Perjalanan Karier Seorang Dokter

Perjalanan karier seorang dokter.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Perkenalkan, saya adalah seorang dokter umum yang saat ini bertugas di salah satu rumah sakit sebagai dokter internsip. Mungkin kalian akan bertanya apa itu dokter internsip? Ya, internsip sendiri artinya proses peningkatan mutu seorang dokter umum dengan cara ditempatkan di seluruh rumah sakit di Indonesia.

Tips Aman Meninggalkan Rumah Saat Mudik Lebaran, Jangan Lupa Pasang CCTV

Banyak pro dan kontra dengan adanya program ini,apakah program ini menguntungkan atau justru menghambat karier seorang dokter umum. Tidak dipungkiri setiap kali perubahan kurikulum pasti akan terjadi perubahan sistem lebih lanjut dan akan selalu muncul hal-hal baru yang selalu tidak mulus.

Pada kesempatan kali ini, saya hanya ingin menceritakan sedikit perjalanan karier saya yang pastinya akan sama dengan yang dialami hampir sebagian besar atau bahkan semua mahasiswa-mahasiswi kedokteran.

Hebat! Pasangan Dokter Ini Lagi-lagi Dibanjiri Rekor MURI

Saya mulai kuliah pada tahun 2009, selama 3,5 tahun saya mengikuti perkuliahan dengan jadwal yang saya rasa persis seperti SMA, beda sekali denga jadwal fakultas lain. Saya mulai kuliah dari pukul 08.00 dan pulang pukul 15.00 (Senin-Jumat). Apakah saya jenuh? Tentu saja iya, tidak hanya jadwal yang padat, namun tugas pun tak kalah menghabiskan waktu saya tiap harinya.

Saat pertama kali melakukan kunjungan ke rumah sakit menggunakan jas laboratorium membuat saya sangat bagga berjalan di koridor rumah sakit, mengetahui bahwa saya seorang mahasiswi kedokteran yang kelak inilah tempat kerja saya, rumah kedua saya.

Rumah Dekat Asrama Brimob di Slipi Dilahap Si Jago Merah, 17 Mobil Pemadam Dikerahkan

Singkat cerita pada tahun 2013, awal saya diwisuda dan resmi menambahkan gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) di belakang nama saya. Sungguh bangga rasanya mendapatkan gelar ini, tapi tunggu dulu ternyata perjalanan saya belum selesai, gelar dokter (dr.) sesungguhnya belum tercantum pada nama saya.

Saya harus melanjutkan pendidikan dokter muda di rumah sakit kurang lebih selama 2 tahun. Dokter muda, nama yang cukup keren saya rasa hehehe..lebih seringnya orang-orang memanggil kami si dokter muda ini.

Perjalanan ini sungguh tidak mudah, berbeda dengan kuliah kali ini tanggung jawab saya lebih besar. Saat masa klinik seperti ini saya selalu didampingi oleh dokter senior untuk setiap tindakan yang saya lakukan di rumah sakit. Saya datang ke rumah sakit setiap hari, ya setiap hari dan beruntunglah jika pada hari Minggu saya tidak dapat giliran jaga, maka saya bisa pulang untuk bertemu kedua orangtua saya atau terkadang ke rumah hanya menjadi persinggahan tidur saja.

Cukup melelahkan menjadi dokter muda ini, namun di sinilah kesempatan saya mencuri ilmu sebanyak-banyaknya dari dokter senior. Kenapa saya katakan mencuri karena akan ada hal-hal kecil yang unik dalam setiap diri dokter senior saya ini, setiap dari mereka memiliki cara tersendiri dalam menangani kasus yang ada di rumah sakit.

Kasus yang sama, teori yang sama tidak akan menjamin memberikan kesembuhan yang sama pada diri pasien, kenapa saya katakan itu? Tentu saja karena tubuh manusia ini unik, daya tahan tubuh setiap orang berbeda, cara tubuh melawan sakit pun akan berbeda-beda, maka dari itu, seni setiap dokter selalu diuji saat bertemu pasien dan inilah yang saya curi dari setiap senior saya.

Bagaimana cara beliau bertanya suatu keluhan hingga dapat menentukan diagnosis atau bahkan bagaimana cara beliau menggali satu keluhan dengan dalam dan mampu membuat pasiennya cerita tentang keluhan yang dialami. Hal inilah yang mungkin tidak akan diajarkan oleh senior saya, maka mengamati setiap halnya sangatlah penting bagi saya selama menjadi dokter muda.

Tidak selalu mulus, ada beberapa teman harus mengulang di beberapa bagian. Banyak hal yang berpengaruh, bukan masalah pintar atau bodoh, tapi masalah attitude ini adalah poin terpenting selama pendidikan dokter muda, bagaimana bersikap saling menghormati dan menjadi kompak dalam sebuah tim, bagaimana beradaptasi di lingkungan baru, bagaimana tanggung jawab saya sebagai seorang dokter terhadap pasien yang saya tangani, dan apa konsekuensinya bila saya ada melakukan kesalahan.

Tenaga, pikiran, dan mental semua diuji selama pendidikan ini. Yang saya lakukan hanya berdoa dan tetap semangat mengikuti setiap harinya agar dapat membanggakan kedua orangtua saya. Tidak terasa sudah tahun 2015 dan saya sudah selesai menjalani pendidikan sebagai dokter muda, gelar dokter (dr.) akan segera berada di depan nama saya, tapi tunggu dulu, rupanya saya harus menjalani pre-graduate courses (PGC), program ini merupakan program keluarga angkat, yakni kami setiap mahasiswa/i memiliki masing-masing 1 atau 2 keluarga angkat di desa.

Ini bertujuan untuk memberikan pengabdian kemasyarakat dan lebih memahami bagaimana menjadi seorang dokter yang dapat memberikan pelayan yang komprehensif, tidak hanya dalam keadaan sakit namun juga lebih menekankan pada pencegahan. Maka dari itu, pada kesempatan ini kami memberikan penyuluhan, membina, melakukan screening serta memberikan pengobatan gratis.

Dua bulan sudah saya menjalani program ini dan selesai dengan baik. Segera setelah PGC ini kami di yudisium dan dinyatakan telah selesai menjalani pendidikan dokter muda, tapi sayang sekali beberapa teman saya harus mengulang di beberapa bagian sehingga tidak dapat mengikuti yudisium ini. Apakah kalian pikir saya sudah mendapatkan gelar saya? Jawabnya tentu saja belum! Saya harus mengikuti Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Ujian ini ada 2 jenis yaitu computer based test (CBT) ini merupakan tes menjawab soal pilihan ganda sebanyak 200 soal dan 200 menit dan ujian praktek atau OSCE sebanyak 14 station, 15 menit setiap station.

Apakah ini wajib? Iya! Apakah ini dikenakan biaya? Tentu saja, Apakah ada kemungkinan tidak lulus dan harus mengulang? Pastinya! Singkat cerita setelah mengikuti tes ini saya harus menunggu hasil pengumuman selama sebulan, sebulan penuh kegalauan, makan tak enak tidur tak nyenyak... hihihi, seperti lagu saja, tapi begitulah kenyataannya saat itu hanya ingin memberikan kabar bahagia bahwa saya telah lulus.

Sebulan kemudian hari yang ditunggu-tunggu pun datang, hari pengumuman, dari pukul 00.00 saya terus membuka website pengumuman, tapi hasil tak kunjung terlihat saya tidak tidur dan terus memandangi layar laptop, tapi tak ada hasil hingga pukul 08.00. Saya diberitahu bahwa pengumuman diundur 5 hari lagi .. What?? 5 hari lagi? Kenapa? Hari-hari makin tidak tenang makan makin tak enak tidur menjadi lebih tidak nyenyak. 5 hari kemudian akhirnya website bisa dibukan dan degdegdegdeg akhirnya nama saya terantum dan dinyatakan lulus.

Air mata saya jatuh begitu saja ada rasa bahagia luar biasa di hati saya, tapi beberapa teman ternyata harus mengulang. Mengulang ujian ini memang memakan waktu, tenaga dan pikiran, dan tentu saja biaya. Ujian ini diadakan tiap 3 bulan sekali. Akhirnya saya dilantik dan gelar dokter (dr.) kini terpampang jelas di depan nama saya, yaa kedua orang tua saya memiliki putri yang kini menjadi seorang dokter.

Sudah bisakah saya menjalankan praktik pribadi? Sudah bisakah saya mulai bekerja meniti karier dan memberikan gaji pertama saya untuk orangtua?? Dan jawabnya ialah BELUM. Saya harus menunggu untuk mengikuti program internsip dan waktu untuk menunggu keberangkatan internsip ialah kurang lebih 4 bulan, lalu apa yang saya lakukan selama 4 bulan? Jawabnyapun ialah nganggur, yaaa, pengangguran.

Dalam masa pendidikan kurang lebih 6 tahun saya harus menganggur dan masih memberatkan orangtua untuk uang makan. Karena pada masa ini dokter yang belum intersip tidak boleh bekerja dan menjalankan profesinya sebagai dokter karena belum memiliki ijin.

Dan, ya, akhirnya saya memulai internsip walaupun harus dengan perjuangan, yaa kenapa saya bilang perjuangan karena kami saling berebut wahana/ tempat internsip Se-nasional, kami harus berebut mengklik wahana secara online untuk mendapatkan wahana yang kami inginkan, lagi-lagi penuh perjuangan hehehee karena tidak sedikit teman saya ada yang terlempar keluar daerah atau bahkan ke daerah terpencil, walaupun beberapa memang menginginkan di daerah tersebut.

Saya sudah mendapat gaji walaupun kecil pada bulan pertama internsip, setidaknya saya tidak memberatkan orangtua untuk uang makan yaa hanya uang makan dan tidak ada sisa untuk ditabung atau bahkan memberikan lebih kepada orangtua. Selama internsip ini segala jaminan kesehatan kami tanggung secara pribadi sejauh ini dengan cara dipotong dari gaji dan kami pun sudah mengikuti wajib pajak.

Gaji yang dijanjikan akan naik tak kunjung datang, jadilah kami pasrah mengikuti program ini agar setelah ini surat ijin praktik kami dapat dikeluarkan dan kami bisa bekerja secara legal. Walau dalam proses ini saya harus kehilangkan ayah tercinta, saya harus tetap melanjutkan untuk menyelesaikan program internsip ini agar beliau bangga melihat saya menjadi dokter yang professional.

Lika-liku perjalanan dokter ini memang melelahkan bila dibandingkan dengan dengan jurusan lain bahkan beberapa teman saya justru sudah menyelesaikan program S2-nya. Sedangkan saya jangankan pendidikan S2 apalagi pendidika spesialis masih sangat jauh dari impian.

Ya, seberat apapun, namun kini orangtua saya bisa sedikit lega walaupun faktanya tugas mereka menyekolahkan saya belumlah tuntas karena saat ini saya masih menjalani internsip. Tapi setidaknya saya bisa menyisihkan sebagian kecil untuk mereka walau tidak rutin tiap bulannya. Bagaimana menurut kalian perjalan karier seorang dokter? Cukup rumitkah atau justru menyenangkan? Setiap profesi memiliki ceritanya masing-masing dan memiliki tanggung jawab yang sama beratnya. (Tulisan ini dikirim oleh Ayu Laksmi Dewi Saputri)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya