Kekerasan Seksual dan Tamparan Keras untuk Pemerintah

Andi Kamal, PC PMII Makassar.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Berbagai fenomena kejahatan seksual yang terjadi di Indonesia dalam bentuk pemerkosaan terhadap anak-anak maupun perempuan dewasa sedang marak dan menjadi momok bagi bangsa ini. Dan parahnya lagi semua berujung pada tindakan kriminal dan pembunuhan. Hal ini merupakan indikator bahwa masyarakat Indonesia telah berada dalam situasi darurat.

Kejahatan Seksual Bisa Terjadi Pada Status Sosial Apapun

Maraknya kasus kekerasan seksual membuat sejumlah pihak mendesak pemerintah untuk menetapkan Indonesia sebagai negara darurat kejahatan seksual. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, pada tahun 2014 kasus kekerasan pada anak tercatat 123 kasus dan meningkat menjadi 194 kasus pada 2015 yang 58 persen di antaranya adalah kekerasan seksual.

Dalam lima bulan saja, sepanjang 2016 (Januari-Mei) kejahatan seksual terhadap anak sudah ada 88 kasus. Dari jumlah ini, 48 persen merupakan kekerasan seksual. Anehnya, 12 persen pelakunya adalah anak di bawah usia 17 tahun. Bentuk-bentuk kekerasan itu seperti sodomi, inses, perkosaan, pencabulan, dan pelecehan seksual. Tak heran jika Komnas PA bahkan memprediksikan kasus kekerasan seksual akan terus meningkat.

Musyawarah Besar Himpunan Mahasiswa Sastra Inggris UMI

Sejalan dengan itu, fakta lain tertulis dengan manis dalam catatan tahunan 2016 Komnas Perempuan, di mana kasus kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual berada di peringkat kedua dengan jumlah kasus mencapai 2.399 kasus (72%). Sedangkan pencabulan mencapai 601 kasus (18%), dan di peringkat terendah dihuni oleh pelecehan seksual yang mencapai 166 kasus (5%).

Kejahatan seksual merupakan kejahatan berat dan luar biasa karena kejahatan ini akan memberikan dampak negatif terhadap korban, trauma mendalam dan berkepanjangan. Buruknya dampak dari kejahatan seksual tentunya memerlukan ketegasan dan keseriusan Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dalam menangani persoalan ini.

Wahai Orang yang Tidak Berpuasa, Hormatilah Bulan Ramadan

Kasus demi kasus mulai bermunculan di publik. Lebih menyedihkanya ketika bangsa ini dikejutkan dengan kasus yang terjadi pada karyawan PT Polyta Global Mandiri di mana Eno, wanita 19 tahun karyawan perusahaan tersebut yang diperkosa oleh tiga orang pelaku dan dengan tega menancapkan sebuah gagang cangkul di kelamin korban.

Tak kurang mengejutkan lagi, kejahatan seksual terjadi pada seorang pelajar Yuyun (15), siswi SMPN 5 Padang Ulak Tanding, Bengkulu, yang diperkosa secara bergantian oleh 14 pemuda dan juga berujung maut. Pada April lalu kasus Yuyun terjadi, hingga di bulan Mei kasus Yuyun yang gencar dikampanyekan baru mendapat perhatian pemerintah.

Kampanye di media sosial seperti facebook dan twitter sebelumnya berlangsung gencar dengan hashtag #NyalaUntukYuyun. Kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun memberikan sebuah pencerahan bahwa pemerintah terlalu asyik dengan isu politik dibarengi dengan menteri-menterinya yang sedang sibuk mengurusi partainya. Sehingga isu moral seperti kejahatan sosial yang sangat mengkhawatirkan ini luput dari pandangan mereka.

Bahkan pemerintah sampai-sampai lupa jika dalam kekerasan seksual ini siapapun berpotensi menjadi korban maupun pelaku. Sehingga perlunya perhatian khusus dari pemerintah yang bukan hanya sekadar memberi slogan Indonesia darurat kekerasan seksual.

Menurut hemat penulis, bahwa fenomena kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak dan perempuan disebabkan banyak faktor. Mulai dari runtuhnya sendi-sendi moral bangsa yang beradab dan berprikemanusiaan, lemahnya peran pemerintah dalam menangani kejahatan seksual, keterbukaan informasi yang semakin pesat, menyebarnya budaya hedonisme, pornografi dan minuman keras serta berbagai zat adiktif lainnya.

Dengan berbagai kasus kekerasan di atas yang juga menjadi tamparan keras untuk Pemerintah Indonesia sehingga solusi cerdasnya adalah perlunya kebijakan mempercepat pengesahan RUU tentang penghapusan kejahatan seksual. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini diharapkan membuat prosedur penyelesaian masalah kejahatan seksual menjadi lebih demokratis, melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas, menghasilkan solusi yang lebih nyata, serta hukuman efek jera bagi pelaku kejahatan seksual seberat-beratnya.

Rencana hukuman kebiri yang akan diterapkan, menurut penulis belumlah cukup efektif. Apalagi hukuman kebiri bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Selain itu, sangat perlu penerapan kurikulum yang berbasis pendidikan karakter dan penanggulangan atas kejahatan seksual harus terintegrasi antara hulu dan hilir.

Di hulu, perlu adanya pembatasan dan pengontrolan ketat atas situs internet yang berbau pornografi, bacaan porno yang bebas diakses dan dibaca oleh remaja, serta diharapkan peran aktif orang tua dalam membimbing anak-anaknya. Pihak-pihak yang memiliki andil besar seperti Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam mengawasi anak-anak dan remaja dengan konsep pendidikan budi pekerti. Dan perlunya peningkatan penyuluhan-penyuluhan tentang agama untuk meningkatkan spiritualitas generasi-generasi bangsa agar tidak menjadi pelaku atau korban kejahatan seksual. (Tulisan ini dikirim oleh Andi Kamal, PC PMII Makassar)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya