Benih yang Kau Cabut

Ilustrasi pria.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Malam itu setelah pertemuan tiga tahun yang lalu, pertemuan yang tak direncanakan sampai akhirnya komunikasi tersambung kembali setelah delapan bulan tak memberi kabar. Kala itu hanya iseng saja mengirimkan SMS ke nomormu, hanya ingin menegur sapa. Entah angin apa yang membuatmu membalas SMS yang sekian kali kulancarkan ke nomormu.

Ali Ngabalin Kasih Bocoran soal Kemungkinan Jokowi Sowan Lagi ke Megawati

Semenjak SMS yang kau balas, komunikasi pun terjalin kembali. Tak bisa berkata apa-apa, senang sedang melanda. Setelah terputusnya komunikasi, hari demi hari akhirnya berjalan kembali seperti biasa saat pertama kita SMS-an dulu. Tuuut..tuuut..Terdengar ringtone dari handphone-mu, saat aku menelepon. Lima detik kemudian kau pun mengangkatnya.

Aku terdiam setelah mengucapkan salam. Hingga kau menegur dan mengagetkanku dari lamunan. “Kok diam kak?” sapamu dari balik telepon yang kau genggam.

Ratusan Rumah di Bekasi Terendam Banjir, Mayoritas Ditinggal Mudik Lebaran

“Enggak apa-apa dek.” jawaban dariku dengan nada terbata-bata karena gugup. Entah mengapa aku tak terbiasa saat berbicara denganmu. Berbeda halnya dengan wanita lain yang dengan santai aku bisa berbicara dan bercanda leluasa. Ada hal yang aneh dalam diriku, aku pun bertanya pada hati ini. Hati pun tak bisa menjawabnya, hanya senyum melebar saat aku bertanya.

Apa kabar adalah awal perbincangan kita di telepon. Bertanya-tanya sedang apa, di mana, sibuk apa sampai kita pun sama-sama menceritakan tentang rutinitas kita masing-masing. Lalu kau bertanya tentang awal kita bertemu dulu, saat aku belum tahu namamu. Memutar kaset yang masih bisa diputar walau sudah lama tak terpakai lagi. Bercerita mengenai awal mula kita bertemu, itu yang kau tanyakan di sela-sela kita bercerita tentang keseharian kita. Pertaanyan yang bak menguji ingatanku.

Pemilik Mobil Ini Niat Curhat karena Merasa Terzalimi Pengendara Lain, Eh Malah Kena Hujat

Alkisah pun terjadi. Pertemuan yang mengejutkan, seperti teman lama yang tak pernah ketemu. Berjabat tangan, itu yang kau lakukan saat pertama bertemu di pesta pernikahan sahabatmu sendiri, Fita namanya. Itupun aku belum kenal denganmu. Pastinya kau sudah mengenalku karena aku pernah melakukan praktik di sekolahmu setelah menyelesaikan pendidikanku di bangku SMA dulu, tepatnya tahun 2009. Tanpa ragu kau sapa dengan cara yang berbeda, ramah, manja dengan senyum mengembang di bibir. Tampak jelas lesung di pipi yang menambah panorama keindahan wajahmu.

Terheran-heran itu yang terucap dari pembicaraan saat di telepon. “Kok masih ingat kak dengan kejadian itu?” tanyanya. Aku tertawa terbahak-bahak. Ingatan ini kuat, apalagi dengan kejadian yang mengejutkan saat berjabat tangan. Teringat akan sebuah film yang diperankan oleh aktris dan aktor ternama di belantika perfilman Indonesia, Andika Pratama dan Donita.

Dalam film yang mereka perankan, dikisahkan pertemuan kedua sejoli yang tanpa sengaja di stasiun kereta api tepatnya di Kota Bandung. Mereka duduk berdua menunggu kereta yang akan mengantarkan mereka ke tempat tujuan. Di sela-sela menunggu, mereka saling bertegur sapa. Awal mula membicarakan mengenai tujuan mau ke mana. Belum sempat berkenalan, bunyi kereta datang mencerai pembicaraan yang mulai asyik itu. Donita pun bertanya “Kapan kita bisa betemu lagi?”. Andika menjawab “Biar takdir yang mempertemukan kita”, Donita bertanya “Kenapa?”. Andika menjawab “Pertemuan pertama akan menyisakan penasaran, pertemuan kedua akan menyisakan rindu. Cukuplah aku merasakan penasaran dan aku tak mau merindu.”

Itu juga yang terjadi denganku. Teringat tentang janji yang terucap delapan bulan yang lalu waktu kau belum lulus ujian nasional. Keinginan yang besar dan cita-cita untuk melanjutkan pendidikanmu di salah satu perguruan tinggi di Gresik. Keraguan tak berbanding lurus dengan cita-cita yang mulia. Ketakutan supaya tak menyusahkan kedua orangtua dan demi meraih cita-cita kau pun minta dicarikan pekerjaan agar dapat melanjukan pendidikan di perguruan tinggi.

Entah apa yang ada dalam pikirkan ini, padahal bertemu denganmu hanya dua kali, itu pun tanpa disengaja. Selanjutnya kita berbincang via SMS. Dengan tanpa panjang lebar aku mengatakan “Tak usah kerja dek, kakak sebentar lagi mau lulus, biar kakak yang membiayai kuliahmu.” Namun kau mengelaknya, “Carikan kerjaan saja ka.” Aku pun mengiyakanya dengan nada yang tak puas.

Janji telah terlebur seperti emas yang dibakar yang akan dibentuk sesuai keinginan dan indah saat dikenakan, janji yang terpenuhi. Sore yang indah saat melihatmu untuk yang ketiga kalinya setelah malam perpisahan di MI Salafiyah. Dengan ceria kau sapa aku dari bawah. Tampak jelas kegembiraan senyum dan lambaian tangan saat bertemu. Lambaian itu kusapa dengan bahagia dari lantai tiga di salahsatu perguruan tinggi di kota ini.

Kita bertemu lagi. Tidak ada yang berubah sama sekali dari saat bertemu tiga tahun yang lalu. Ceria, manja, dan centilmu menghiasi. Entah mimpi apa aku semalam, kau dengan senang hati mau memperlihatkan senyummu yang ketiga kali untukku. Angan terbang melayang, bertanda apakah ini semua?

Belum selesai sampai di sana, perjumpaan kita berlanjut di malam pertemuan untuk keempat kalinya. Itu saat pertama kau kuantar ke tempat kerjamu, masih ingatkah kau? Sama halnya dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, dengan manja diiringi senyum di wajahmu kau sapa aku. Malu tapi mau saat pertama kau kubonceng dengan kendaraan pribadiku. Dengan manja kau berucap, “Takut kak belum ada persiapan.”  dan kujawab, “Iya enggak usah takut dek, memang hantu yang mau kita temui.”

Terlihat kesal tampak jelas di wajahmu saat aku melihatmu dari spion. Saat ku ajak bercanda, pukulan manja tanganmu terasa tepat di pundakku. “Santai saja dek, aku temani sampai selesai,” janjiku menenangkannya.

Waktu terus berjalan, hari terus berganti dalam setiap minggunya. Hanya rasa yang membuat waktu dan hari nampak berbeda. Keceriaan tercipta dengan sendirinya. Perhatian yang kau berikan dengan setulus hati terasa sedalam lautan. Padang pasir yang gersang tandus dan panas ini sudah terlalu lama merasakan dahaga perhatian orang yang pernah hadir dalam hidupku.

Kedatanganmu menghilangkan dahaga itu sedikit demi sedikit, segar terasa dalam hari-hariku. Setelah kesegaran yang kudapat, benih kau tabur di seluruh jiwa menembus hati, tunas pun tumbuh memberi kesejukan dalam hati. Saat tumbuh semakin lebat, terasa sejuk sepanjang hari, hanya rasa.

Gemuruh di atas langit terdengar, petir-petir menyambar berirama menakutkan, menandakan hal yang tak baik. Hari mulai gelap, dingin terasa panas, cuaca berubah secara drastis. Hujan turun tidak pada bulannya, begitu juga panas datang secara tiba tiba. Memang dunia itu berputar. Terkadang di atas, terkadang di bawah. Begitu pula kehidupan, terkadang di atas terkadang di bawah. Sama halnya dengan perubahan dalam dirimu.

Aneh tapi nyata, sikap yang kurasa ibarat hujan yang turun di padang pasir kini sudah tak turun. Apa Tuhan memang telah menakdirkan padang pasir selamanya tak mendapatkan curah hujan? Tak ayal, itu memang terbukti. Tunas yang kau tanam tumbuh lebat sebentar lagi berbuah, tapi kenapa kau paksa mencabutnya. Tidakkah kau ingin mencicipi manisnya buah yang kau tanam? Melihatnya pun apa kau tak mau? Hanya mendengarkan dari orang lain apa kau tak mau?

Buah ini sudah masak, haruskah kau tumbangkan begitu saja pohon ini? Namun begitu, aku tetap berdoa. Kalau memang padang pasir tak pernah turun hujan, setidaknya padang pasir hati ini senantiasa akan menurunkan hujan doa buatmu. Amiin ya robbal alamin.

(Cerita ini dikirim oleh Zainal)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya