Sandal Jepit Kenangan Milik Om Dewo

sandal jepit
Sumber :
  • blogcontinentalshopping.blogspot.com

VIVA.co.id – Pagi masih buta. Ayam jantan mungkin sedang bersiap untuk berkokok. Derik suara jangkrik menjadi hiburan tunggal kampung yang diapit dua tanah persawahan. Namun, rumah Om Dewo sangat ramai. Rumah yang terletak di pinggir jalan tersebut tak pernah sepi, terutama pada jam-jam di saat para tetangganya sedang tidur.

Ternyata Pakai Sandal Jepit Ada Bahayanya

Aku tak perlu mengetuknya. Pintu depan memang tertutup, tapi dari pintu samping terlihat beberapa ibu-ibu sedang sibuk mengepak bungkusan katering. "Masuk, Mur!" suruh Om Dewo yang sedang membuka garasi mobilnya. "Siapa, Pak?" tanya Ningsih dari dalam rumah. Ia adalah anak semata wayang Om Dewo. Gadis hitam manis itu temanku SMA dulu. "Bapak sedang bicara dengan Mursyid," jawab Om Dewo.

Tampaknya ia sedang kesulitan membuka pintu garasi. "Coba saya bantu, Om!" tawarku. Om Dewo memberikan kunci kepadaku. Kumasukkan anak kunci lalu memutarnya. Klik! Rolling door kuangkat ke atas. Dua buah mobil terparkir, sebuah sedan Toyota Yaris dan sebuah mobil boks Suzuki Carry. "Ini kunci mobil boks." Om Dewo memberiku. "Kamu panasi dulu mesinnya, selepas itu masuklah ke rumah."

Musyawarah Besar Himpunan Mahasiswa Sastra Inggris UMI

Aku menyalakan mesin lantas meninggalkannya. Begitu masuk rumah, aroma sedap langsung merangsang selera makanku. Ruangan belakang rumah Om Dewo ini tadinya gudang kosong, tapi sekarang disulap menjadi dapur dengan sembilan kompor. Omzetnya konon mencapai belasan juta rupiah per hari. Ini angka fantastis untuk sebuah usaha katering yang berlokasi di desa.

Aku duduk bersila di sebelah Ningsih yang sedang memasukkan jajanan kering ke dalam boks kertas. Ia bersama beberapa ibu-ibu duduk lesehan melingkar di atas karpet. Di tengah-tengah kami, terdapat beraneka macam kue, air kemasan dan kardus. Ningsih sempat melempar senyum sebentar lalu kembali tenggelam dalam kesibukannya.

Wahai Orang yang Tidak Berpuasa, Hormatilah Bulan Ramadan

Aku menguap, menutup mulut dengan telapak tangan. Beginilah jadinya kalau tak terbiasa bangun jam dua pagi. Sepertinya secangkir kopi panas bisa menyegarkan kondisi tubuhku. Gayung bersambut, tak lama kemudian Mbok Darmi menghampiriku sambil membawa minuman yang tadi kukhayalkan. "Silakan, Mas!" perempuan berusia lebih dari setengah abad itu menyuguhkan segelas kopi. "Terima kasih, Mbok!" ucapku. Kuseruput kopi. Meski tidak senikmat seduhan ibuku, tapi lumayan untuk menyegarkan tubuh dan mengusir kantuk. Nyatanya wajah Ningsih tampak lebih terlihat manis dari sebelumnya.

Ini hari pertamaku bekerja sebagai sopir. Tugasku mengantar pesanan ke semua pelanggan. Sebelumnya, tugas ini dikerjakan sendiri oleh Om Dewo. "Are you ready?" tanya Om Dewo seraya mencolek bahuku. Beberapa ibu-ibu tertawa mendengar pertanyaannya, kecuali aku yang merasa terancam kehilangan waktu untuk menikmati kopi.

"Gayanya sok English, tapi alas kakinya sandal jepit," ledek Ningsih kepada bapaknya. "Jangan salah! Ini sandal kenangan. Bapak memakainya baru tiga kali ini. Pertama waktu mengantar pesanan untuk pelanggan pertama menggunakan sepeda motor. Kedua waktu pertama kali mengantar pesanan menggunakan mobil. Ketiga sekarang ini, waktu bapak pensiun menjadi sopir. Pokoknya sandal ini dipakai saat momen tertentu," kata Om Dewo dengan mimik serius.

"Iya deh!” ujar Ningsih mengalah. “Sandal jepit ada yang harganya lebih dari lima puluh ribu rupiah lho! Bapak pasti tak percaya. Gara-garanya Sehun memakai sandal jepit waktu mau bertolak ke Korea, mengenakan sandal jepit Swallow. Kenal Sehun ndak? Itu lho anggota band EXO dari Korea. Ah! Pasti bapak ndak kenal. Sejak itu ada orang Korea yang menjual sandal jepit dengan harga lima ribu won. Itu setara dengan lima puluh delapan ribu rupiah," terang Ningsih.

"Sandal punya bapak lebih mahal dari punya Sikun," kata Om Dewo sedikit tidak terima. "Sehun, Pak! Kalau Sikun itu anaknya Haji Juned," ujar Ningsih meluruskan. "Terserah, mau Sehun atau Sikun pokoknya sandal punya bapak nilainya ndak terhingga. Ini sandal keberuntungan!" Om Dewo kelihatannya mulai kesal. Dahi klimisnya berkerut, mirip kulit jeruk nipis.

Aku habiskan sisa air kopi yang sudah tidak hangat lagi. Setelah menaikkan resleting jaket, aku keluar rumah, menuju garasi. "Sudah siap antar, Mus!" ujar lelaki yang tak kuketahui namanya. Ia salah satu karyawan yang sudah lama bekerja pada Om Dewo. "Pintu belakang sudah dikunci?" tanyaku. "Sudah!" jawabnya. Aku masuk ke dalam mobil. Melepas tuas rem tangan, lalu membawa mobil keluar dari garasi. Om Dewo menyuruhku berhenti. "Hari ini kamu santai saja. Duduk manis sambil mengingat rute dan tempat pelanggan," kata Om Dewo. Ia memberi isyarat agar aku bergeser ke sebelah kiri. Kubuka pintu mobil sebelah kanan untuknya, kemudian memberi tempat kepadanya dengan menggeser pantatku ke kiri.

Kaki kanan Om Dewo menginjak pedal gas berbarengan dengan melepas kopling dengan kaki kiri. Mobil melaju pelan, keluar dari halaman rumah, lantas melesat kencang di jalan raya. Kulirik arloji, baru jam setengah empat. Tadi aku bangun jam dua tepat, setelah alarm di HP menjerit-jerit dekat telingaku. Karena tak terbiasa, aku mandi sekadarnya saja. Hanya menggosok gigi tanpa sempat membersihkan badan dengan sabun karena sudah kedinginan. Selepas menyantap mie instant, aku langsung menuju ke rumah Om Dewo dengan jalan kaki sejauh kurang lebih satu kilometer.

Jalan kampung lengang. Hanya sesekali kami berpapasan dengan sepeda motor. Tak ada lampu penerangan di sepanjang jalan yang kami lewati. Janji pak kepala desa waktu pencalonan belum direalisasikan. Entah apa kerjanya selama dua tahun ini. Pemenuhan fasilitas umum yang menjadi isu sentral kampanyenya belum terbukti. Atau mungkin para warga yang tidak sabar?

"Sandal yang aku pakai adalah simbol perjuangan merintis usaha ini," kata Om Dewo membuyarkan lamunanku. "Setelah ini aku akan menyimpannya sebagai benda bersejarah dan ndak akan memakainya lagi,” jelasnya. "Oh," seruku malas. "Aku ndak akan pernah lupa ketika pertama kali mengantar pesanan ke pelanggan pertama. Waktu itu, aku masih menggunakan sepeda motor. Baru jalan beberapa ratus meter ban belakang bocor. Terpaksa aku menuntun motor sejauh satu kilometer ke tukang tambal ban. Sialnya, sandal jepitku putus talinya. Terpaksa tanpa alas kaki kususuri jalan tidak beraspal yang kondisinya becek. Mau ndak mau, aku beli sandal jepit baru di toko sebelah tempat tambal ban. Harga sandal lima ribu rupiah. Uang di dompet tinggal sepuluh ribu rupiah. Sisa lima ribu rupiah untuk membayar jasa tambal ban. Aku meneruskan perjalanan tanpa membawa uang sepeser pun. Sejak itu aku bertekad untuk membalas dendam kepada kemiskinan. Alhamdulillah dendamku terlampiaskan," kenang Om Dewo.

"Hanya satu mimpiku yang belum terwujud yaitu naik haji." ucapnya."Iya, Om!" ujarku. "Itu baru sempurna namanya." tambahku lagi. "Sebenarnya aku ndak dendam dengan kemiskinan," tukas Om Dewo. "Aku hanya ingin membuktikan kepada keluarga besarku bahwa aku yang terkenal nakal bisa berprestasi. Kau tahu sendiri kan kalau orang tuaku kaya. Semua kakakku sarjana. Mereka juga diberi modal usaha. Wajar kalau mereka bisa kaya. Sedangkan aku ndak tamat SMP. Aku dianggap bodoh dan bengal karena ndak mau sekolah. Aku lebih suka merantau. Sedikit demi sedikit aku tabung sisa uang gajiku bekerja di restoran. Setelah pulang kampung, aku membuka usaha katering. Meski jatuh bangun namun akhirnya kau bisa lihat sendiri aku berhasil," paparnya.

"Om ndak mendapatkan bantuan modal sama sekali dari orang tua?" tanyaku. "Tidak sepeser pun! Aku mencari sendiri, berjuang mulai dari nol!" jawab Om Dewo berapi-api. "Menakjubkan!" pujiku tanpa bermaksud menjilat. Aku memang kagum dengan perjuangannya. Ia tersenyum senang. "Mendorong motor yang belakangnya berisi boks itu bukan sesuatu yang mudah, apalagi tanpa alas kaki dengan kondisi jalan becek. Berat sekali rasanya karena ban belakang bocor. Maka itu kupikir tidak berlebihan jika sandal ini kuanggap simbol perjuangan." Aku menganguk-angguk, mencoba memahami perjuanganya.

Aku masih muda, harus banyak belajar dari orang yang sudah sukses, seperti Om Dewo ini. "Jangan lihat sandal jepitnya, tapi perjuangannya!" tambahnya dengan menaikan intonasi nada. "Saya paham, Om! Tapi memakai sandal jepit kurang baik saat mengemudi. Bukan hanya akan menyulitkan pada waktu perpindahan antara menginjak pedal rem dan kopling saja, tapi juga akan mengurangi daya saat menginjak pedal gas," kataku menjelaskan. "Benarkah?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi. "Kamu tahu dari mana?" "Kata mbah google, Om. Dia itu tahu semua."

Sepasang alis Om Dewo terangkat. "Mbah Gugel itu orang mana? Apa dia dukun?" Aku garuk-garuk kepala. "Bukan orang, tapi internet," jawabku. "Oohh!" seru Om Dewo berlagak paham. Aku menguap lagi. Sulit sekali menahan kantuk. Jika tidak mengobrol mungkin aku sudah tertidur. Kulihat Om Dewo tampak bugar. Barangkali karena ia sudah terbiasa, sedangkan aku harus beradaptasi lebih dahulu.

Sampai di kota, langit berwarna jingga. Bulan yang mengambang kelihatan pucat. Fajar telah menyingsing. Kami berhenti di pelataran parkir sebuah gedung olah raga. Dilihat dari penataan dekorasinya sepertinya gedung ini akan dijadikan resepsi pernikahan. Di sebelahnya terdapat musala. Ada beberapa orang sedang duduk-duduk di depan rumah ibadah tersebut. Tampaknya mereka baru saja menunaikan salat subuh. "Saya salat dulu ya, Om?" pintaku. Kalau menunggu sampai selesai bongkar muatan, aku khawatir kehabisan waktu salat. "Iya, kamu salat saja dulu. Aku mau menemui pelanggan. Selesai salat jangan ke mana-mana. Kita langsung membongkar muatan," kata Om Dewo.

Kami pun turun dari mobil. Om Dewo masuk ke gedung lewat pintu belakang. Aku pergi ke musala dan langsung masuk ke kamar mandi untuk buang air kecil. Setelah berwudu, aku melaksanakan salat dua rakaat. Ketika salam, aku terkejut karena mendapati Om Dewo berada di belakangku. Sepertinya ia tadi makmum kepadaku. Aku berdoa sejenak kemudian beranjak ke serambi, meninggalkan Om Dewo yang masih khusyuk dalam doanya.

Kubaringkan badanku, berusaha agar tetap terjaga. Meski sudah tersiram air, masih juga mengantuk. Hembusan angin pagi terasa sejuk, membuatku terbuai dalam khayalan. Aku berandai-andai jika bisa menjadi suami Ningsih pasti akan ikut mengelola usaha katering ini. Om Dewo tidak punya anak laki-laki. Jika aku menjadi menantunya itu akan menguntungkannya. Aku bisa menyetir dan bantu-bantu lainnya.

Ah! Kutepis angan-angan itu. Aku ingin seperti Om Dewo yang tak mengandalkan orang tua. Aku harus mencari sendiri jalanku dengan memulainya dari bawah. Namun, jika berjodoh dengan Ningsih, aku tak akan menolaknya. "Tadi aku meminta ampunan Allah. Setelah kurenungi, aku merasa telah berlaku sombong. Selama ini aku merasa semua yang kucapai karena usahaku sendiri. Kini aku sadar bahwa aku tidak bisa menjadi apa-apa jika bukan karena-Nya," kata Om Dewo.

Ia duduk bersila di sebelahku. Buru-buru aku bangun karena takut dianggap malas. "Pantas saja Om Dewo berdoa lama sekali," timpalku seraya merapikan baju. "Aku bersimpuh lalu berdoa agar Allah menegurku jika di hatiku masih tersisa kesombongan. Aku bersujud sambil menangis." Kupandang wajah Om Dewo. Matanya sembab. Sepertinya ia benar-benar habis menangis. "Ayo, kita bongkar muatan!" suruhnya.

Kami bangkit lantas keluar dari serambi musala. "Sandalku mana?!" pekik Om Dewo panik. Matanya diedarkan ke seluruh halaman musala. Berjalan ke sana kemari seperti orang kebingungan. Aku ikut membantu mencarinya. Namun, setelah kusisir seluruh area musala, sandal jepit kenangan Om Dewo belum juga ketemu.

Akhirnya terpaksa ia berjalan tanpa alas kaki. "Om boleh memakai sandalku," tawarku padanya. Om Dewo menggeleng pelan. "Biarlah sandal itu hilang. Selama ini aku memakainya di hati, bukan di kaki." Aku tersenyum, meski akhirnya kusadar bahwa betapa beruntungnya Om Dewo karena doanya telah dikabulkan. (Cerita ini dikirim oleh Akhmad Al Hasni, Kendal, Jawa Tengah)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya