Perjuanganku untuk Jadi Seorang Penulis Tidak Akan Berhenti

Ilustrasi penulis.
Sumber :

VIVA.co.id – Setahun yang lalu, aku gagal dalam membukukan ceritaku. Begitu aku baru pulang dari warnet untuk mencari informasi tentang pekerjaan, tanteku datang dan langsung berkata padaku, “Rie, ada kiriman nih untuk kau,”. Kupikir kiriman yang dimaksud tanteku itu berupa baju, celana, ataupun uang, tapi setelah aku cek ternyata isinya naskah.

Pergilah Dinda Cintaku

Kubuka kiriman tersebut, lalu kulihat ada secarik kertas di dalamnya. Secarik kertas itu ialah surat dari penerbit. Dengan hati berdebar aku memegang surat tersebut, tanganku gemetar dan ditambah lagi hatiku merasa bangga karena ini pertama kalinya aku dikirimi paket oleh seseorang. Apalagi paket tersebut langsung dari penerbit.

Dengan hati bangga, senang dan gembira, perlahan-lahan kubuka surat tersebut. Baru beberapa detik aku membaca isi surat tersebut, dug, hatiku sakit. Rasanya seperti ada petir yang menyambar hatiku. Aku buka paket yang lain, karena waktu itu kiriman paket ada dua. Kali ini bukan dengan hati yang bangga, senang dan gembira, karena aku baru saja mendapatkan kabar buruk tentang naskahku. Dug, kali ini benar-benar hancur hatiku.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Memang sebelumnya hatiku sudah hancur karena ditinggal menikah oleh salah satu perempuan yang sangat aku kagumi. Tapi kali ini hancurnya berbeda. Kalau waktu itu hancurnya seperti sebuah bus menabrak rambu lalu lintas, lalu bus tersebut terbakar dan langsung meledak. Kali ini rasanya seperti hujan salju turun dengan derasnya. Sudah deras, dingin, tajam-tajam pula saljunya.

Aku memang tidak bisa berkata-kata. Tapi kata-kata yang ada di dalam surat tersebut benar-benar membuatku langsung menitikkan air mata. Jujur, waktu itu aku menangis. Dengan derasnya air mataku turun dari kedua mataku. Kulepas kacamataku agar bisa menangis sepuasnya. Kakiku rasanya lemas, badanku sulit digerakkan. Aku tertidur sambil melihat atap rumah dan membayangkan apa kesalahanku.

Jokowi Diminta Lerai Konflik Ketua Pramuka dengan Menpora

Sejak saat itu, aku menjadi lebih pendiam. Orang-orang yang ada di sekitarku kuacuhkan begitu saja. Mereka menyapa, aku hanya melihat. Menyahut tidak, membalas sapaan mereka juga tidak. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Hatiku benar-benar hancur saat itu.

Naskah yang selama ini aku perjuangkan. Ceritanya yang kutulis dengan sepenuh hati dan keseriusan yang mendalam, tidak bisa dibukukan. Padahal banyak uangku habis hanya untuk memperjuangkan naskah tersebut.

Suatu hari, aku diajak temanku jalan-jalan ke sebuah mal. Tanpa kusadari ternyata kami berhenti di depan sebuah toko buku. Kulihat di dalam toko buku itu banyak anak muda yang mengobrol sambil memilih-milih novel yang ingin dibelinya. Iseng-iseng, aku masuk ke dalam toko buku itu.

Sulit rasanya bagiku untuk melupakan kejadian yang telah kualami. Pertama kali memasuki toko buku saja, rasanya aku ingin menangis. “Kenapa ceritaku tidak bisa dibukukan?” Itulah pertanyaan yang langsung terlintas di pikiranku.

Kuhapus air mataku, lalu aku berjalan dari rak buku yang satu ke rak lainnya. Kulihat ada salah satu buku yang sudah terbuka plastiknya. Kutanya pada salah satu karyawan toko, katanya itu bisa dibaca. Kubaca pelan-pelan dan kupahami satu persatu kalimat yang ada di dalamnya. Akhirnya, aku langsung pulang ke rumah dan membaca kembali naskahku yang tidak jadi dibukukan tersebut.

Aku menemukan kesalahanku. Ya, dari sanalah aku akhirnya berhasil move on dan kembali aktif menulis. Kumulai usahaku dari awal lagi. Kubuat blog dan fanpage di Facebook. Sembari aktif di blog, aku juga sempatkan menulis beberapa cerita untuk dikirim lagi ke penerbit. Semoga kali ini usahaku berhasil. (Tulisan ini dikirim oleh Ridho Adha Arie, Pekanbaru)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya