencoba menemukan sesuatu yang terbuang percuma di tempat sampah yang tidak diperlukan lagi oleh warga kota. Tak sedikit pun ia tergiur dengan sepotong roti cokelat yang ia anggap fana itu.

Pria itu terpaku. Heran. Bocah ini tidak seperti yang ia bayangkan; tidak seperti bocah yang pertama dan mungkin bocah-bocah lain yang lapar dan begitu senang ketika mencium aroma roti cokelat. Pria itu bertanya-tanya dalam hati.

“Apa yang sedang bocah ini lakukan, apa yang sedang ia cari di tempat sampah kota ini? Bukankah sepanjang sejarah kota, hanya orang-orang lapar saja yang mengais-ngais di tempat-tempat sampah kota, mencari sesuatu yang bisa dimakan hanya untuk menambal perut yang sudah terlanjur tak berisi? Bukankah setiap pengais di kota ini akan segera berhenti mengais apabila sudah mendapat apa yang ia butuhkan yakni makanan atau sesuatu yang bisa dijual, ditukar dengan uang untuk kemudian membeli makanan?”

Namun, malam itu, bayangan pria itu berubah seketika. Bocah di hadapannya berbeda. Aneh. Ia sedang mencari sesuatu (atau seseorang) yang tidak dicari pengais lainnya. Yang dicarinya bukan makanan. Ia tidak lapar.

Lama berdiri dan menatap dan tergerak oleh penasaran, pria itu kembali bertanya sambil memasukkan roti cokelat ke dalam saku jasnya, “apa yang kamu cari, nak? Kalau bukan makanan, apalagi yang kamu cari?”

Mendengar suara lembut itu, bocah itu berhenti mengais, membalikkan tubuhnya yang kurus, menatap kembali pria aneh itu. Wajahnya kotor, lusuh. Tubuhnya layu. Pakaiannya penuh bercak sampah lembab. Tapi sorot matanya yang nanar memandang tajam jauh penuh harap hamparan cakrawala yang menudungi kota.

“Saya sedang mencari Tuhan,” seru bocah itu memecah sunyi dan sayup-sayup angin malam.

Pria itu menganga.

“Saya sedang mencari Tuhan di tempat sampah ini. Saya yakin Tuhan sudah terbuang di tempat kotor ini dan saya ingin menemukannya lagi. Kota ini telah membuang-Nya. Maukah Tuan membantu saya menemukan-Nya di sini, di tempat najis ini?”

Pria itu membisu. Dengan sedih ia kembali ke dalam mobilnya dan pergi sambil berharap tidak bertemu bocah itu lagi.  (Tulisan ini dikirim oleh Ricko W, Peminat sastra, tinggal di Ledalero, Maumere, Flores NTT)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya