Bakul yang Setia Menemani Si Mbah di Usia Senja

Mbah Ngatiyem dengan bakulnya.
Sumber :

VIVA.co.id – Setiap manusia pasti selalu mendambakan hidup bercukupan dan sejahtera. Namun, terkadang kenyataan berkata lain dan tidak sesuai dengan harapan yang kita inginkan. Karena Tuhan sudah mengatur jalan hidup masing masing hamba-Nya.

Diadaptasi dari Novel, Serial Sabtu Bersama Bapak Bakal Tayang di 240 Negara

Wajahnya selalu tampak gembira, tak pernah terlihat perasaan sedih. Tak pernah dia meminta belas kasihan kepada orang lain. Hari-harinya selalu dijalaninya dengan penuh sukacita. Tak pernah mengeluh ataupun putus asa. Dia menjalankan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Meskipun banyak cibiran bahwa pekerjaannya itu sangat rendah dan tidak pantas dilakukan oleh wanita renta seperti beliau.

Dialah Mbah Ngatiyem. Sosok Kartini hebat yang telah berusia lanjut. Nenek berusia 74 tahun ini masih semangat menjalani aktivitas. Kondisi tubuh yang mulai melemah karena usia, wajah keriput, dan terlihat raut  lelah terpancar di wajahnya. Namun, itu semua tak menghalangi niat dia untuk bekerja di usianya yang sudah tak muda lagi.

Pergilah Dinda Cintaku

Mbah Ngatiyem adalah penjual pecel yang mangkal di sekitar Jalan Bakti 1, Cijantung, Jakarta Timur. Berjualan setiap hari di malam hari sungguh menyita tenaga. Apalagi dengan kondisi tubuhnya yang mulai melemah termakan usia.

Hampir 20 tahun lamanya dia berdagang pecel sayur dan gorengan. Bakulnya selalu berisi sayuran hijau untuk pecel dan gorengan seperti tahu, tempe, bakwan sebagai pelengkap pecel. “Bakul ini sudah menjadi saksi bisu saya bagaimana susahnya mencari nafkah di ibu kota,” ujar Ngatiyem.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Waktu menunjukkan pukul 20:00. Dia berangkat menuju tempat ia biasa berdagang. Tapi tiba tiba terdengar suara petir dengan kilatan cahayanya. Tak lama kemudian hujan deras pun turun. Tapi itu semua tak menghalangi niatnya untuk menjajaki dagangan pecel yang dia bawa. Bermodalkan payung serta jaket tipis yang melekat di tubuh rentanya. Mbah pun berangkat bersama bakul usangnya yang telah lama menemani. Tidak ketinggalan juga ada kerupuk mie dan opak singkong di dalam bakul bawaannya. ”Dulu saya berjualan berpindah-pindah. Sekalian muter-muter gitu. Tapi sekarang saya sudah tidak kuat lagi untuk berjalan kaki jauh. Maklum sudah tua,” ujar Ngatiyem dengan nada sedikit tertawa.

Sejak berjualan sekitar 20 tahun lalu, banyak sudah pengalaman yang sudah dilewati. Dari tidak ada pembeli satu pun yang datang karena kondisi hujan deras. Serta kadang juga ada saja pemuda iseng yang tidak membayar pecelnya sesudah dipesan. Pengalaman tersebut menjadi pelajaran hidupnya bahwa hidup itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Melainkan butuh usaha dan perjuangan keras supaya dapat menjalani kehidupan.

Walau kadang hanya mendapat penghasilan yang pas-pasan, namun itu semua tidak menyurutkan semangat  Mbah untuk menjalani kerasnya hidup di ibu kota. Sedikit demi sedikit disisihkan penghasilannya dari berjualan yang tidak seberapa itu. Tapi berkat tekad dan kemauannya yang keras, akhirnya dia dapat menyekolahkan kedua anaknya hingga ke tingkat perguruan tinggi.

Dia mempunyai dua orang anak yang semuanya laki-laki. Agus dan Eko sapaan akrab kedua anaknya. Mereka adalah anak yang rajin dan patuh terhadap orangtuanya. Agus berhasil menjadi anggota TNI, serta Eko berhasil bekerja di sebuah perusahaan swasta di daerah Solo setelah berhasil menyelesaikan studinya beberapa tahun silam. Mereka semua sudah berkeluarga dan membina rumah tangganya masing-masing.

“Semua kerja keras dan jerih payah saya ternyata tidak sia-sia. Anak saya bisa jadi kebanggaan keluarga sepeninggalnya suami saya,” ujar Ngatiyem. Ketika itu dia pernah diajak anak-anaknya untuk tinggal bersama istri dan cucunya dan berhenti bekerja berdagang pecel. Karena anaknya sudah tidak tega lagi melihat orangtuanya yang tetap susah payah di usia senja. Tetapi ajakan itu ditolaknya secara halus. Karena dia merasa akan menambah beban saja untuk kedua orang anaknya bila dia ikut dengan mereka.

“Lebih baik saya hidup sendiri dan tidak menyusahkan mereka. Saya bisa dagang pecel ini kok walau untungnya tidak seberapa. Hanya cukup untuk makan sehari-hari dan modal berjualan di keesokan hari,” tambah Ngatiyem. Tak sampai di situ saja, di usia yang sudah hampir memasuki kepala delapan ini terkadang terbesit rasa lelah dan ingin berhenti berdagang. Tetapi tuntutan ekonomilah yang selalu memaksanya untuk lebih giat bekerja dan bekerja. Apalagi usia itu bukan usia produktif untuk bekerja.

Setiap hari saat ayam berkokok sekitar jam setengah 5 pagi, dia harus bangun. Sesudah melaksanakan salat subuh dia bergegas menuju pasar yang tidak jauh dari rumahnya untuk membeli bahan-bahan jualannya. Sekitar 15 menit jika naik angkutan umum. Sesampainya di rumah, bukan istirahat yang ia lakukan. Tetapi memilah-milah sayuran lalu mencuci dan membersihkannya.

Setelah itu dia pun lekas mengistirahatkan badan rentanya. Seusai terbangun dari istirahat, dia pun kembali bekerja dengan merebus sayuran untuk dijadikan pecel. Memotong sayuran sedikit sayuran sebagai campuran gorengan. Tidak terasa matahari sudah tenggelam, langit pun menjadi gelap. Suara kumandang azan magrib terbesit di telinganya yang merupakan panggilan untuk menghadap Sang Pencipta. Dia pun lekas salat tanpa terlambat sedikit pun.

Setelah menunaikan ibadah salat magrib dan isya, dia  berangkat menuju tempat dimana ia biasa mangkal berjualan. Jam sudah menunjukkan sekitar pukul 19:40. Karena perjalanan dari rumah menuju tempat dia berjualan tidak terlalu jauh, akhirnya ia memutuskan berjalan kaki saja sambil menggendong bakul yang terisi penuh dengan pecel dagangan. Sesampainya di sana dia menghela nafas sedikit dan langsung menggelar dagangan.

Satu jam, dua jam, dia sudah menunggu namun belum ada pembeli datang membeli pecel. Cuaca saat itu memang sedang sedikit gerimis. Dia pun hanya bisa sabar serta pasrah terhadap keadaannya, tetapi tetap bersyukur. Akhirnya, setelah menunggu sekian lama datang juga pembeli. “Mbah, dibungkus 5 dong,” ujar pembeli tersebut. Dengan perasaan senang dan gembira dia langsung melayani permintaan pembeli tersebut.

Malam semakin larut. Tak terasa sudah hampir tengah malam tetapi pembeli terus berdatangan silih berganti membeli pecel dagangan mbah Ngatiyem. Bakul yang tadinya terisi penuh dengan gorengan dan pecel sayur tersebut mulai terlihat kosong karena sudah banyak dibeli. Mungkin hanya sisa dua atau tiga bungkus lagi dagangannya akan benar benar habis.

Perasaan senang terpancar dari raut wajah si Mbah. Mata yang berkaca-kaca dan sedikit candaan terlontar dari mulutnya saat melayani pembeli. Dia merasa sangat bersyukur dengan apa yang dia dapat selama ini. Walau hanya mendapat sedikit keuntungan bersih, yaitu sekitar 50 sampai 80 ribu rupiah itu tidak jadi masalah buatnya.

Terlebih dia selalu bersyukur dengan semua yang dia dapat hari ini atau kemarin. Karena perjuangan serta usaha keras akan selalu membuahkan hasil manis selagi kita mau berusaha. Dia pun berusaha tanpa mengenal rasa lelah dan letih. Serta doa dari sang penciptalah yang akan selalu menuntun kita mewujudkan usaha yang telah kita lakukan. (Tulisan ini dikirim oleh Nicodimus Novianto, mahasiswa Universitas Nasional, Jakarta)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya